Masa Depan Indonesia

Smith Alhadar, Penasihat Institute for Democracy Education (IDe)

Di tengah ketidakpastian geopolitik dan geoekonomi global, yang berdampak pada perekonomian nasional, tangan kekuasaan menciptakan instabilitas politik dalam negeri menjelang pilpres yang tak sampai setahun lagi. Masa depan Indonesia pun jadi taruhan.

Upaya memperpanjang masa jabatan presiden masih berlangsung. Pada saat bersamaan, istana masih berusaha menyingkirkan Anies Baswedan — diusung Nasdem, Demokrat, dan PKS — dari kontestasi pilpres.

Syahwat kekuasaan dan kepentingan kelompok menjadi sumber kekisruhan politik bangsa hari ini. Siapa saja pemainnya? Apa motifnya? Mengapa Anies harus dikorbankan?

Upaya memperpanjang masa jabatan presiden terkini adalah keputusan kontroversial PN Jakarta Pusat yang mengabulkan gugatan Partai Prima terhadap KPU terkait proses verfikasi parpol. Pengadilan itu meminta KPU menunda pemilu selama dua tahun empat bulan dengan melakukan proses verfikasi ulang dari awal.

Keputusan ini kontroversial karena bukan wewenangnya. Tak heran, semua pakar hukum tata negara menentang keputusan itu. Yang menarik, Ketum PDI-P Megawati Soekarnoputri — yang biasa lamban merespons isu nasional — kali ini langsung bereaksi menolak keputusan pengadilan itu.

Reaksi Mega tak bisa dilepaskan dari sosok Menko Marves Luhut Binsar Panjaitan. Hubungan Mega-Luhut memang tidak harmonis sejak lama. Itu terlihat sejak awal pembentukan kabinet pemerintahan Jokowi periode pertama. Kendati merupakan Timses dan karib bisnis Jokowi sejak masih menjabat Walikota Solo, Luhut tidak masuk dalam daftar menteri kabinet.

Penyebabnya, ia ditentang Mega (juga Surya Paloh dan JK). Luhut pun melakukan lobi ke Jokowi melalui Panda Nababan. Untuk mengelabui Mega dan Paloh, Jokowi merekrut Luhut ke lingkaran kekuasaan tanpa perlu langsung menjadi menteri. Untuk sementara, dia diangkat jadi Ketua Dewan Kepresidenan. Dalam perjalanan waktu, sesuai rencana, Luhut diangkat jadi menteri, bahkan kemudian menjadi menteri segala urusan yang sangat powerful.

Tekanan Mega agar Jokowi membuang Luhut ketika reshuffle kabinet tidak berhasil. Selain Luhut adalah politisi ulung, Jokowi yang tak punya visi dan kapasitas yang terbatas sudah sangat bergantung pada kapasitas Luhut. Dan kebetulan keduanya punya syahwat kekuasaan dan kepentingan yang sama.

Bagaimanapun, fenomena Luhut sangat mengecewakan Mega dan Paloh. Itu sebabnya, ketika Luhut memunculkan wacana perpanjangan masa jabatan presiden — melaui relawan, menteri, dan ketum parpol yang bermasalah — PDI-P dan Nasdem termasuk parpol terdepan dalam menolak gagasan itu.

Selain tak mau partai mereka dikecam publik, Mega dan Paloh tahu itu gagasan Luhut (yang disambut Jokowi) untuk berkuasa lebih lama. Tanpa sadar, Jokowi sudah masuk dalam perangkap politik yang dibuat Luhut. Misalnya, diduga ia membawa putera-putera Jokowi ke dalam bisnis kotor dan memfasilitasi putera dan menantunya memperoleh kekuasaan di Solo dan Medan. Luhut tahu betul Jokowi seorang ambisius tapi tidak tahu cara mendapatkan mimpi-mimpinya.

Ketidaksenangan Mega dan Paloh terhadap Luhut bisa dimengerti. Kekuasaan Luhut begitu besarnya sehingga menteri-menteri PDI-P dan Nasdem mati kutu. Maka, kita melihat PDI-P sangat kritis terhadap semua kebijakan pemerintah yang terasosiasi dengan Luhut. Misalnya, PDI-P menentang keras penanganan pandemi covid-19 yang dipimpin Luhut.

Nampaknya, upaya menggunakan tangan pengadilan untuk menyukseskan wacana penundaan pemilu akan mentah lagi. Tapi tidak berarti itu merupakan usaha terakhir Luhut-Jokowi. Sikap PKS yang hingga hari ini masih terbata-bata dalam mencapreskan Anies harus dibaca dalam kerangka ini.

Sosok Luhut juga yang membuat hingga hari ini PDI-P belum mau bergabung dengan Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) maupun Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya (Gerindra-PKB). Pasalnya, belakangan ini hubungan Prabowo-Luhut — yang sempat mendingin karena Luhut menolak permintaan Prabowo agar mendukungnya pada pilpres 2014 — akrab kembali.

Sebenarnya hubungan keduanya sangat erat saat masih aktif di militer. Luhut adalah atasan Prabowo. Membaiknya hubungan mereka atas inisiatif Luhut karena ia melihat temannya itu merupakan aspiran capres yang potensial. Sangat mungkin, atas ide Luhut, belum lama ini Jokowi memberi isyarat mendukung Prabowo.

Pada kesempatan lain, Jokowi juga memberi sinyal pada aspiran capres lain, misalnya pada Ganjar Pranowo dan Airlangga Hartarto. Motifnya, baik Luhut maupun Jokowi, adalah ingin tetap punya pengaruh pada pemerintahan mendatang siapa pun yang akan mengganti Jokowi — kecuali Anies Baswedan — kalau saja upaya mereka menunda pemilu tidak berhasil.

Kalau Jokowi tak bisa berkuasa lagi, setidaknya Luhut masih terpakai sebagai menteri. Dengan demikian, syahwat kekuasaan dan kepentingan Luhut-Jokowi terjaga. Tetapi kedekatan Luhut-Prabowo justru merugikan Prabowo karena membuat PDI-P ragu untuk mengusungnya. Bisa jadi Prabowo yang “lugu” baru tersadar bahwa ia dimanfaatkan Luhut. Tapi dia tak bisa berbuat apa-apa. Memasang jarak dengan Luhut dan Jokowi pada saat ini bisa membuat ia terusir dari kabinet. Maka, Prabowo menjadi politisi paling konyol dalam sejarah Indonesia. Sebab, bila ditendang dari kabinet, pengorbanan Prabowo meninggalkan pendukungnya untuk bergabung dengan Jokowi menjadi sia-sia. Sudah ditinggal simpatisannya, kini kehilangan efek ekor jas Jokowi.

Mega dan Paloh juga tak melirik KIB karena di sana ada tangan Luhut. Dialah yang memaksa terbentuknya koalisi itu untuk menjadi sekoci bagi Ganjar.

Dalam konteks syahwat kekuasaan, duet Luhut-Jokowi membuka berbagai front untuk mencangkokkan pengaruh alias menanam saham politik pada bakal capres potensial: Prabowo, Ganjar, dan Airlangga Hartarto. Namun, semua bakal capres ini tidak menjamin kemenangan kecuali Anies disingkirkan dari kontestasi pilpres. Diamnya Mega dalam penyingkiran Anies — yang akan menimbulkan pertanyaan mengenai legitimasi pemilu — mungkin menunjukkan dia tak keberatan dengan ide itu. Toh, Anies juga ancaman bagi syahwat kekuasaan PDI-P. Mengapa Anies mau dikorbankan dan mengapa Paloh gigih mencapreskannya? Pada pilgub DKI Jakarta, Nasdem mendukung Ahok, bukan Anies.

Luhut-Jokowi menentang Anies karena dia satu-satunya bakal capres yang punya visi sendiri tentang Indonesia pasca Jokowi. Artinya, Anies adalah antitesa Luhut-Jokowi sehingga tidak menjamin kepentingan mereka. Paloh berpaling ke Anies juga tak lepas dari sosok Luhut. Mendukung salah satu dari tiga bakal capres tersebut di luar Anies sama artinya dengan melestarikan kekuasaan Luhut.

Karena Nasdem penentu nasib politik Anies, maka tak heran Luhut-Jokowi membujuk, menekan, dan mengancam Nasdem. Misalnya, ancaman mengeluarkan menteri-menteri Nasdem dari kabinet atau mengkriminalkan mereka. Upaya menjadikan Menko Kominfo Johny G Plate tersangka korupsi bisa dilihat sebagai tekanan itu.

Mungkin untuk tidak membuat hubungan Luhut-Jokowi dengan Paloh makin memburuk atau setidaknya memberi isyarat Anies bukan musuh mereka dan IKN adalah proyek ambisius Jokowi yang tak bisa ditawar, belum lama ini secara mengejutkan Anies menyatakan akan meneruskan pembangunan IKN, proyek boros dan tidak layak yang dikritisi publik dan pengamat. Anies beralasan sudah ada UU-nya. Ini alasan normatif.

Anies adalah tokoh politik yang sangat cerdas dan artikulatif. Semua perilaku politiknya terukur dan efektif dari sisi tindakan komunikatif. Juga, dia pasti sadar bahwa salah satu nilai jualnya adalah karena branding dirinya sebagai bakal capres pro-perubahan untuk membedakannya dengan bakal capres lain.

Dari sudut pandang ini, pernyataan melanjutkan proyek IKN tidak match dengan brandingnya. Lebih dari itu, pernyataan eksplisit yang kurang cerdas itu bukan tipikal Anies. Apa boleh buat, hanya dengan itu pencapresan Nasdem terhadapnya menjadi mungkin.

Kompromistis memang salah satu unsur penting dalam politik untuk mencapai tujuan. Dus, memberi konsesi dalam negosiasi merupakan hal biasa. Tetapi saya berharap, Nasdem (juga mungkin Demokrat dan PKS) tidak merugikan capres yang mereka dukung.

Tugas Koalisi Perubahan adalah meningkatkan akseptsbilitas dan elektabilitas Anies. Konsesi yang diminta dari Anies yang tidak terukur bisa kontraproduktif terhadap target yang ingin dicapai.

Bagaimanapun, kita harus bisa memaklumi fakta ini. Nasdem memang harus memberi konsesi pada Luhut-Jokowi untuk mengamankan posisinya. Juga untuk mengamankan posisi pencapresan Anies.

Tanpa itu Anies akan tersingkir dari arena kontestasi. Karena itu, bisa difahami juga bila Anies memberi konsesi pada Nasdem yang telah berkorban mengusungnya.

Diletakkan dalam konteks yang lebih luas, pencapresan Anies adalah ikhtiar maksimal Nasdem untuk memungkinkan pilpres berlangsung tepat waktu, yang berpeluang mematikan langkah Luhut. Syaratnya Anies menang pilpres.

Lebih jauh, bila jadwal pilpres tidak berubah, stabilitas politik nasional lebih terjaga. Dengan semua ini, kita berharap Luhut-Jokowi kembali ke akal sehat bahwa upaya menunda pemilu atau menghempaskan Anies dari arena pilpres, selain keberhasilannya kecil, usaha itu akan menjerumuskan Indonesia ke situasi keos yang tidak mudah untuk diatasi. Kendati demikian, jangan terlalu berharap Luhut-Jokowi akan berhenti berusaha. Toh, ketakutan hantu Anies tidak dapat hilang dari mimpi mereka. Dan sampai kapan pun mereka tak akan percaya bahwa Anies dapat menjadi sekutu mereka. Dalam konteks ini, masa depan bangsa tetap tidak menentu karena syahwat politik dan kepentingan Luhut-Jokowi akan terus mendorong mereka mencari jalan dengan berbagai cara demi mencapai tujuan, meskipun masa depan Indonesia adalah taruhannya.

Tangsel, 4 Maret 2023