China melakukan investasi di berbagai negara mempunyai tujuan memperluas wilayah termasuk menyebarkan ideologi dan kebudayaan.
“Investasi China di berbagai negara termasuk di Indonesia dan tidak lain tujuan pokoknya ekspansi wilayah,” kata Letkol (Purn) Dudung Kardalin kepada redaksi www.suaranasional.com, Jumat (20/1/2023).
Kata Dudung, investor China sangat leluasa mengeruk kekayaan alam Indonesia berkat bantuan para pejabat yang telah mengkhianati bangsanya sendiri. “Walaupun niat semula juga murni investasi, kalau para pengkhianat bangsa memberi peluang untuk menguras SDA suatu negara, para investor akhirnya “berubah fikiran”, apalagi ini sudah dari niatnya mau menguras SDA milik kita,” jelasnya.
Dudung mengingatkan, investor China ke Indonesia mempunyai tujuan menguasai Indonesia seperti yang pernah dilakukan VOC. “VOC yang datang ke Indonesia berawal dari dagang dan akhirnya menguasai Indonesia,” papar Dudung.
Peneliti senior CENTRIS, AB Solissa mengatakan dari informasi yang mereka terima, rancangan China untuk menjamin proyek-proyek yang diinvestasikannya pada negara-negara berkembang ini, gagal. Proyek-proyek tersebut pun dinilai telah ditangguhkan atau tidak memiliki nilai komersial.
“Pelabuhan Gwadar di Pakistan belum selesai dibangun dari utang China dan selama dua tahun terakhir, pemerintah Pakistan juga belum bisa membayar iuran untuk proyek pembangkit listrik karena bunga hutang China yang terlampau besar,” kata AB Solissa lewat keterangan tertulis, Jum’at (14/10/2022).
AB Solissa juga menyebut proyek lainnya seperti Bandara internasional di Zambia, Pelabuhan Hambantota di Sri Lanka dan Kota Pelabuhan Kolombo yang dibangun dari utang China namun tidak layak dan tidak memiliki nilai komersial. “Naasnya, negara-negara yang berutang mencoba mengajukan beberapa permintaan untuk restrukturisasi utang yang sayangnya, langsung ditolak China,” tutur dia.
Menurut AB Solissa, China saat ini mengancam Pakistan untuk menutup pembangkit listrik mereka kecuali pembayaran dilakukan di muka. Mereka pun menuduh pembayaran belum dilakukan untuk listrik yang sudah digunakan oleh rakyat Pakistan.
Selain itu, banyak negara Afrika telah menyuarakan keprihatinan mereka atas pinjaman BRI yang tidak berkelanjutan. Zambia telah membatalkan pinjaman luar negerinya yang sebagian besar merupakan pinjaman China untuk berhenti memperparah tekanan utangnya. Artinya 14 proyek di bawah BRI ditarik.
Menurut sebuah studi Observer Research Foundation, kredit Cina mencapai lebih dari seperempat dari total kredit eksternal negara-negara Afrika dengan tekanan utang yang tinggi. Total kredit China ke negara-negara di benua Afrika diperkirakan melebihi USD 140 miliar. Di antara negara-negara penerima utama kredit China adalah Angola, Ethiopia, Kenya, Republik Kongo, Zambia dan Kamerun.
“Kebijakan jebakan utang China BRI (Belt and Road Inisiatif) sering dikritik dimana China menggunakan cara ini untuk menginstalasi objek vital dan pos-pos militernya di negara yang memiliki hutang dengan Tiongkok,” jelas AB Solissa.
Di bawah BRI, China menggelontorkan lebih dari USD 1 triliun sebagai pinjaman ke hampir 150 negara berkembang dan kurang berkembang dengan tingkat bunga tinggi, sehingga Beijing menjadi negara kreditur resmi terbesar di dunia untuk pertama kalinya. Negara-negara seperti Pakistan dan Sri Lanka adalah contoh negara yang situasi dan kondisi negerinya, sangat mengkhawatirkan keberlangsungan jalannya hubungan utang-piutang bagi China.
Sementara itu, menurut laporan Wall Street Journal, setelah hampir satu dekade menekan bank-bank China untuk bermurah hati memberikan keringangan kredit, Beijing yang saat ini fokus dengan program Belt and Road 2.0 tiba-tiba menjadi terbuka untuk menerima beberapa kerugian kredit. Beijing bahkan menegosiasikan kembali utang kepada negara-negara tertentu.
“Kami mensinyalir China tengah mendorong komunitas internasional untuk menyetujui Belt and Road, salah satu jalan untuk ambisi Xi Jinping menguasai dunia,” jelas AB Solissa.