Suara Ojol, Tolong Perhatikan Nasib Kami

Pemerintah harus memperhatikan nasib pengemudi ojek online (ojol) terlebih lagi pemilik Gojek Nadiem Makarim berada di pemerintah menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud).

Pengemuda ojol di Kota Tangerang merasakan betul susahnya mendapatkan orderan belum. Wahid (30) mengaku susah mendapatkan orderan. “Sekarang maksimal saya dapat 15 orderan. Dulu juga segitu, tapi penghasilan saya sekarang lebih kecil,” ujarnya kepada redaksi www.suaranasional.com, Selasa (10/1/2023)

Wahid bercerita dirinya selalu memulai hari menjemput pesanan pada sekitar jam enam pagi dan menutup hari pada pukul 11 malam. Ia biasa mengantarkan penumpang mulai dari tempat tinggalnya di di kawasan Pinang Raya Narogtog Tangerang, Banten.

Ia mengaku sempat mendengar bahwa pemerintah telah menaikan tarif ojol dan menurunkan biaya potongan aplikasi atau komisi menjadi 15 persen. Namun hingga hari ini, belum terasa potongan biaya-biaya itu. Pendapatannya pun tak banyak berubah, khususnya sejak pandemi Covid-19 ketika aplikator tak lagi memberi bonus besar seperti dulu.

Ia mengaku pasrah pendapatannya terpotong melebihi ketentuan. “Saya capek kerja. Mau protes juga nanti poin saya takut kenapa-kenapa,” kata dia.

Adapun penyesuaian tarif baru ojek online disahkan melalui Keputusan Menteri Perhubungan berdasarkan Nomor KP 667 Tahun 2022 mengenai Pedoman Perhitungan Biaya Jasa Penggunaan Sepeda Motor yang Digunakan Untuk Kepentingan Masyarakat yang Dilakukan dengan Aplikasi, yang dirilis 7 September lalu.

Di dalam aturan itu disebutkan bahwa biaya potongan aplikasi turun dari 20 persen menjadi 15 persen, dan berlaku secara efektif mulai Ahad pekan lalu, 11 September 2022.

Sebab, usai dikeluarkannya Kepmenhub Nomor KP 667 Tahun 2022, kata dia, aplikator selalu beralasan masih mendiskusikan potongan aplikator dengan pemerintah. Ia menilai hal itu menjadi tanda tanya besar karena seharusnya aplikator langsung menjalankan aturan, bukan malah masih menawar besaran potongan aplikator agar tetap menguntungkan perusahaan.

“Persoalan pelanggaran aplikator ini adalah buntut dari lemahnya posisi driver dengan status mitra yang tidak dilibatkan dalam perundingan bersama,” ucapnya. Karena itu, para pengemudi ojol menuntut perubahan status mitra menjadi pekerja tetap.

Sementara itu, kenaikan tarif ojol yang diberlakukan oleh Kemenhub juga belum dirasakan manfaatnya oleh para pengemudi. Pengamat transportasi Azas Tigor Nainggolan menilai jika pemerintah meregulasi ojek online untuk menambah pendapatan para mitra pengemudi, maka langkah tersebut keliru. Sebab justru perusahaan penyedia aplikasi ojek online yang mendapatkan keuntungan paling besar.

“Karena pemilik platform prinsip pemotongannya persentase. Semakin tinggi angka, semakin nggak dapat besar persentasenya,” tutur Azas.

Ia menilai cara terbaik untuk menaikkan penghasil para mitra memang memangkas presentase biaya jasa yang diberlakukan oleh pemilik platform. Namun pelaksanaan akan sulit karena ojek online dimiliki perusahaan swasta, sehingga aturan tetap di tangan perusahaan.

Selain itu, ojek online belum diakui sebagai transportasi publik. Padahal pengakuan akan ojek online sebagai transportasi publik dan perubahan status mitra menjadi karyawan adalah hal penting.

Oleh karena itu, menurut Azas, harus didorong agar hak-hak mitra pengemudi bisa betul-betul dilindungi oleh negara. Hal tersebut semakin mendesak karena mitra pengemudi ojek online sudah berjumlah jutaan orang dan tersebar hampir di seluruh Indonesia.

Di sisi lain, Direktur Eksekutif Indonesia ICT Institute, Heru Sutadi mencatat kini tarif ojek online atau ojol sudah di atas tarif ojek pangkalan. Namun persoalannya, semua pendapatan ojek pangkalan bisa masuk ke kantong pengemudi, sedangkan para pengemudi ojol harus membaginya dengan aplikator berupa biaya komisi. (Jainul Aripin)