Pertemuan Bilateral G20 Hanya Wisata, Obrolan Lepas dan Makan-makan Bersama

Oleh: Sutoyo Abadi (Koordinator Kajian Politik Merah Putih)

Berdiri pada tahun 1999, G20 lahir sebagai respons atas krisis ekonomi dunia pada tahun 1997-1998. Tujuannya adalah memastikan dunia keluar dari krisis dan menciptakan pertumbuhan ekonomi global yang kuat dan berkesinambungan.

Apa hasilnya pertemuan G20
G20 memeetin di Bali kalaulah tidak dibilang gagal total, tidak lebih hanya pertemuan basa basi. Menghabiskan uang rakyat trilliun rupiah hanya  menghasilkan deklarasi basa basi penuh dengan omong kosong.

Tidak ada keputusan bersama yang mengikat (binding) dan kewajiban moral untuk menjalankannya  alias omong kosong (empty words)

Pejabat Indonesia masih memiliki inferiority complex syndrome begitu suka dan terbius dengan pujian orang barat, di bilang membanggakan dan  spectacular sudah jingkrak-jingkrak kesurupan,  secara fundamental pertemuan G-20 hanya basa basi belaka.

Karena faktanya pertemuan G-20 di Bali tidak menghasilkan kesepakatan bersama, mengikat dan untuk dilaksakan bersama.

Tidak pada tempatnya G 20 untuk membahas mengakhiri perang Rusia – Ukraina. Tidak mungkin menghasilkan kesepakatan bersama untuk mengakhiri sangsi ekonomi Barat terhadap Russia. Atau kerusakan ekonomi global akibat perang Rusia – Ukraina.

Tugas utama  lepas menjadi perhatian, terbengkalai selain hanya basa basi. Pertemuan G.20 tidak menghasilkan kesepakatan bersama untuk mengakhiri Inflasi tinggi (high inflation), kekurangan pangan (foot shortage) dan krisis ekonomi global (global energy crisis), yang terus di gembar gemborkan Presiden bahwa pada tahun 2023 akan masuk ekonomi gelap akibat krisi global.

Pemerintah  menyiapkan 1.442 kendaraan listrik, 962 di antaranya mobil elektrik, untuk sarana operasional KTT G20. Saat bersamaan negara dalam kondisi udara terburuk  Asia Tenggara, kampanye penggunaan energi baru dan terbarukan lebih terasa sebagai program basa-basi.

Konferensi Tingkat Tinggi G20 atau Group of Twenty di Bali telah disiapkan dengan lebai.

Di tengah ancaman resesi ekonomi, yang berulang kali dikatakan Jokowi, pemerintah menyediakan anggaran sedikitnya Rp 675 miliar. Tiba tiba muncul bombastis  klaim bahwa acara itu mampu menambah produk domestik bruto hingga Rp 7,4 triliun dan bisa mendatangkan investasi secara masif.

Di pasar keuangan, sejak Januari tahun ini hingga 10 November lalu, nilai investasi yang hengkang dari obligasi pemerintah mencapai Rp 178 triliun. Jumlah itu lebih dari dua kali lipat investasi yang masuk lewat saham sebesar Rp 80,23 triliun.

Artinya, KTT G20 sama sekali tidak menjadi pertimbangan bagi investor untuk menanamkan modalnya di negeri ini. Berbagai sikap jorjoran dan klaim berlebihan merupakan hasil penilaian yang terlalu tinggi dari pemerintah serta pendukungnya soal posisi Indonesia di G20.

Presidensi—istilah hiperbolis untuk “panitia penyelenggara”—G20 disalah artikan secara sempit sebagai kebanggaan atau prestasi. Sikap berlebihan itu juga terlihat ketika Jokowi mengklaim akan menjadikan KTT G20 sebagai ajang mendamaikan Rusia dan Ukraina.

Dalam sejarahnya, G20 tak pernah melahirkan keputusan luar biasa kecuali kesepakatan bersama yang tak mengikat para anggota.

Sudah saatnya pemerintah bangun dari tidur dan tak terbuai khayalannya sendiri. Pertemuan bilateral G. 20 yang hanya untuk wisata, photo ops, chit chatting dan makan-makan bersama. Indonesia hanya menjadi Event Organizer  (EO) yang dibilang spectacular karena menghabiskan trilliun rupiah uang rakyat.