Menagih Janji dan Hutang Reformasi

Oleh : Brigjen TNI Purn Drs. Aziz Ahmadi, M. Sc

Hampir 2 (dua) purnama. Siang tertulis & malam terbaca. Ruang publik seantero Nusantara, dibikin grebeken, – riuh, bising dan gaduh – oleh kasus “Duren Tiga”.

Menurut berita kasus itu, adalah, “tragedi polisi, baku tembak sesama polisi, di rumah polisi, diselidiki polisi, diumumkan oleh polisi, tapi CCTV yang mati”.

Tragedi itu, melahirkan anekdot dengan aktor utama, Irjen Ferdy Sambo (FS). Karenanya, disebut juga dengan, “Kasus FS”.

Anak Polah

Hari-hari hampir 2 (dua) bulan berlangsung. Obrolan publik temanya sama. Mata & telunjuk, searah & seirama. Keprihatinan, campur-aduk dengan umpatan & cacian, tertuju satu. FS, sasaran utama.

Nyaris, semua balik kanan. Tiba-tiba merasa menjadi benar ; merasa menjadi lebih baik ; merasa menjadi lebih bijak ; jika sudah ikut & nimbrung, menghujat dan menyalahkan FS.

Terbangun opini, FS sedang “ngunduh wohing pakarti” – memetik/panen dari (hasil) kelakuannya sendiri. Skenario bodoh yang disusun dan dilakonkan, ternyata nyathek, lalu “membunuh” dirinya sendiri. Tidak ada kejahatan yang sempurna. “Siapa menggali lobang, (dia sendiri) bakal terperosok ke dalamnya”.

FS, mungkin tak paham kearifan lokal Jawa ini. Tapi kini, dia terlibat di dalamnya. “Anak polah, bopo kepradah“. Anak bikin masalah, Bapak (orang tua) juga yang harus bertanggungjawab, atau menanggung akibatnya.

Sebagai anak, (baca : anggota) dari sebuah institusi yang bernama Polri, polah, pekerti, atau perbuatan FS, tentu telah mencoreng nama besar Polri.

Namun demikian, selalu ada hikmah lain yang tersembunyi. Polah FS, bagaikan Pedang Janus – bermata ganda.

Di satu sisi tentu, “sakitnya tuh di sini”… Merobohkan citra yang memang rapuh. Membuka aib “panggung depan”, yang selama ini berhasil ditutupi.

Tapi, pada sisi lain – polah FS ini – menjadi percik api petunjuk. Memancarkan sinar terang, memberi harapan. Membuka tudung kemunafikan dan kepongahan. Menyibak tabir “panggung belakang”, yang ternyata Polri belum dan tidak sedang baik-baik saja.

Dari sanalah, kemudian “sinar” itu membimbing kecerdasan & kesadaran etis bersama, bahwa institusi Polri perlu dan harus ditata ulang, atau direformasi.

Cethek-Ngglethek

Keniscayaan itu, sejalan dengan pemikiran Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam), Mahfud MD.

Melalui kanal YouTube Akbar Faisal (17/8/2022), Menko Polhukam, kurang-lebih mengatakan :

“(Saya) akan menyiapkan memorandum kepada Presiden, agar penataan Polri dilakukan secara internal saja. Enggak usah perubahan Undang-Undang, status Polri di bawah Kementerian. Itu gaduh nanti”. (Kompas TV, 18/8/2022)

Ada tiga hal yang harus dikritisi, dari pernyataan Menko Polhukam di atas.

Pertama. “Saya akan buat memorandum kepada Presiden”.

Narasinya terkesan unjuk kuasa, baik kepada Polri maupun publik. Rasanya lebih arif jika, “kerjakan semua yang kau katakan, tapi jangan katakan semua yang kau kerjakan”.

Dengan berlindung di balik petunjuk Presiden, Menko menjadi too long – too much, terkait kasus FS ini. Tanpa disadari, sering kali justru menambah makin runyam dan gaduhnya situasi.

Sebagai Menko Polhukam sekaligus Ketua Kompolnas, Menko Mahfud menjadi tidak jelas batas tugas dan peranannya. Kadang, terkesan layaknya pengamat, nyinyir. Tapi, kali lain malah seperti juru bicara Timsus Polri, yang menangani kasus FS ini.

Kedua. “Reformasi atau penataan internal saja”.

Dari kapasitas keilmuan dan pengalaman jabatan, Menko Mahfud tentu amat paham terhadap “selera” reformasi.

Lebih paham, akan apa dan bagaimana Polri mesti ditataulang, sesuai agenda reformasi, dalam rangka capacity building sekaligus penguatan sistem demokrasi.

Namun, dengan terselipnya frasa, “secara internal saja”,pernyataan Mahfud menjadi begitu hambar, sangat mengecewakan, dan amat melukai.

Terkesan kuat, Menko Polhukam ingin melakukan short cut. Jalan pintas, atau potong kompas. Cari yang aman walau tidak menyelamatkan. Padahal, Menko Mahfud juga sadar dan tahu, jika publik berharap lebih dari itu.

Namun nyatanya, menjadi amat ironis. Respons Mahfud sulit dipahami, kenapa begitu cethek dan ngglethek. Padahal, langkah mungkin efisien tapi pasti tidak efektif dalam membalut luka, untuk menyembuhkan komplikasi dalam tubuh Polri.

Sungguh ideal, jika “tragedi FS” berikut segala serpihan masalah yang menyertainya, dapat diapresiasi sebagai momentum besar untuk melakukan reformasi Polri secara total. Meliputi, doktrin, struktur, dan kultur. Dilaksanakan secara utuh, menyeluruh, dan sungguh-sungguh.

Ketiga. “Itu gaduh nanti” …

Menko Polhukam pura-pura lupa, jika selama 8 (delapan) tahun terakhir, negeri ini sudah gaduh melulu.

Tiada hari tanpa kegaduhan. Satu kegaduhan ditingkahi kegaduhan lain – baik yang baru maupun yang sifatnya daur-ulang.

Timbul pertanyaan kritis : (1) Siapa, yang mau (bikin) gaduh itu? (2) Siapa pula, (sebenarnya) yang takut terjadi kegaduhan? (3) Kegaduhan macam apa yang bakal/bisa (di)muncul(kan)?

Terakhir tapi bukan tidak penting. Akan muncul pula pertanyaan ikutan, yang tidak kalah kritisnya.

Sekelas Menko Polhukam – kenapa tiba-tiba disclaimer? Kenapa menghindari tantangan dan tidak berani ambil resiko? Ada apa dan kenapa, gerangan?

Menagih Janji

Kini, setelah empat windu alias 24 tahun, usia era reformasi. Apa yang sesungguhnya terjadi?

Dalam perspektif TNI, era reformasi tak ubahnya guillotine. Berhasil memancung TNI. Mengamputasi Dwifungsi ABRI. Memisahkan Polri, dari keterpaduannya bersama TNI.

Era reformasi, konon berhasil dengan amat sukses, menggiring militer ke khittahnya. Militer, yang dicabut dari akar historis, filosofis, dan budayanya. Didongkel dari jatidirinya, dengan dalih demokratisasi.

Tapi sebaliknya. Reformasi telah gagal dan salah fokus.Lantas abai terhadap agendanya sendiri.

Disadari atau tidak, selama ini reformasi menerapkan politik belah bambu. Kemarahan atau kebenciannya terhadap TNI, menghalangi keharusannya untuk tetap bisa berfikir jernih. Juga bersikap adil dan bijaksana, dalam kondisi bagaimanapun juga.

Akibatnya, reformasi menyisakan janji dan hutang, yang kini telah tiba saatnya untuk ditagih, dan mesti dilunasi.

Misal, Undang-Undang, Nomor 34/2004, tentang TNI, sudah masuk Prolegnas untuk direvisi. Tentunya, Undang-Undang Nomor 2/2002, tentang Polri, lebih mendesak lagi.

Ontran-ontran “tragedi Duren Tiga”, mengabarkan – tentang keperluan dan keharusan – untuk meninjau kembali, doktrin, struktur dan kultur Polri.

Pun juga kiranya, tragedi itu bisa menjadi gerbang masuk, menuju “batu bangun” proses & sistem demokrasi di negeri ini, yang makin kokoh, berkualitas, berkeadilan, dan paripurna.

Jakarta, 24 Agustus 2022