Goncangan dan Kekerasan akan Terus Terjadi

Oleh: Sutoyo Abadi (Koordinator Kajian Politik Merah Putih)

Diskursus, yang secara harfiah berarti “berlari bolak-balik”, atau wacana  dalam bentuk komunikasi baik secara lisan maupun tulisan. Diskursus adalah sebuah sistem berpikir, ide-ide, pemikiran, dan gambaran yang kemudian membangun konsep suatu kultur atau budaya.

Ketika orang belum terbiasa dengan diskursus, mudah mengambil tindakan kekerasan jalanan maupun kekerasan “politik”. Ketika penguasa sudah mengabaikan konstitusi karena nafsu kekuasaan yang ingin tetap dipertahankan tanpa peduli rambu rambu proses demokrasi – kekerasan akan terjadi dan pecah dimana mana.

Kekerasan politik tidak kasat mata, pelaku – pelakunya invisible hands (kaum elite, peng-peng, dll.), namun kerusakannya besar

Meminjam konsep Prof Johan Vincent Galtung, sosiolog Norwegia, pendiri utama disiplin perdamaian dan konflik : “Kekerasan Struktural adalah suatu bentuk kekerasan di mana beberapa struktur sosial atau institusi sosial dapat merugikan orang dengan menghalangi mereka memenuhi kebutuhan dasarnya”.

Kekerasan struktural dan kekerasan langsung dikatakan sangat saling bergantung, termasuk kekerasan keluarga, kekerasan gender, kejahatan kebencian, kekerasan rasial, kekerasan polisi & negara, terorisme, dan perang. Hal ini sangat erat kaitannya dengan ketidakadilan sosial & ekonomi”

( “Structural Violence is a form of violence wherein some social structure or social institution may harm people by preventing  them from meeting their basic needs”.

Structural violence and direct violence are said to be highly interdependent, including  family violence, gender violence, hate crimes, racial violence, police & state violence, terrorism, and war. It is very closely linked to social & economic injustices ).

Jadi kekerasan struktural tidak akan bisa berhenti dan dihentikan sepanjang keadilan politik, sosial dan ekonomi masih carut marut. Diperparah dengan kekerasan yang muncul karena penguasa berubah menjadi tirani dan diktator.

Indikator penyimpanan terhadap konstitusi di era Jokowi terang terlihat dengan munculnya oknum penguasa yang ingin memaksakan perpanjangan jabatan presiden dan atau masa jabatan presiden periode.

Indikasi lain dalam penyusunan anggota KPU dan Bawaslu – saat ini juga dicurigai berjalan tidak objektif dan arahnya di persepsikan untuk persiapan kecurangan pada Pilpres 2024 mendatang ( kalau tidak ditunda ).

Presiden yang terkesan hanya sebagai boneka kekuatan politik yang lebih besar dari kuasa dirinya sebagai presiden adalah situasi bahaya yang tidak akan bisa dihindari akan terus terjadinya keributan dan kekerasan yang akan terjadi tanpa akhir.

Kalau ini tidak disadari bersama sebagai kendala keutuhan dan jaminan demokrasi berjalan dengan normal, negara akan tetap dalam goncangan dan sangat mungkin akan terus meluncur ke arah kehancurannya.