Dampak Kejatuhan Jokowi

Smith Alhadar, Direktur Eksekutif Institute for Democracy Education (IDe)

Di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo dalam delapan tahun terakhir, Indonesia mengalami kemerosotan di segala bidang. Demokrasi merosot, korupsi menggila, kemiskinan dan pengangguran meningkat drastis, utang luar negeri menggunung, penegakan hukum dan HAM ambyar, dan masyarakat terbelah.

Namun, Jokowi tidak sepenuhnya dapat disalahkan. Kesalahan paling besar harus ditimpakan pada para cendekia pendukungnya. Sejak awal mereka menutup mata pada kualitas dan integritas Jokowi. Juga pura-pura tidak tahu pada kekuatan oligarki yang mengepungnya.

Mana mungkin seorang tukang mebel yang tak suka membaca buku — karena itu tak punya wawasan dan pengalaman politik memadai — mampu mengendalikan negeri sebesar Indonesia yang dikendalikan partai politik bekerja sama dengan kaum pemodal rakus yang hanya mengejar kepentingan material mereka.

Jokowi hanya salah karena dia tidak tahu bahwa dirinya punya kemampuan terbatas dan menyerahkan kekuasaannya pada orang yang salah. Artinya, Jokowi bersedia tampil sebagai boneka oligarki sambil membiarkan Menko Maritim dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan (LBP), yang dibesarkan Orde Baru, mengurus semuanya.

Jokowi hanya tampil pada acara seremonial atau ritual mistis yang kadang terlihat lucu, seperti berkemah di IKN entah untuk apa, demi pencitraan. Biar begitu LBP sering memuji Jokowi sebagai presiden yang luar biasa, yang sebenarnya bertujuan memuji dirinya. Toh, sebenarnya Jokowi tidak melakukan apa-apa.

Di bawah Jokowi, lahir berbagai UU yang kontroversial. Di antaranya, UU Cipta Kerja yang melayani kepentingan oligarki sambil mengorbankan kepentingan buruh. UU ini dibuat tergesa-gesa dengan mengabaikan prosedur pembuatan UU sehingga MK memvonisnya sebagai inkonstitusional. Berikut, UU Minerba yang juga melayani kepentingan oligarki dan asing seraya melonggarkan pada kepatuhan menjaga lingkungan.

UU KPK direvisi, yang melemahkan lembaga antirasuah itu, dengan alasan absurd bahwa KPK yang kuat merintangi masuknya investor. Pada saat bersamaan rezim mengopresi oposisi. Semuanya berpulang pada ideologi developmentalism dan extractivism yang dianut Orba demi tercapainya stabilitas, pertumbuhan, dan pemerataan. Sayangnya, selain tak mencapai target, di wilayah-wilayah tambang terjadi kerusakan lingkungan yang parah dan merajalelanya korupsi.

Integritas Jokowi juga mestinya dipertanyakan sejak awal ketika klaimnya membangun mobil Esemka saat menjadi walikota Solo terbukti bohong belaka. Para cendekia pendukungnya pun tak menuntut Jokowi merealisasikan puluhan janji kampanyenya yang tak satu pun ia penuhi.

Dan suara mereka hanya terdengar samar-samar ketika Jokowi melakukan KKN dengan menyokong putera dan menantunya menduduki jabatan politik di Solo dan Medan. Memang mereka terpilih melalui pilkada, tapi mustahil anak-anak ingusan yang dikenal masyarakat ini memenangkan pertarungan kalau mereka bukan keluarga dekat presiden. Soeharto menyadari hal ini sehingga tak membiarkan putera-puterinya menduduki jabatan publik meskipun ia lebih daripada mampu untuk melakukannya.

Para pendukung baru sadar siapa sebenarnya Jokowi, ambisinya, bahaya yang dihadapi bangsa, setelah terjadi kebablasan di semua bidang. Yang mengerikan, Jokowi ingin memperpanjang masa kekuasaannya meskipun akan menabrak konstitusi. Selain ingin menikmati kekuasaan lebih lama, ambisi itu berkaitan dengan pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara. Kendati para akademsi dan publik telah mewanti-wanti untuk tidak mewujudkan ambisi yang dapat mencelakakan negara, Jokowi ngotot membangun proyek oligarki yang berpotensi mangkrak di tengah kesulitan ekonomi yang dihadapi rakyat akibat harga bahan pokok dan BBM meroket.

Melalui LBP — dengan persetujuan Jokowi — menteri, parpol, dan rakyat kecil dimobilisasi untuk mewujudkan impian tiga periode. Karena kemarahan semua lapisan masyarakat, pada 6 April silam — dalam sidang kabinet paripurna — Jokowi meminta menterinya tak lagi bicara tentang perpanjanga masa jabatan presiden.

Tapi kepercayaan rakyat padanya telah merosot drastis. Mahasiwa, buruh, dan mungkin juga elemen masyarakat lain, tetap ingin melaksanakan rencana mereka berunjuk rasa dengan beberapa tuntutan. Di antaranya, Jokowi harus secara tegas menyatakan tak akan memperpanjang masa kekuasaannya yang akan berakhir pada 2024 dan menurunkan harga pangan dan BBM.

Rencana demonstrasi Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia pada 11 April besok bisa dimaklumi karena tenggat dua minggu yang diberikan mereka kepada presiden untuk secara eksplisit menolak perpanjangan masa jabatannya tidak dipenuhi.

Sedangkan permintaan Jokowi pada para menterinya untuk tidak lagi membicarakan penundaan atau perpanjangan tidak otomatis berarti dia telah melempar handuk. Menteri dilarang bicara, tapi sangat mungkin orang-orang kepercayaannya akan terus bekerja di belakang panggung untuk mewujudkan wacana itu. Apalagi beredar berita bahwa Jokowi telah memindahkan urusan ini dari LBP ke Mensekneg Pratikno.

Tekanan mahasiswa dan elemen masyarakat lain untuk memaksa Jokowi menguburkan mimpinya itu memang perlu dilakukan, tapi jangan bergerak lebih jauh. Misalnya, menuntut Jokowi lengser keprabon. Ada alasan strategis untuk itu. Pertama, kita harus menjaga stabilitas negara dan kelangsungsn hidup sistem demokrasi. Karena itu, kita harus berkomitmen menjaga kelangsungan masa jabatan presiden sesuai mandat yang digariskan konstitusi, kecuali ia melanggar konstitusi. Atau ada bukti ia mengkhianati negara, korupsi, atau tindakan tak pantas lainnya.

Hanya dengan cara ini kita melakukan konsolidasi demokrasi. Kita telah mampu bersabar selama delapan tahun menghadapi rezim Jokowi yang menyesakkan dada, mestinya kita mampu bersabar untuk dua tahun lagi.

Kedua, kejatuhan Jokowi pada saat ini akan menimbulkan lebih banyak mudarat ketimbang manfaatnya. Sesuai konstitusi, bila rezim jatuh, maka TNI-Polri akan mengambil alih kekuasaan. Karena akan menimbulkan kekacauan sosial dan masalah legitimasi, maka mau tak mau TNI-Polri akan mengambil tindakan keras untuk menertibkan masyarakat. Pada saat yang sama, kondisi ekonomi nasional akan memburuk. Apalagi ada potensi pelarian modal dan eksodus orang-orang kaya ke luar negeri sehingga mengganggu rantai pasokan barang sebagaimana terjadi pada 1998. Kekacauan ekonomi dan sosial akan berdampak luas pada kehidupan berbangsa dan bernegara. Dus, kita akan mengalami kemunduran di segala bidang. Dan rakyat akan menjadi korban paling besar.

Ketiga, potensi berakhirnya sistem demokrasi yang kita perjuangkan dengan susah payah hampir seperempat abad terakhir. Memang setelah kehidupan sosial dan politik normal kembali, TNI-Polri wajib melaksanakan pemilu demokratis untuk memunculkan pemerintahan baru yang legitimate. Tapi siapa yang bisa menjamin penguasa ototitarian baru akan taat pada konstitusi? Kekuasaan selalu memabukkan dan selalu saja ada jalan yang dapat melanggengkan kekuasaan mereka seperti dilakukan militer pimpinan Soeharto pada 1965.

Peluang TNI-Polri menghentikan demokrasi dan melanggengkan kekuasaan kini terbuka lebar terkait persaingan geopolitik di kawasan antara AS-sekutu versus Cina-Rusia di mana posisi Indonesia terlalu strategis untuk dibiarkan. Memang AS dan sekutunya mengecam dan menjatuhkan sanksi pada Myanmar akibat kudeta militer di sana. Namun, itu lebih disebabkan junta pro-Cina dan Rusia, bukan karena semata-mata junta meninggalkan demokrasi.

Dus, seperti Soeharto, besar kemungkinan rezim TNI-Polri akan berpaling ke Barat untuk melegitimasi kekuasaan mereka serta mendapat bantuan ekonomi. Hal ini akan mereka peroleh dengan mudah karena AS-sekutu memerlukan Indonesia dalam melawan politik ekspansif Cina di kawasan. Apalagi Asean tidak lagi solid mengingat Myanmar, Kamboja, dan Laos telah jatuh ke dalam wilayah pengaruh Cina. Dalam jangka menengah dan panjang, diperkirakan tak ada anggota Asean yang dapat bertahan independen dari Cina kalau AS-sekutu tak datang membantu.

Dalam perebutan pengaruh negara-negara besar di Asia-Pasifik, Indonesia sebagai negara terbesar di kawasan dengan sejarahnya yang unik dapat berperan sebagai pengubah permainan. Mudah saja rezim TNI-Polri mengubah politik keseimbangan — yang dijalankan rezim Soeharto dalam sepuluh tahun terakhir hingga rezim Jokowi — menjadi lebih pro-Barat karena secara historis resistensi atau sentimen antinegara Cina cukup tinggi di negeri ini.

Apalagi, hingga kini Beijing masih mengklaim Laut Natuna Utara, yang masuk zona ekonomi eksklusif Indonesia, sebagai wilayah pencarian ikan tradisionil Cina. Di lain pihak, AS sangat khawatir bilamana Pulau Natuna atau pulau-pulau kecil di sekelilingnya diduduki Cina, yang akan memberinya posisi strategis dari sisi militer.

Mempertimbangkan hal-hal di atas, maka akan lebih baik bila rezim Jokowi kita pertahankan — sembari menekan agar ia mengakhiri kekuasaan pada 2024 dan menghentikan proyek IKN — untuk digantikan pemerintahan baru hasil pemilu yang capable dan credible untuk memperbaiki kerusakan yang ditinggalkan rezim Jokowi. Ini untuk menjaga kelangsungan hidup sistem demokrasi.

Kendati demokrasi bukan sistem yang sempurna, telah terbukti sistem ini paling mampu menciptakan kesejahteraan dan kemajuan bagi rakyatnya. Ini karena demokrasi penuh (full democracy), bukan demokrasi cacat (flawed democracy) seperti yang berlaku pada Indonesia saat ini, membuka ruang luas bagi tegaknya keadilan sosial, pemerintahan yang akuntabel, stabilitas negara yang genuine, dan membuka akses yang adil bagi semua warga negara pada sumber ekonomi, politik, dan sosial.

Memang rezim otoritarian Cina mampu melahirkan kesejahteraan dan stabilitas. Tapi, seperti kata mantan Presiden B.J. Habibie, kekuatan rezim otoritarian bersifat semu. Satu waktu pasti ia akan mengalami kehancuran dari dalam seperti rezim Soeharto manakala rezim tak mampu lagi mengakomodasi dan mengendalikan dinamika sosial-politik yang berkembang di masyarakat. Habibie benar ketika mengatakan, stabilitas dan kekuatan negara akan muncul secara alami bila civil society (masyarakat sipil) tumbuh kuat sebagaimana terjadi di negara-negara demokrasi maju. Hal itu juga pasti muncul di Indonesia bila kita semua percaya dan berpegang kuat pada sistem demokrasi.

Tangsel, 9 April 2022