Bila Nekat Tunda Pemilu, Rezim Jokowi-LBP akan Tamat

Oleh: Tarmidzi Yusuf (Pegiat Dakwah dan Sosial)

Joko Widodo (Jokowi) dan Luhut Binsar Pandjaitan (LBP) makin tersudut pasca usul penundaan Pemilu ditolak mentah-mentah oleh PDIP. Partai dimana Jokowi bernaung.

Penolakan penundaan pemilu oleh PDIP mengindikasikan sedang terjadinya pertarungan hebat antara Jokowi-LBP dengan Megawati. Upaya akal-akalan LBP yang sering diasosiasasikan sebagai ‘the real president’ untuk mempertahankan kekuasaan.

Konflik Jokowi-LBP dengan Megawati sudah terbaca oleh publik sejak periode pertama Jokowi menjabat. Jokowi lebih dekat bahkan cenderung ‘dikendalikan’ LBP ketimbang Megawati selaku Ketua Umumnya Jokowi di PDIP.

Pintu Jokowi-LBP memperpanjang kekuasaan sudah diblockir PDIP. Amandemen UUD 1945 khususnya tentang masa jabatan presiden hampir tak mungkin terjadi.

Bila Jokowi-LBP memaksa melakukan amandemen perpanjangan masa jabatan presiden justru akan mempercepat jatuhnya rezim Jokowi-LBP. Ma’ruf Amin berpeluang besar mengambil alih kekuasaan. Sebuah skenario yang sangat mereka hindari.

Memaksa rakyat menerima amandemen UUD 1945 khususnya Pasal 7 tentang masa jabatan presiden akan memicu gelombang besar rakyat mengepung gedung MPR/DPR dan Istana Presiden.

Contoh people power sudah banyak. Indonesia salah satunya. Reformasi tahun 1998 yang menjatuhkan Presiden Soeharto.

Tak jauh dari Indonesia. Filipina contoh lain. Ferdinand Marcos jatuh oleh people power tahun 1986 setelah 32 tahun berkuasa.

Terbaru kudeta di Guinea September 2021 lalu. Kudeta oleh militer terhadap Presiden Alpha Conde. Kudeta ini dipicu oleh ngototnya Alpha Conde menjabat presiden tiga periode. Amandemen konstitusi pada Maret 2020 memuluskan langkahnya menjabat presiden selama tiga periode.

Bila amandemen UUD 1945 Pasal 7 mentok. Memprovokasi rakyat melalui gerakan massa dan memainkan isu kelangkaan dan melambungnya sembilan bahan pokok. Minyak goreng misalnya. Massa digiring untuk berbuat chaos melalui operasi senyap intelijen. Simpul-simpul massa digerakkan. Sehingga ada alasan penundaan pemilu atau peralihan kekuasaan tanpa pemilu.

Skenario inilah yang harus diwaspadai. Sebab, mereka sangat lihai memainkan isu dan berpengalaman melakukan operasi intelijen. Media mainstream dan lembaga survei pun dalam genggaman mereka.

Propaganda dan penggiringan opini publik sebagai pembenaran atas manipulasi besar-besaran terhadap isu yang mereka mainkan. Misalnya soal kelangkaan minyak goreng dan sembilan bahan pokok lainnya. Diiringi melambungnya harga-harga. Rakyat ngamuk dan marah. Dimobilisasi sehingga terjadi kekacauan nasional.

Contoh lainnya adalah soal penegakan hukum tanpa proses pengadilan terhadap terduga terorisme. Langsung dor. Seperti penembakan terhadap dokter Sunardi oleh Densus 88 di Sukoharjo Jawa Tengah.

Rakyat harus cerdas. Bergerak murni. Tidak ditunggangi oleh kepentingan darurat sipil atau darurat militer sebagai justifikasi penundaan pemilu untuk perpanjangan masa jabatan presiden atau peralihan kekuasaan ke Panglima TNI. Andika Perkasa berpeluang besar bakal ditunjuk sebagai pejabat presiden sampai terselenggaranya Pemilu selanjutnya. Bisa tahun 2024, bisa juga 2027. Diduga skenario peralihan kekuasaan seperti inilah yang akan direstui oleh Megawati dan PDIP sebagai kompromi politik dengan Jokowi-LBP.

Kompromi lainnya. Mencalonkan Andika Perkasa-Puan Maharani di Pilpres 2024. Inilah solusi win-win solution antara Jokowi-LBP dan Megawati. Sama-sama selamat dari calon presiden potensial yang tidak mereka kehendaki. Pilpres 2024 berpotensi curang dan lebih brutal dari 2019.

Bila terjadi. Guinea bisa jadi pelajaran. Pemilu curang seperti yang dilakukan Alpha Conde memicu kudeta militer atau pembangkangan sipil bila Pilpres 2024 curang. Membuka celah reformasi jilid dua.

Wallahua’lam bish-shawab.

Bandung, 14 Sya’ban 1443/17 Maret 2022