Anies Baswedan, Jawa dan NU

Oleh: Smith Alhadar (Direktur Eksekutif IDe)

Dalam konteks kontestasi elektoral pada 2024, suara Gubernur DKI Anies Baswedan terus menanjak seiring perjalanan waktu. Anies unggul di Jawa Barat, Banten, Jakarta, dan di luar Pulau Jawa. Tetapi di Jawa Tengah dan Jawa Timur, basis PDI-P dan NU, perolehan suaranya tidak signifikan. Padahal, di dua provinsi ini jumlah suara pemilih sekitar 60 juta atau hampir sepertiga total jumlah suara nasional. Di Jawa Tengah, suara dukungan untuk Anies hanya sekitar 6-7 persen. Di Jawa Timur, hanya 12 persen. Suara yang relatif kecil untuk Anies di dua provinsi ini mungkin hanya datang dari pemeluk Muhammadiyah dan Al-Irsyad, dua ormas Islam modernis.

Resistensi pendukung PDI-P yang umumnya kaum Muslim abangan disebabkan Anies tidak dilihat sebagai representasi Jawa. Memang selain Muslim santri, Anies datang dari keluarga keturunan Arab. Namun, secara kultural dan ideologis, Anies tak jauh-jauh amat dari konstituen Jawa.

Pembeda antarmanusia yang utama adalah budaya. Dalam hal ini, Anies adalah orang Jawa tulen. Ia lahir di Kuningan, Jawa Barat, dan tumbuh besar di Yogyakarta. Dus, sedari kecil ia sudah berinteraksi dengan lingkungan Jawa menggunakan bahasa Jawa Kromo maupun Inggil. Dari situ ia menginternalisasi nilai-nilai Jawa yang santun, rendah hati, dan toleran, yang terpancar dari keseharian sikapnya dalam berinteraksi dengan siapa saja. Sikap itu juga diperkuat oleh nilai-nilai Islam substantif dan rasional yang ditanamkan keluarganya. Hal itu tidak mengherankan karena ia dididik oleh ayah dan ibunya yang keduanya adalah akademisi yang terpandang. Meskipun datang dari kalangan Islam puritan, Al-Irsyad, Anies mengapresiasi Islam wasathiyah (Islam moderat) khas Indonesia sebagai hasil persenyawaan dengan budaya lokal.

Memang awalnya Al-Irsyad — didirikan ulama Sudan yang lama menimba ilmu di Mekkah ketika gerakan Wahabi sedang tumbuh menjelang abad ke-20 — muncul sebagai perlawanan terhadap Jamiatul Khair, ormas Islam paling awal (didirikan pada 1905 di Jakarta) yang dipelopori oleh kalangan Habaib dari Ahl Sunnah Waljamaah yang bertujuan memberdayakan umat Islam dari sisi ekonomi melalui pendidikan. Munculnya Al-Irsyad yang didominasi kalangan keturunan Arab non-sayyid menyebabkan keturunan Arab berseteru satu sama lain secara keras antara kalangan sayyid dan non-sayyid.

Namun, seiring perjalanan waktu, hubungan keduanya mencair. Al-Irsyad menyadari memusuhi kalangan habaib untuk alasan sepele, misalnya menentang cium tangan, tidak produktif. Bahkan, merugikan tujuan pendirian Al-Irsyad itu sendiri. Salah seorang keturunan Arab paling berjasa dalam mencairkan hubungan kedua kelompok ini adalah AR Baswedan, pahlawan nasional sekaligus kakek Anies Baswedan. Tetapi ia tidak mendasarkan pada tawaran konsep Islam yang menyatukan keduanya, melainkan pada tujuan yang lebih tinggi, yaitu memerdekakan Indonesia di mana semua kelompok keturunan Arab menyatakan Indonesia sebagai tanah tumpah darah mereka. Untuk itu, ia dan kawan-kawan keturunan sayyid mendirikan Partai Arab Indonesia (PAI) pada 1936 dan langsung membubarkannya begitu Republik Indonesia diproklamirkan pada 1945. Tak heran, Anies tak canggung bergaul dengan kalangan sayyid dan ia diterima dengan hangat oleh kelompok itu.

Terkait AR Baswedan, mestinya secara ideologis Anies juga dekat dengan PDI-P karena Baswedan adalah seorang nasionalis tulen. Ia salah satu tokoh dalam delegasi Indonesia pimpinan Haji Agus Salim yang dikirim pemerintah Indonesia ke Mesir untuk mendapatkan pengakuan negara-negara Arab atas kemerdekaan Indonesia. Delegasi itu berhasil. Bukan saja Mesir langsung mengakuinya, tapi juga hampir secara serentak diikuti Suriah, Lebanon, Arab Saudi, Yaman, dan Palestina. Inilah negara-negara yang paling awal mengakui kemerdekaan RI, yang kemudian menjadi modal politik utama yang terus bergulir hingga kemerdekaan Indonesia diakui secara internasional. Tak heran, hubungan Soekarno dan AR Baswedan cukup dekat. Kabarnya, sebelum Baswedan meninggal, Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri selalu mampir di rumah tokoh itu di Yogyakarta tiap kali mengunjungi kota itu.

Kurang populernya Anies di basis PDI-P saat ini, selain ia bukan orang partai, mungkin juga karena faktor etnisitas dan agama yang disematkan secara salah kaprah kepadanya. Sesungguhnya, identitas Anies berlapis-lapis. Ia seorang Jawa, Muslim santri, nasionalis, dan kosmopolitanis. Ketika berada di lingkungan Jawa, secara kultural Anies adalah seorang Jawa tulen. Saat berada di tengah kaum Muslim, dia adalah seorang muslim santri tapi bukan Islamis. Juga bukan Wahabi. Dia adalah Muslim Indonesia itu sendiri, Muslim moderat dan toleran yang telah menerima dengan tulus budaya lokal sebagai nilai-nilai yang inheren dalam keberislaman di Indonesia. Dengan kata lain, Anies memaklumi konsep Islam kontekstual atau pribumisasi Islam yang dikembangkan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Artinya, pada sosoknya berhimpun nilai-nilai Islam lokal dan universal sekaligus, terbebas dari sektarianisme dalam Islamic sphere. Bahkan, orang bisa menemukan Islam tradisional atau Islam ahl sunnah waljamaah khas NU dalam pandangan dan sikap keislamannya.

Keindonesiaannya justru lebih menonjol. Harus diakui Anies bukan salah seorang dari PDI-P, PKS, PKB, PAN, atau parpol lainnya. Ia adalah representasi warga bangsa masa kini, sosok yang lahir dari Indonesia modern yang tak dapat dipisahkan dari dinamika perkembangan global di mana Indonesia telah terintegrasi ke dalamnya. Dus, baju parpol-parpol Indonesia terlalu sempit untuknya. Pembagian masyarakat Indonesia masa kini ke dua kubu, nasionalis dan Islamis, secara tajam tidak lagi relevan. Secara kultural, sosial, dan politik, Indonesia makin cair. Kian banyak orang Jawa, yang dulu dikelompokkan sosiolog Cliford Girtz sebagai kaum abangan, secara intensif telah mengadopsi nilai-nilai Islam. Juga, pasca Nurcholish Majid menerbitkan buku “Islam Yes, Partai Islam No”, di mana politik bukan wilayah sakral yang mengharuskan kaum Muslim memilih parpol berbasis agama dalam politik elektoral, banyak orang Islam bermigrasi ke wilayah kultural dan memiliki preferensi politik yang beragam. Itu terlihat dari kecilnya perolehan suara parpol berbasis massa Islam dibandingkan dengan parpol-parpol nasionalis. Bahkan, sebagian Muslim dari keluarga santri justru sangat anti populisme Islam.

Di antara benturan budaya, sosial, dan politik di kalangan masyarakat Indonesia era sekarang, Anies muncul sebagai sosok yang mempersatukan semua itu karena ia memang lahir dari rahim Indonesia. Dari keluarga ia mendapatkan nilai-nilai nasionalis-relijius. Dari perjumpaannya dengan mahasiswa-mahasiswa dari seluruh Indonesia saat kuliah di UGM, selain dengan membaca banyak buku tentang sejarah Indonesia, memperluas wawasannya tentang kebangsaan Indonesia. Sedangkan pemahaman dan penghayatannya terhadap nilai-nilai kemanusiaan universal diperoleh ketika ia kuliah S2 dan S3 di Amerika Serikat. Bahkan, ia telah bergaul dengan siswa-siswa dari segala bangsa saat menghabiskan satu tahun bersekolah di SMA di AS. Dus, Anies menjadi titik temu berbagai pemikiran politik dan budaya sekuler maupun relijius orang-orang Indonesia. Ia juga menjadi juru bicara Indonesia dan Dunia Islam yang otentik bagi komunitas Internasional.

Anies memang telah menginternalisasi banyak nilai luhur yang dihasilkan budaya-budaya utama dunia. Dari situ terbentuk karakter jujur, adil, disiplin, dan kerja kerasnya. Juga hasratnya belajar yang tak dapat dihentikan. Pemikiran dan sikap Anies yang melampaui primordialisme apa pun terlihat dari kepemimpinannya di Jakarta. Pemikirannya selalu radikal dan fundamental dalam mengembangkan ibu kota di mana tujuan memanusiakan manusia menempati titik sentral. Ia menghadirkan kesejahteraan dan keadilan sosial bagi seluruh warga tanpa kecuali, tanpa membedakan satu dengan yang lain berdasarkan primordialisme. Dalam sikap ia sangat tegas, tapi demokratis dan toleran dalam berinteraksi dengan semua golongan. Sangat bijaksana menghadapi lawan-lawannya, termasuk para influencef dan buzzer. Orang seperti ini tidak kita temukan pada sosok-sosok pemimpin Indonesia masa kini yang umumnya mengalami defisit moral, nir kepemimpinan otentik, dan tak punya pemahaman yang mendalam tentang Indonesia itu sendiri.

Di luar itu, Anies adalah manusia kosmopolitan sebagai hasil pergulatan pemikirannya dengan ideologi-ideologi besar dunia dan pengalaman hidupnya sendiri. Itu sebabnya, kendati jauh dari Barat secara geografis, Anies dilihat sebagai anak mereka sendiri karena ia berbagi perspektif demokrasi dan HAM dengan mereka. Terlebih, sistem otoritarianisme Cina yang efisien sedang dilirik dunia ketiga yang repot berurusan dengan demokrasi dan HAM. Sedangkan negara-negara Timur Tengah menaruh harapan besar padanya untuk mempromosikan pemikiran Islam moderat ke panggung internasional saat Islam di kawasan itu terlanjur dicap sebagai kekuatan yang destruktif bagi perkembangan peradaban dunia. Peran ini juga yang ingin dimainkan PBNU di arena global di bawah Ketua Umum Yahya Cholil Staquf.

Kendati pemikiran dan sikap keagamaannya beririsan dengan tradis, sikap, dan cita-cita kemanusiaan NU, Anies juga tidak populer di kalangan nahdliyin. Pertama, sekali lagi, Anies secara formal datang dari ormas Islam puritan — meskipun ia mengakomodir tradisi-tradisi Islam ahl sunnah waljamaah yang mengusung prinsip Islam rahmatan lilalamin — yang merupakan lawan tradisionil NU. Kedua, karena lama dipinggirkan oleh kelompok-kelompok Islam non-NU dalam percaturan politik nasional, dalam tubuh ormas Islam tradisional itu telah tumbuh karakter paranoia terhadap mereka yang menganggap NU terlaku kompromistis dengan khurafat atau nilai-nilai lokal non-Islami.

Ketiga, Anies secara salah kaprah dianggap dekat dengan PKS, parpol yang ditolak secara apriori oleh kalangan nahdliyin. Meskipun sebenarnya PKS merupakan parpol Indonesia paling modern dan relatif paling bersih dari korupsi. PKS juga dianggap partai Wahabi meskipun para pengurusnya datang dari berbagai kalangan Islam. Salah satunya adalah mantan Menteri Sosial Habib Dr Salim Aljufri, cucu Habib Idrus Aljufri, pendiri Al-Khairat, ormas Islam terbesar di Indonesia Timur yang bergerak di bidang pendidikan. Namun, memang benar bahwa PKS berbau Islamis — ideologi yang ditolak NU — karena berandil besar dalam keluarnya Perda-Perda Syariah.

Bagaimanapun, yang ingin dikatakan di sini adalah, kendati tidak menentang, Anies tidak dekat dengan PKS. Dalam Pilgub DKI Jakarta 2017, Anies memang di antaranya diusung oleh PKS. Tetapi Anies tidak memberikan konsesi apa pun pada partai itu ketika berkuasa. Malah, PKS sempat kecewa pada Anies karena tidak memberikan dukungan pada capres-cawapres Prabowo- Sandi dalam Pilpres 2019 yang di antaranya diusung PKS. Sikap tidak memihak Anies pada parpol-parpol Islam modernis juga terlihat ketika ia berada satu kubu dengan PKB dalan mendukung Jokowi-JK dalam pilpres 2014.

Keempat, Anies dianggap dekat dengan Imam Besar Front Pembela Islam Habib Rizieq Shihab, tokoh Islamis terkemuka. HRS tentu saja tokoh ahl sunnah waljamaah tulen dan menerima Pancasila sebagai dasar negara yang sudah final. Namun, ia — dengan dasar kajian akademis dan historis — menganggap Pancasila berdasarkan rumusan Panitia Sembilan yang populer dengan nama Piagam Jakarta membolehkan penerapan syariah. Hal ini ditolak NU, yang nenganggap Pancasila sebagaimana adanya sekarang bersifat final. Dalam Pilgub 2017, Anies memang berkunjung ke markas FPI. Tentu dengan tujuan mencari dukungan umat Islam. Dalam pemikiran politik dalam konteks politik elektoral, langkah Anies itu sangat wajar. Semua calon pejabat publik di negara-negara demokrasi yang sudah maju melakukan hal sama tanpa dituduh memainkan politik identitas. Apalagi setelah berkuasa Anies tidak memberikan konsesi apa pun pada kelompok Islam yang menunjukkan ia seorang Islamis.

Itulah yang menjadi alasan mengapa suara Anies di Jawa Tengah dan Jawa Timur tidak signifikan. Namun, politik itu dinamis. Artinya, perubahan dukungan untuk Anies di dua provinsi itu masih bisa berubah. Toh, pencapresan, apalagi kampanye, belum lagi dimulai. Namun, relawan Anies dan Anies sendiri (kalau sudah dicapreskan) harus bekerja keras di dua wilayah ini. Ini tantangan serius yang harus dijawab dengan ilmu pengetahuan dari berbagai disiplin, serta juga pendekatan budaya yang menyertakan agama di dalamnya. Anies perlu melakukan survei untuk mengetahui kecenderungan politik generasi milenial PDI-P dan nahdliyin, yang merupakan 60 persen struktur pemilih nasional. Bisa jadi mereka punya cita rasa dan preferensi politik yang berbeda dengan generasi di atas mereka, yang tentu perlu pendekatan berbeda untuk memenangkan hati mereka.

Tangsel, 21 Februari 2022