Intelektual Pelacur Terseret Kepala Negara Busuk

Oleh: Sutoyo A (Koordinator Kajian Politik Merah Putih)

Rotten fish from its head (ikan busuk dari kepalanya)

Sebuah bangsa, bahkan peradaban manusia, tidak lepas dari peran dan tanggungjawab kaum intelektual, terutama dalam hubungannya dengan kekuasaan.

“Kaum intelektual memiliki sifat altruistik yang senantiasa memburu kebenaran demi kemaslahatan bersama, menjadi pencipta bahasa dalam menyampaikan yang benar dan salah kepada penguasa, dengan berpegang teguh pada prinsip-prinsip kemanusiaan dan keadilan”. ( Edward Said, 1996 )

Di negara  ini tetap saja muncul –
“Intelektual sebagai antek penguasa yang mengabaikan, bahkan merasionalisasi, kejahatan negara” ( /Antonio Gramsci – 1971) dengan lugasnya bohong dalam menyampaikan kebenaran.

Kasus IKN dan banyak kasus lainnya penuh sesak pembenaran dari kaum intelektual  sesuai pesan kekuasaan. Terlebih ketika kaum intelektual tersebut  masuk dalam ke lingkaran sebagai pejabat kekuasaan. Tanpa beban dan merasa berdosa akibat sosial yang akan menimpa dan menimbulkan kerusakan negara.

“Banyak kaum intelektual yang terjerat nikmat dan empuknya jabatan hadiah dari penguasa. Lambat-laun para intelektual ini berputar haluan, dari pola pikir dan sikap kritis, menuju fatalisme dan sikap permisif”. Berperan sebagai pembenar raja yang tidak boleh salah (“the king can do no wrong, no matter what ”).

Berdiri tegap didepan layar kaca dikawal para punggawa negara, terdengar pidatonya dengan bangganya  membela semua kebijakan negara. Rakyat yang mendengarnya tersenyum kecut inilah serial ludruk intelektual sebagai antek kekuasaan.

Mungki belum dapat jabatan sebagai komisaris berlomba lomba memuji penguasa dan membela agenda kekuasaan ( berbeda dengan buzer benar benar sampah ). Tidak peduli apakah agenda kekuasaan masuk akal atau tidak, merugikan rakyat banyak atau sebaliknya.

Celakanya disaat ini dan waktu ini, segelintir intelektual dalam barisan oposisi, yang tidak mau mengorbankan idealismenya dan tanggungjawab moralnya dalam mengawal kiblat bangsa, seringkali harus harus dikriminalisasi, dipersekusi dan direkayasa, diseret ke meja hijau. Pasal pasal karet sesuai keinginan penguasa bak baja tidak akan bisa di kalahkan oleh alasan hukum apapun selain hukum kekuasaan.

Nasib naas ( nasib buruk ) terus menimpa kaum intelektual yang konsisten menjadi manusia merdeka, dan tetap bersuara kritis dari luar kekuasaan, terlepas dari ambisi kekuasaan semata ingin mengawal negara pada jalur tujuan negara agar tetap sesuai amanah dalam Pembukaan UUD 45.

Intelektual bertipe sebagai “intelektual organik  berbasis nilai yang berfungsi sebagai perumus dan artikulator transformasi multidimensi atas panduan cahaya kebenaran dan keadilan, tidak ada lagi  tempat terhormat tetapi terus di timpakan macam macam stigma, antara lain stigma radikal hanya karena berbeda pandangan dengan penguasa”.

Akibat fatal Indonesia didera berbagai masalah yang tak berkesudahan. Disertai stagnasi pembangunan manusia, demokrasi membusuk ditangan pemimpin plastik dan boneka yang dikelilingi para pialang politik di back up para pemodal, kapitalis dan oligarki.

Negara mengalami kemerosotan di semua bidang , meluasnya korupsi, kemiskinan dan ketimpangan yang makin , anjloknya tingkat kebahagian, hancurnya tatanan hukum, terkurasnya sumber daya alam dan kerusakan lingkungan, hingga mengentalnya mentalitas feodal dan ketegangan sosial.

Pancasila dan UUD 45 telah lenyap, kekuasaan hanya berdasarkan suka suka, hilangnya jejak  cita-cita reformasi, dan negara maki menjauh dari kiblat bangsa dan negara, untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan mewujudkan keadilan sosial.

Keadaan makin memburuk beda tipis antara pejabat dan penjahat, kalau ini terus berlangsung, tidak bisa dihentikan bukan mustahil negara akan terus meluncur kearah kehancurannya. “Akibat terjadinya intelektual dan pejabat pelacur akibat terseret kepala negara yang busuk”.

Pageblug makin parah akibat  : “The wrong man in the wrong place with the wrong idea and idealism’ (Orang yang salah di tempat yang salah dengan ide dan cita-cita yang salah)