Negara Memfasilitasi Penista Agama & Pecah Belah Bangsa Indonesia?

Oleh : Ahmad Khozinudin
Sastrawan Politik

Pada saat Penulis berdiskusi di Chanel Peradaban Islam yang dipandu Gus Uwik, ada pernyataan yang menarik disampaikan oleh Bang Asyari Usman. Beliau sampaikanlah, bahwa di era Rezim Jokowi ini seperti ada ‘pembiaran’ terhadap berbagai aktivitas pencederaan terhadap agama Islam. Sehingga, berbagai tindakan yang dahulu tabu, tak lazim, bahkan sikap minoritas yang sangat menghormati mayoritas kini menjadi hilang.

Penulis berpandangan, apa yang disampaikan Bang Asyari Usman benar adanya. Kita bisa saksikan, hanya di era rezim Jokowi inilah makhluk seperti Abu Janda, Ade Armando, Deni Siregar, dll, bisa tumbuh dan eksis, sekehendak hati menistakan agama, ulama hingga simbol dan ajaran Islam. Rasanya, siapapun dahulu tidak ada yang kepikiran berani mengatakan agama teroris adalah Islam. Atau santri yang dituding bibit terorisme, penghinaan terhadap marwah ulama, merendahkan bendera tauhid sebagai bendera teroris, dan masih banyak lagi.

Kasus adanya etnis China yang berani memaki aparat, bahkan pamer menjadikan aparat (baik polisi atau TNI) menjadi centeng mereka, hingga penghinaan Presiden oleh anak etnis China yang menyatakan Presiden Jokowi kacung, ancaman Presiden akan dibunuh, kasus azan dipersoalkan, wanita membawa anjing masuk masjid, semua itu hanya terjadi di era ini. Dahulu, etnis minoritas atau para pemeluk agama minoritas, sangat menghormati dan toleran pada etnis dan pemeluk agama mayoritas. Sekarang, seperti galakan mereka ketimbang yang mayoritas.

Ada dugaan kuat negara memfasilitasi para penista agama dan memecah belah bangsa. Memang benar, Negara tidak mendeklarasikan langsung sebagai sponsor para penista agama.

Namun, sikap negara yang membiarkan mereka bebas menista agama semaunya, tidak menindaklanjuti laporan terhadap para perusuh dan pemecah belah bangsa ini, yang merusak suasana kebhinekaan, yang bertindak intoleran radikal, patut diduga tindakan mereka atas restu bahkan atas perintah penguasa. Pengakuan Abu Janda digaji menjadi Buzzer Jokowi, menguatkan dugaan itu. Apalagi, jika anggaran bagi para buzzer ini diambil dari APBN. Menjadi sempurna keterlibatan Negara memback up para perusuh, pembikin gaduh, pemecah belah bangsa Indonesia.

Sekarang, setelah tuntutan pada proses hukum para buzer ini menguat, laporan terhadap Abu Janda sulit dihindari, Negara justru mewacanakan revisi UU ITE. Kepolisian, bahkan menyatakan akan selektif, kasus ITE hanya dilaporkan oleh korban, bukan yang lain. Dengan wacana ini, tentu saja Abu Janda akan gembira ria, setelah sebelumnya dia tidak ditahan dan memang tak akan ditahan selama kedudukannya masih dibutuhkan rezim.

Jadi, kalau ada tudingan radikalisme, ekstremisme, hingga mengeluarkan Perpres RAN PE, itu semua hanya untuk menutupi kegagalan Negara dan sekaligus akan menjadikan umat Islam sebagai kambing hitam. apapun masalahnya, radikalisme ekstremisme penyebabnya, Umat Islam biang keroknya. Begitu narasinya.

Pada saat yang sama, gerombolan radikal dan ekstrem di barisan Abu Janda cs, melenggang bebas dan terus mengeluarkan ujaran yang menyakiti umat Islam. Kebijakan yang seperti ini, jelas menyakiti umat Islam.

Negara, seolah menjadi sponsor dan beking para penista agama, penghina ulama, dan terus memelihara mereka agar energi umat terkuras untuk mengurusi gerombolan ini. Sementara itu, korupsi, utang luar negeri, penjualan aset bangsa, kegagalan pemerintahan, dekadensi moral, narkoba, kejahatan, semua berlangsung semakin hebat dengan dampak sangat destruktif, tak tersentuh sebagai skala utama problematika bangsa.

Negara akan terus meneriakkan yel yel radikalisme, ekstremisme, terorisme, untuk mengalihkan masalah sekaligus menuding umat Islam. Padahal, jika benar terorisme itu ada, sudah dari dulu makhluk seperti Abu Janda dkk ini dimusnahkan. Nyatanya, mereka tetap eksis dan lestari. Itu artinya, terorisme hanya proyek, proyek menyudutkan umat Islam sekaligus proyek untuk menutupi kegagalan rezim Jokowi.

Lagi lagi, umat Islam yang mayoritas menjadi korban tirani minoritas. Mereka, tak lagi memiliki rasa sungkan, apalagi hormat terhadap umat Islam. Mereka, sekehendak hati menghina Islam karena mereka yakin, Negara tidak boleh kalah dengan Umat Islam, Negara akan memberikan perlindungan kepada kaum minoritas, meskipun minoritas ini bertindak sekehendak hati. Negara, telah berubah menjadi jongos kaum minoritas. Bukankah demikian kenyataannya ? [].