Guru Besar Undip Perih Melihat Penegakan Hukum di Indonesia

Penegakan hukum di Indonesia lebih mengutamakan memukul daripada merangkul kepada ormas atau orang yang berseberangan dengan pemerintah.

“Terus terang hati saya perih menyaksikan “style” penegakan hukum di Indonesia ini yang mengutamakan tindakan MEMUKUL dari pada MERANGKUL terhadap ormas-ormas dan atau orang yang dinilai berseberangan dan mengkritisi pemerintah,” kata Guru Besar Undip Prof Suteki di akun Facebook-nya.

Kata Suteki, sebuah elegi hukum dipertontonkan oleh para penegak hukum di negara yang mengaku dirinya sebagai negara hukum, bukan negara kekuasaan.

“Tampaknya benar, ilmu hukum dan ilmu politik tidak lagi diperlukan di negara ini. Penegakan hukum tidak perlu menggunakan ilmu hukum, cukup “ilmu aturan” yang tidak beraturan bahkan “chaos” karena diracuni oleh arogansi kekuasaan,” jelas Suteki.

Kondisi ini menyebabkan krisis dalam penegakan hukum yang didesain dengan slogan “negara tidak boleh kalah dan aparat dilindungi hukum”. Cacat hukum dalam memproduksi keputusan hukum pun tidak dapat dihindari.

Selain itu, ia mengatakan, Surat Keputusan Bersama Keroyokan tentang Larangan Kegiatan, Penggunaan Simbol dan Atribut, serta Penghentian Kegiatan Front Pembela Islam bertentangan dengan prinsip-prinsip Rule of Law (ROL), khususnya terkait HAM kebebasan berkumpul dan berserikat.

SKB FPI ini, salah satunya, didasarkan pada UU No. 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan sebagaimana telah diubah dengan UU No. 16 Tahun 2017 (UU Ormas 2017) yang sejak awal kelahirannya sangat kontroversial, khusunya terkait dengan Perppu Ormas 2017 yang juga sangat bermasalah dari perspektif negara hukum.

“UU Ormas 2017 memungkinkan pemerintah untuk membubarkan organisasi secara sepihak tanpa melalui proses peradilan (due process of law). Saya menyebutnya Pemerintah sebagai extractive institution, pengayak tunggal dalam menilai tindakan ormas,” pungkasnya.