SOS Budaya Nusantara! Kaum Milenial Hobi Hedonisme Budaya Asing


Budaya secara umum dapat diartikan sebagai sebuah hasil cipta, rasa, dan karsa manusia dalam memenuhi kebutuhan hidup yang kompleks, mencakup pengetahuan, keyakinan, seni, susila, hukum adat, dan kebiasaan.



Dalam pandangan lain, budaya juga diartikan sebagai suatu pola hidup menyeluruh yang bersifat kompleks, abstrak, dan luas.





Menurut Liliweri (2002), kebudayaan merupakan pandangan hidup dari sekelompok orang dalam bentuk perilaku, kepercayaan, nilai, dan simbol-simbol yang diterima tanpa sadar, di mana semuanya diwariskan melalui proses komunikasi dari satu generasi ke generasi selanjutnya.



Lebih lanjut, Taylor dalam Liliweri (2002 : 62) mendefinisikan kebudayaan tersusun oleh kategori-kategori kesamaan gejala umum yang disebut adat istiadat. Adat istiadat mencakup teknologi, pengetahuan, kesenian, moral, hukum, estetika, rekreasional dan kemampuan-kemampuan serta kebiasaan-kebiasaan yang didapatkan manusia sebagai anggota masyarakat.
Perkembangan zaman memang telah mengubah segala aspek kehidupan.



Perkembangan dunia yang mengarah pada modernisasi menjadi factor penyebab tergesernya dan bahkan punahnya budaya tradisional.

Keterbukaan informasi dan kecanggihan teknologi yang mengiringi globalisasi, mau tidak mau juga mempengaruhi ragam budaya Nusantara. Tak salah jika berkembang narasi, bahwa kebhinekaan budaya Indonesia terancam budaya global.



Sesuai dengan amanat Pasal 32 ayat (1) UUD NRI yang berbunyi “Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya.”



Ketentuan UUD NRI itu mengandung makna bahwa budaya memang tidak hanya milik pribadi suatu golongan, namun milik bersama yang diwariskan secara turun-temurun dari generasi ke generasi.



Di tengah ancaman budaya global, generasi penerus seharusnya berada di garda terdepan menghadapi budaya asing yang bisa jadi bertentangan dengan budaya bangsa Indonesia. Generasi milenial dengan penguasaan teknologi dan informasi, merupakan generasi yang paling bertanggungjawab terhadap ancaman punahnya budaya nasional.



Ironisnya, generasi milenial saat ini merasa “ketinggalan jaman” jika tidak mengikuti budaya asing yang dinilai lebih modern. Faktanya, kaum milenial mungkin sudah lupa, bahkan tidak mengenal budayanya sendiri yang sebenarnya lebih “adiluhung”. Kaum milenial bisa dikatakan sudah tidak berminat lagi terhadap budaya tradisional.



Penggunaan Bahasa Daerah

Pengunaan Bahasa daerah di kalangan generasi milenial bisa menjadi salah satu parameter punahnya budaya tradisional. Sejatinya, bahasa daerah mencerminkan identitas suatu bangsa. Indonesia sendiri memiliki lebih dari 700 bahasa daerah, namun tidak semuanya tercatat oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Sebagian dari bahasa tersebut sudah dikatakan musnah, dan sebagian lainnya terancam.



Tak bisa dipungkiri, generasi muda saat ini lebih suka menggunakan bahasa asing yang terkesan lebih ‘keren’. Kaum milenial juga cenderung menggunakan bahasa modern atau yang biasa disebut “gaul” dalam komunikasi sehari-hari, maupun interaksi di social media.



Berdasarkan tinjauan sosiologis, pudarnya penggunaan bahasa daerah tidak lepas dari faktor internal masyarakat Indonesia sendiri. Keluarga sebagai kunci terjaganya bahasa daerah, saat ini tidak lagi menggunakan bahasa daerah sebagai sarana komunikasi. Sehingga sebagian besar kaum milenial tidak mengenal sama sekali bahasa daerahnya.



Saat bahasa daerah di lingkungan keluarga tersingkir, kebijakan dunia Pendidikan juga semakin memperburuk kondisi itu. Porsi pembelajaran bahasa daerah sebagai muatan lokal pendidikan di sekolah diperkecil, dan bahkan dihapus.



Jika di lingkungan keluarga dan sekolah, bahasa daerah dipinggirkan, kaum milenial di masa depan akan menjadi “orang asing” atas budayanya sendiri. Bukan tidak mungkin, kekhawatiran akan punahnya Bahasa daerah, akan terbukti.



Tempat Hiburan

Minat kaum milenial dalam mengunjungi tempat hiburan juga bisa menjadi parameter hilangnya budaya daerah. Saat ini, seberapa besar minat kaum milenial menjadikan museum budaya sebagai tempat hiburan sekaligus belajar? Faktanya, saat ini hanya sebagian kecil saja dari kaum milenial yang tertarik untuk mengunjugi museum. Kebanyakan dari mereka pergi ke museum hanya untuk memenuhi kewajiban pihak sekolah.



Padahal museum adalah salah satu tempat di mana kaum milenial bisa belajar banyak hal terkait sejarah, kebudayaan, dan kesenian Nusantara. Seperti halnya Museum Nasional, Museum Tekstil, Museum Layang-Layang, dan museum kebudayaan lainnya.



Trend kaum milenial saat ini adalah menjadikan café dan mall sebagai tempat hiburan. Sebagian besar kaum milenial lebih tertarik untuk pergi ke tempat hiburan yang modern dan cenderung hedonis. Kaum milenial hobi melepas penat dengan berjingkrak di lantai pub atau café.



Hal yang serupa juga dapat dilihat dalam pertunjukan tradisional seperti pertunjukan tari tradisional, dan teater tradisional. Kaum milenial lebih tertarik untuk menonton pertunjukan film terbaru di bioskop daripada pertunjukan tradisional seperti pertunjukan Wayang Golek. Meskipun masih ada segelintir kaum milenial yang tertarik menonton pertunjukan Wayang Golek, namun jumlahnya tidak sebanding dengan kaum milenial yang pergi ke bioskop.

Makanan, Busana, dan Musik



Pandangan kaum milenial terkait makanan, busana dan selera hiburan bisa menjadi parameter hilangnya budaya tradisional. Trend selera bersantap kekinian membuat kaum milenial meninggalkan makanan tradisional Indonesia. Meskipun makanan kekinian ini sebenarnya memiliki bentuk dan rasa yang mirip dengan makanan tradisional Indonesia. Sebut saja ramen dengan mie ayam, dango dengan klepon, sushi dengan lemper, odeng dengan otak-otak dan teokbokki dengan seblak, tetap saja sebagian besar kaum milenal lebih memilih makanan kekinian tersebut.



Pengaruh budaya luar sudah menggerogoti minat kaum milenial terhadap budayanya sendiri. Tidak hanya dari soal makanan saja, pengaruh ini juga menggerogoti selera busana dan selera musik kaum milenial. Bagaimana tidak, saat ini milenial Indonesia sudah terkena demam ala “kekorea-koreaan, “kejepang-jepangan,” atau bahkan “keamerika-amerikaan.”



Dari parameter-parameter di atas dapat disimpulkan bahwa budaya asing telah menggeser cara pandang kaum milenial terhadap budaya nasional. Bisa dikatakan saat ini terjadi “darurat budaya Nusantara” di kalangan kaum milenial.



Tidak ada kata terlambat untuk mengubah minat kaum milenial pada budaya daerah. Dalam hal ini perlu segera dilakukan upaya sistematis untuk membendung budaya asing. Upaya bersama pemerintah, tokoh masyarakat, keluarga, sekolah, perguruan tinggi, pakar budaya, pelaku budaya untuk mempertahankan budaya nasional akan sia-sia jika kaum milenial tidak sadar akan jati dirinya.



Di satu sisi, hadirnya public figure idola kaum milenial terbukti efektif membalikkan minat kaum milenial kepada budayanya sendiri. Salah satunya, bagaimana akhir-akhir ini kaum milenial kembali dan mulai menyukai musik daerah “campur sari” dengan histeria kehadiran maestro campursari Didi Kempot. Didi Kempot yang menyandang gelar “The Godfather of Broken Heart” ini mampu membius kaum milenial dengan lagu-lagu daerahnya.




Penulis: Nadia FR