Diskusi AMAN Indonesia: Jaga Persatuan dan Kesatuan Bangsa, Hindari Intoleransi dan Perpecahan

Sidoarjo – Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) dan Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) di Sidoarjo sepakat memperkuat kampanye menjaga persatuan dan kesatuan bangsa, menyusul meningkatnya sikap intoleransi dan sikap memecah belah belakangan ini.

Dua perwakilan dari elemen mahasiswa Sidoarjo dan beberapa tokoh agama menjadi narasumber dalam Diskusi Lintas Agama, yang digelar oleh Aliansi Mahasiswa dan Aktivis Nasional (AMAN) Indonesia bertajuk “Toleransi Beragama serta Berpancasila, Berbangsa, dan Bernegara” di Sidoarjo, Jawa Timur, Jumat (18 Desember 2020).

M. Bhakti Dede S. selaku ketua cabang AMAN Indonesia, kabupaten Sidoarjo, dalam kata sambutannya menyampaikan, untuk selalu berkampanye dalam hal menjaga persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia, yang berlandaskan Pancasila, melalui sikap toleransi. Dikarenakan Indonesia terbentuk dari beragam suku, agama dan ras. Sangat disayangkan apabila masyarakat Indonesia terpancing oleh isu maupun bujukan dari segelintir orang demi kepentingan kelompok atau golongannya, dan intoleransi selalu dijadikan alat untuk memecah belah.

Ketua PC PMII Sidoarjo, Romlah, mengatakan Bangsa Indonesia sudah saatnya berpikir bagaimana menjadikan perbedaan sebagai kekuatan dan keunggulan ketimbang ribut membahas perbedaan. Menurut dia, perbedaan dan keragaman bisa dimanfaatkan untuk meraih berbagai keuntungan, dari keuntungan finansial hingga keuntungan berbangsa dan bernegara.

“Kita diciptakan oleh Tuhan berbeda-beda. Dengan demikian, kita memang ditakdirkan berbeda, tapi bukan dalam maksud perpecahan. Bagaimana kita menciptakan kekayaan budaya dan agama sehingga menjadi sebuah kekayaan baru,” kata Romlah

Sementara itu, Ketua PC IMM Sidoarjo, Ilham Akbar Noor M, menilai mahasiswa memiliki peranan penting dalam menjaga persatuan dan kesatuan serta menegakkan ideologi Pancasila.

“Jadi, mahasiswa akademisi seperti kita ini tidak boleh duduk diam saja melihat intoleransi dan sikap perpecahan,” kata Ilham.

Mahasiswa IMM, kata dia, selalu berupaya melawan intoleransi dengan mempelajari/memahami definisi intoleransi itu sendiri sekaligus memperbanyak ruang berdiskusi dan bertukar pikiran.

“Karena di dalam IMM kader kami datang dari berbagai budaya, datang dari berbagai daerah, tapi kami tetap berjalan di jalan ‘fastabiqul khairat’ atau berlomba lomba dalam kebaikan,” ujarnya.

Akademisi sekaligus ustadz Menachen Ali mengatakan agama tidak pernah mengajarkan sikap intoleransi apalagi perpecahan. Menurut dia, kata agama berasal dari bahasa Sansekerta yang terdiri dari “A” yang berarti tidak dan “GAMA” yang berarti goyah.

“Maka orang yang beragama adalah orang yang tidak goyah, orang yang teguh, sehingga orang yang teguh tidak mungkin intoleran,” ujar Menachen.

Pendeta Drs. Bambang Sihombing menilai, penerapan agama terbagi dua yakni secara eksklusif dan insklusif. Menurut dia, jika agama dijalankan secara eksklusif, maka akan rancu dalam persatuan sehingga agama di budaya Indonesia harusnya dijalankan secara insklusif, dimana nilai nilai luar juga bisa masuk.

“Bahwa penyusunan Pancasila sudah final, dengan arti lain Pancasila sudah sempurna sebagai dasar rakyat Indonesia, dimana keanekaragaman adalah warna yang maklum di Indonesia dan Pancasila menjadi asas utama dalam berwarga negara,” ujar Pendeta Bambang.

Perwakilan tokoh agama Khonghucu, Dani, mengatakan dirinya lebih mendahulukan empati yang kemudian diikuti toleransi.

“Berangkat dari nilai empatik kita bisa mengerti apa itu toleran dengan lebih hikmat. Empatik adalah suatu spektrum rasa yang berarti turut merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain. Rasakan apa yang saudaramu rasakan, rasakan ketika menjadi yang minoritas, dengan begitu kita lebih tahu toleran dalam spektrum rasa empatik,” ujar Dani.