Kebijakan Penanganan Covid-19 Melenceng ke Masalah Politis

Aliansi Milenial Pengamat Kebijakan Publik menilai penanganan pandemi Covid-19 di Indonesia sudah melenceng ke masalah politik. Persoalan yang awalnya merupakan masalah kesehatan bergeser menjadi persoalan politik yang tidak fokus dalam penanganannya.

Selain itu, masalah ekonomi menambah rumit penanganan Covid-19. Terutama karena menurunnya kesejahteraan masyarakat secara drastis.

“Kebijakan pemerintah dalam penanganan Covid-19 lebih banyak bersifat politis, padahal ini masalah kesehatan,” kata Rahmat Isco, salah satu aktivis Aliansi Milenial Pengamat Kebijakan Publik dalam diskusi bertajuk “Carut Marut Penanganan Covid-19, Siapa yang Bertanggung Jawab?” Di Jakarta, Jumat (20 November 2020).

Bukti penanganan Covid-19 melenceng menurut Isco adalah pencopotan Kapolda Metro Jaya Irjen Nana Sudjana dan Kapolda Jawa Barat Irjen Rudy Sufahriadi hingga pemanggilan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan.

“Itu pemanggilan gubernur apa hubungannya dengan kesehatan dan Covid-19. Pencopotan Kapolda menurut saya politis, sehingga Indonesia dinilai tidak fokus melawan pandemi,” ujar Isco.

Agung Maulana, mahasiswa sekaligus Aktivis Aliansi Milenial Pengamat Kebijakan Publik, mengatakan penanganan Covid-19 saat ini berupaya menggiring kerangka pikiran masyarakat ke narasi politik. Artinya, penanganan Covid-19 tidak memanusiakan manusia.

“Narasi yang ada itu begini, jika melanggar protokol Covid-19 dekat ke pemerintah itu enggak disikat. Sebaliknya, jika yang melanggar itu oposisi, pasti disikat,” ujar Agung.

Agung juga menyoroti banyak kebijakan penanganan Covid-19 bersifat politis dan dibuat oleh orang-orang yang terkait dengan politis.

“Nah, pendekatan Covid-19 ini berubah dalam praktik di lapangan. Niatnya baik, tapi ketika masuk ke politik semua berubah,” ujarnya.

Aktivis Milenial lainnya, Ginka Febriyanti, menyoroti ketidakadilan Pemerintah dalam menangani pelanggaran protokol kesehatan. Ia menyebut pencopotan Kapolda sarat muatan politis karena kerumunan di daerah lain Kapoldanya aman-aman saja.

“Kerumunan lain akibat Pilkada di berbagai daerah itu Kapoldanya aman karena yang bekerja dibilang Bawaslu. Sementara Jakarta dibilang yang bekerja Kapolda. Kesan yang ada di masyarakat itu Kapolda gagal karena bahasanya dicopot, padahal itu kan mutasi, tapi jadi politis karena dibilang dicopot,” jelas Ginka.