Koreksi Pemikiran Yusril Ihza Mahendra Terkait UU Cipta Kerja

Oleh : Ahmad Khozinudin
Sastrawan Politik

Sebenarnya, penulis sudah sangat lama menunggu komentar atau bahkan pandangan hukum Yusril Ihza Mahendra selaku ahli Hukum Tata Negara terkait polemik UU yang disusun secara ‘Omninus Law’ yang baru pertama kali diadakan di Indonesia. Sebab, polemik UU Cipta Kerja ini telah menuai kontroversi bahkan ‘Konflik Pemikiran’ jauh-jauh hari, sejak opini digulirkan Presiden, RUU dikirim DPR, RUU dibahas DPR, dan akhirnya RUU tersebut diketok malam hari dengan mengabaikan pendapat, pandangan dan aspirasi publik.

Nyatanya, Yusril Ihza Mahendra tak bersuara, baik dengan memberikan dukungan, catatan, bahkan koreksi. Setidaknya, jika Yusril mengajukan catatan dan koreksi sebelum pengundangan, akan menjadi masukan penting baik secara formil maupun materil, dengan ketentuan apabila catatan dan koreksinya didengar oleh Presiden dan DPR.

Yusril seperti absen (menghindari) dari perdebatan publik, bahkan hingga publik menyoal pengesahan UU oleh DPR. Yusril tak pernah mengomentari, UU yang bisa sim salabim diketok, muncul banyak versi dan koreksi, hingga terakhir dikirim draft final DPR dengan jumlah 812 halaman, namun yang dinomori Presiden beranak pihak menjadi 1.187 halaman.

Pada Rabu (4/11) penulis memperoleh tulisan yang dibuat Yusril Ihza Mahendra dalam sebuah forum GWA, yang pada pokoknya Yusril juga ikut mengkritisi UU yang baru saja dinomori dan diteken Presiden. Namun, substansi tulisan Yusril bukan pada koreksinya, tetapi pada poin pembenaran kesalahan dan memberikan legitimasi bagi rezim atas kesalahan yang terjadi.

Yusril Ihza Mahendra menyebut kesalahan yang terjadi hanyalah soal pengetikan dan tidak mempengaruhi substansi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja. Kesalahan itu terjadi akibat proses pembentukannya yang tergesa-gesa, sehingga mengabaikan asas kecermatan.

Namun, menurut Yusril, UU tersebut sudah terlanjur ditandatangani Presiden Jokowi dan diundangkan dalam Lembaran Negara.

“Naskah itu sah sebagai sebuah undang-undang yang berlaku dan mengikat semua pihak,” kata Yusril dalam keterangan tertulis, Rabu (4/11/2020).

Lebih lanjut, Yusril mengatakan, kesalahan pengetikan tersebut tidak membawa pengaruh pada norma yang diatur dalam Undang-Undang Cipta Kerja. Oleh karenanya, menurut Yusril, pemerintah dan DPR dapat melakukan rapat guna memperbaiki kesalahan pengetikan tersebut.

Terkait pernyataan Yusril tersebut, ada beberapa poin penting yang wajib dikritisi :

Pertama, Yusril mengakui ada kesalahan tapi bagaimana mungkin pada saat yang sama kesalahan itu bisa dibenarkan ? Dimaklumi ? Ditolerir ?

Padahal, jika dicermati lebih lanjut kesalahan bukan sekedar teknis salah ketik, ada kesalahan yang sifatnya redaksional hingga substansi pasal.

Kesalahan yang paling viral beredar adalah kesalahan redaksional pasal 6 yang memberikan penjelasan pada anak pasal 5. Padahal, pasal 5 berdiri sendiri tanpa anak pasal baik berupa ayat atau poin tertentu.

Kesalahan substansial contohnya pada penghapusan sejumlah pasal yang tidak komprehensif sehingga menimbulkan kekacauan dalam memaknai pasal, sebagaimana dijelaskan Pof Suteki.

Misalnya, adanya Kejanggalan Penghapusan Pasal 53 dan pasal 54 UU Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (P3H).

Pasal 53 berbunyi :

1. Pemeriksaan perkara perusakan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (1), pada pengadilan negeri, dilakukan oleh majelis hakim yang berjumlah 3 (tiga) orang yang terdiri dari satu orang hakim karier di pengadilan negeri setempat dan dua orang hakim ad hoc.

2. Pengangkatan hakim ad hoc sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Presiden atas usulan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia.

3. Setelah berlakunya Undang-Undang ini ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia harus mengusulkan calon hakim ad hoc yang diangkat melalui Keputusan Presiden untuk memeriksa perkara perusakan hutan.

4. Dalam mengusulkan calon hakim ad hoc sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Ketua Mahkamah Agung wajib mengumumkan kepada masyarakat.

5. Untuk dapat diangkat menjadi hakim ad hoc, harus terpenuhi syarat tertentu.

Pasal 53 ini merupakan kelanjutan yang tidak dapat dipisahkan dengan Pasal 52. Ketika Pasal 53 dihapus, berarti Pasal 52 tidak dapat dioperasionalkan karena Pasal 52 mengatur tentang pentahapan pemeriksaan perusakan hutan mulai dari PN, PT hingga MA yang operasionalisasinya diatur dalam Pasal 52 tersebut. Jadi, penghapusan Pasal 53 terkesan dilakukan secara “ugal-ugalan” karena sebenarnya penghapusan itu menegasikan Pasal 52 UU P3H ini, padahal faktanya Pasal 52 masih tetap dipertahankan. Begitu ungkap Prof Suteki.

Kedua, Yusril mengungkapkan hukum acara perbaikan UU yang telah diketok DPR, dinomori dan diteken Presiden, melalui mekanisme koordinasi dan rapat bersama.

“Presiden (bisa diwakili Menko Polhukam, Menkumham, atau Mensesneg) dan Pimpinan DPR dapat mengadakan rapat memperbaiki salah ketik seperti itu,” begitu ujarnya.

Pertanyaannya, darimana sumber hukum acara perbaikan dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan sebagaimana disebutkan Yusril diatas ?

Jika merujuk UU Nomor 12 tahun 2011 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 15 tahun 2019, tidak ada norma hukum pembentukan peraturan perundang-undangan dengan mekanisme rapat ulang antara pemerintah dan DPR untuk memperbaiki UU yang telah diketok DPR, dinomori dan diteken Presiden.

Padahal, sumber hukum yang diakui secara formil sebagai hukum acara pembentukan peraturan perundang-undangan sebagai konsekuensi asas legalitas, adalah UU Nomor 12 tahun 2011 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 15 tahun 2019 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan.

Ketiga, yang paling bisa dipahami dari sejumlah pernyataan Yusril adalah upaya melegitimasi kesalahan agar Presiden tak perlu membatalkan UU dimaksud, agar DPR tak perlu melakukan pembahasan ulang, agar aspirasi rakyat yang menolak UU ini menjadi terkunci, karena UU ini oleh Yusril telah distempel sah dan berlaku.

Padahal, Yusril bisa bicara tentang kesalahan tersebut akan berkonsekuensi pembatalan UU di MK. Atau Yusril bisa bicara tentang peluang penerbitan Perppu oleh Presiden untuk mengoreksi kesalahan.

Yang jelas, penulis jadi teringat pameo lama yang menyebutkan : “Pendapat itu bergantung pada Pendapatan”. Semoga, bukan hal ini yang melatarbelakangi tulisan yang dibuat Prof Yusril Ihza Mahendra.