Bung Hatta, Demokrasi Kita dan Islam

Oleh :Abdurrahman Syebubakar
Ketua Dewan Pengurus IDe

Mohammad Hatta, dalam tulisannya berjudul “Demokrasi Kita” (1960), bernubuat bahwa demokrasi yang berurat berakar di dalam pergaulan hidup bangsa Indonesia tidak dapat dilenyapkan untuk selama lamanya. Menurut Bung Hatta, demokrasi mungkin tersingkir sementara karena kesalahannya sendiri, tetapi ia akan muncul kembali dengan tegap dan penuh keinsyafan.

Bung Hatta meyakini setidaknya ada tiga sumber yang menghidupkan cita cita demokrasi dalam denyut kehidupan bangsa Indonesia, yaitu (1) faham dan tradisi kolektivisme yang berlaku di desa, (2) ajaran Islam yang menuntut kebenaran dan keadilan ilahi serta persaudaraan antar manusia, dan (3) faham sosialis Barat yang menarik perhatian para pemimpin pergerakan Bangsa Indonesia. Paduan dari ketiga anasir ini, menurut Bung Hatta, memperkuat keyakinan bahwa demokrasi yang akan dibangun oleh bangsa Indonesia di kemudian hari haruslah suatu perkembangan dari demokrasi asli yang berlaku di desa.

Berdasarkan pandangan dan analisis Bung Hatta di atas, dapat dikatakan bahwa demokrasi, terutama dimensi substantifnya, bukanlah gagasan dan sistem “asing” bagi bangsa Indonesia. Seturut dengan itu, Pancasila dan UUD45 sarat dengan kandungan nilai nilai demokrasi substantif seperti keadilan, kedaulatan rakyat, kesetaraan, dan hak asasi manusia.

“Proyek” demokrasi memang berasal dari Barat yang uji coba perdananya dilaksanakan di Atena, kemudian direvitalisasi sejak abad 19 di Eropa Barat. Tetapi esensi demokrasi bukanlah monopoli Barat, dan tegaknya demokrasi tidak ditentukan oleh sekularisme, proyek ideologis tertutup dan gagal, yang meniscayakan pemisahan agama dari kehidupan politik kenegaraan. Demokrasi juga bukan saja soal prosedur dan kekuasaan mayoritas. Pemilu hanyalah serpihan kecil dari narasi besar demokrasi. Partisipasi masyarakat; penghormatan terhadap HAM dan kebhinekaan; “kebebasan dari” berbagai bentuk deprivasi dan “kebebasan untuk” hak-hak sosial-politik dan ekonomi; kedaulatan rakyat; arus informasi bebas; persamaan di depan hukum; transparansi dan akuntabilitas pemerintahan; kesemuanya merupakan bagian penting dari “bahan baku” demokrasi.

Demokrasi susbtantif juga tidak saja berkesesuaian dengan Islam tetapi dalam perkembangannya terinspirasi nilai nilai Islam. Konsepsi tauhid dengan konsekuensi logis kemutlakan hanya milik Allah dan kesetaraan serta persaudaraan di antara sesama manusia menunjukkan kuatnya stimulus Islam terhadap demokrasi. Konstitusionalisasi demokrasi modern (demokrasi konstitusional) yang “diawali” di dunia Barat sejatinya didahului oleh Nabi Muhammad melalui ekperimen Piagam Madinah, lebih dari 14 abad silam, yang oleh banyak kalangan, termasuk kelompok orientalis, dianggap terlalu modern untuk bangsa Arab pada saat itu.