KSP Gagal Melakukan Diseminasi Informasi Politik Terkait Omnibus Law UU Cipta Kerja

Kerusuhan yang terjadi di berbagai daerah sebagai puncak kegaduhan politik dan aksi politik terkait
Undang Undang Cipta tenaga kerja –yang menyatukan berbagai UU terkait rezim perijinan Investasi dan ketenagakerjaan– merupakan bentuk kegagalan pemerintah dalam merespon dinamika politik secara umum dan khususnya dinamika politik perburuhan.

Sejak diwacanakan perlunya meningkatkan investasi baik dalam negeri maupun luar negeri untuk membuka lapangan kerja dan meningkatkan perekenomian nasional, maka diperlukan langkah-langkah strategis antara lain menghilangkan faktor biaya ekonomi tinggi, memangkas birokrasi perijinan, dan meningkatkan kenyamanan dan keamanan berusaha. Untuk itu maka regulasi terkait hal tersebut perlu disinkronisasi ke dalam satu perundang-undangan pokok yang dalam bahasa generiknya disebut sebagai “omnibus law”.

Ketika wacana omnibus law mulai  digulirkan sudah muncul pro dan kontra. Karena bagaimanapun omnibus law akan membuat banyak pihak yang berkepentingan dengan “status quo” regim perijinan usaha dan penikmat pungli terganggu. Mafia perijinan, pemburu rente ekonomi dll melakukan penolakan secara keras. Hal tersebut sebenarnya terlihat jelas, tetapi tidak diantisipasi secara politik. Langkah-langkag melakukan diseminasi informasi politik dan aksi politik terkait hal tersebut tidak dilakukan oleh KSP.

Sedangkan di sisi lain pembahasan omnibus law kluster investasi dan tenaga kerja terus berlanjut hingga Minggu lalu disahkan oleh DPR.

Pengesahan tersebut menjadi momentum persilangan kepentingan strategis antara mafia perijinan, pemburu rente, oposisi dan anasir anasir anti pemerintah.

Seharusnya KSP telah melakukan analisa dari berbagai sisi dan menyadari bahwa akan  dampak dari disahkan UU Ciptaker tersebut lalu melakukan aksi diseminasi informasi politik ke para pihak yang berkepentingan dan melakuan antisipasi atas berbagai kemungkinan penolakan terhadap UU tersebut serta menyusun skenario aksi politik menghadapi berbagai anasir-anasir kekuatan politik yg ingin  menggoyang bahkan menjatuhkan Pemerintahan Presiden Jokowi.

Adanya kerusuhan di berbagai daerah secara serentak dan masif menunjukkan bahwa KSP gagal dalam menjalankan beberapa tupoksinya yakni melakukan monitoring dan evaluasi terhadap setiap kebijakan politik pemerintah, melakukan diseminasi informasi politik, aksi politik maupun mendorong kementerian/Lembaga yang terkait–seperti kemenko perekonomian, Kemenkopolhukam, kemenaker dan aparatur keamanan/polri— untuk  melakukan komunikasi yang efektif dan mengontrol situasi sosial politik.

Demikian disampaikan Yulianto Widirahardjo, SE, MSi. Ketua Indonesia Future & Strategic Studies (IFSS) kepada pers saat di temui di kawasan Jakarta Selatan, Sabtu, 10/10/2020.

“Pembahasan mengenai RUU Omnisbus law ini sdh selama setahun, dan mestinya dalam proses pembahasan tersebut, sudah terbentuk komunikasi yang efektif, koordinatif dan massif antar institusi maupun dengan stakeholder serta dengan masyarakat,” ungkap Yulianto.

Menurut Yulianto, dalam masalah Omnibuslaw Ciptaker, semestinya keberadaan KSP (Kepala Staf Kepresidenan) sangat strategis, dia memegang peranan untuk mengatur lalu lintas koordinasi maupun komunikasi ke berbagai pihak baik di internal kabinet, ke DPR RI maupun ke masyarakat, mereka bisa melakukan monotoring, evaluasi dan mendrive berbagai hal kepada para pihak/stakeholder terkait Undang Undang Ciptaker, serta cepat merespon dinamika politik. Hal ini merupakan langkah yg seharusnya di lakukan KSP untuk mencegah terjadi penyebaran hoax yg dapat memicu terjadi nya kegaduhan.

“Mestinya yang menjawab respon masyarakat soal UU Ciptaker bukan Presiden Jokowi, tapi Menko Perekonomian sebagai leading sektor terkait langsung dengan UU Ciptaker ini.” tukas Yulianto

Lebih lanjut Yulianto mengatakan bahwa tidak sepatutnya Presiden Jokowi menjawab, menjelaskan dan bahkan menepis berita hoax tentang UU Ciptaker yang beredar di masyarakat, mestinya yang jawab adalah Menko Perekonomian atau menteri terkait dalam UU Ciptaker tersebut, minimal KSP memerintahkan deputinya untuk melakukan diseminasi informasi dan komunikasi politik, melakukan aksi politik dengan men-drive kementerian terkait guna mencegah kelompok kelompok buruh berkelindan dengan kelompok kepentingan dan anasir-anasir yg ingin menjatuhkan Presiden Jokowi.

“Situasi tersebut menunjukkan adanya indikasi kemandulan kinerja KSP dalam penanganan polemik UU Ciptaker, karena itu kinerja staf Kepresidenan di lingkungan Istana harus di evaluasi,” pungkas Yulianto.

Simak berita dan artikel lainnya di Google News