Rezim Jokowi Menggasak Dana Haji

REZIM JOKOWI MENGGASAK DANA HAJI
Penulis: Smith Alhadar
Editor: Abdurrahman Syebubakar

Pada 2 Juni, secara mengejutkan Menteri Agama Fachrul Razi begitu saja membatalkan haji tahun ini. Keputusan ini diambil sebelum ada kepastian dari Kerajaan Arab Saudi tentang jadi tidaknya pelaksanaan musim haji 2020.

Komisi VIII DPR juga kecewa karena keputusan itu diambil tanpa dengar pendapat dengan mereka. Padahal, sesuai UU Haji dan Umrah 2019, segala kebijakan rezim terkait haji dan umrah harus dibicarakan dengan DPR terlebih dahulu karena ini masalah sensitif dan menyangkut hajat hidup orang banyak.

DPR marah karena rezim melakukan fait accompli. Tadinya sudah ada kesepakatan antara rezim dengan Komisi VIII DPR untuk menggelar rapat bersama pada 4 Juni. Namun, sebelum waktunya tiba, sekonyong-konyong Fachrul Razi mengumumkan meniadakan ibadah haji tahun ini.

Alasannya, seluruh dunia dilanda pandemi covid-19, termasuk Arab Saudi dan Indonesia. Alasan lain, hingga saat ini Arab Saudi belum membuka akses bagi jamaah haji dari negara manapun. Sementara kalau nanti Arab Saudi memutuskan membuka akses bagi ibadah haji dalam beberapa waktu dekat mendatang, rezim Jokowi mengaku tak punya waktu lagi untuk melakukan persiapan bagi pelayanan dan perlindungan jamaah haji Indonesia.

Arab Saudi belum mengambil keputusan apakah akan membuka akses bagi pelaksanaan haji atau tidak karena masalah ini sangat sensitif dan kerajaan Wahabi itu tidak ingin dilihat sewenang-wenang dalam menentukan pelaksanaan rukun Islam kelima ini. Salah mengambil keputusan — misalnya, membatalkan ibadah haji — Arab Saudi bisa dikecam sebagian umat Islam di dunia. Sementara, membuka akses bagi ibadah haji di tengah wabah corona tidaklah mudah. Bagaimana menerapkan physical distancing untuk setiap prosesi haji yang bersifat kerumunan: tawaf, sa’i, wukuf di Arafah, shalat berjamaah di Masjid al-Haram dan Masjid Nabawi, dan lempar jumrah di Mina.

Bagaimanapun, tercium motif lain di balik keputusan rezim meniadakan ibadah haji tahun ini. Fachrul Razi, yang meminta maaf karena membatalkan janjinya untuk rapat dengan Komisi VIII, mengaku ia diperintahkan presiden. Nampaknya Jokowi tidak ingin masalah ini dibahas di DPR yang dapat berujung pada penolakan wakil rakyat terhadap rencana rezim meniadakan ibadah haji tahun ini. Maka terjadilah fait accompli itu.

Menurut Kepala Pengelola Keuangan Haji, Anggito Abimanyu, dana jamaah yang gagal berangkat haji senilai US$ 600 juta atau Rp 8,7 triliun akan dipakai untuk kepentingan stabilisasi nilai tukar rupiah. Bagaimanapun, banyak pihak mengkritik tindakan rezim yang tidak etis itu. Itu bukan uang negara, tapi jamaah haji yang penggunaanya di luar haji harus dimintai persetujuan mereka. Apalagi, menurut ekonom senior Rizal Ramli, penggunaan dana jamaah haji untuk stabilisasi rupiah sangat beresiko. Ia menertawai rezim yang telah kehilangan ide.

Memang seharusnya rezim tidak menggunakan dana itu untuk menyanggah rupiah. Toh, rezim masih memiliki cadangan devisa sekitar US$ 130 miliar. Dan bagaimana kalau dalam beberapa hari mendatang Arab Saudi mengumumkan membuka akses bagi jamaah haji?

Tidak mungkin rezim dapat membela diri dengan alasan covid-19. Bukankah rezim telah memberlakukan new normal atau adaptasi kehidupan baru di mana masjid-masjid telah diizinkan dibuka untuk shalat berjamaah? Melarang kaum Muslim berangkat haji, sementara rezim telah memberlakukan new normal di tengah penularan pandemi corona yang masih tinggi, akan dilihat sebagai kebijakan plin-plan dan inkonsistensi rezim. Bahkan, dapat dipandang sebagai sikap diskriminatif rezim terhadap umat Islam.

Toh, selama ini rezim menunjukkan sikap tidak bersahabat dengan sebagian ummat Islam, terutama yang tidak mendukung rezim. Organisasi – organisasi Islam yang tidak bersahabat dengan rezim ditekan bahkan dibubarkan dengan pelbagai dalih. Tidak sedikit ulama dikriminalisasi jika tidak tunduk kepada rezim. Bahkan ada yang ditelantarkan di luar negeri. Narasi-narasi radikalisme, anti-Pancasila dan khilafah terus didengungkan rezim untuk membungkam ummat Islam yang bersikap kritis kepada rezim. Bahkan ada tiga kementerian yang ditunjuk untuk keperluan itu.

Tetapi nampaknya rezim tidak hanya berniat menggunakan dana Rp 8,7 triliun dari jamaah yang gagal berangkat haji tahun ini. Sebagian besar dana haji senilai Rp 135 triliun juga digunakan rezim untuk menopang APBN. Alhasil, benar kata Rizal Ramli bahwa rezim telah kehilangan gagasan dalam membiayai dampak covid-19. Padahal, jika saja rezim membatalkan proyek infastruktur, akan banyak dana yang dapat digunakan untuk menanggulangi wabah pandemi corona.

Dus, jangan marah kalau calon jamaah haji tidak rela uangnya digunakan untuk hal-hal yang beresiko tinggi. Pasalnya, kalau dana yang besar ini dikorupsi, siapa yang harus bertanggung jawab. Mereka mungkin setuju kalau dana ini dipakai untuk memperkuat pendidikan dan ekonomi umat dengan pengelolaan yang terbuka dan amanah. Memang kendati mayoritas dalam jumlah, umat Islam minoritas dalam bidang ekonomi. Dan karena itu, minoritas pula dalam bidang politik.

Dan di tengah wabah covid-19 yang menghantam dengan keras kehidupan sosial dan ekonomi rakyat kecil, rezim Jokowi malah lebih memprioritaskan kepentingan kaum oligark. Itu terlihat dari sejumlah RUU dan UU yang dikeluarkan rezim. Tak bisa tidak semua ini didikte kaum oligark yang punya pengaruh besar di lembaga-lembaga tinggi negara, terutama legislatif dan eksekutif. Ketika rezim dalam keadaan sulit di tengah pandemi corona, demikian juga kaum oligark, kaum Muslim dijadikan sandaran. Bahkan, mengambil dana haji tanpa permisi dari yang punya untuk menopang rezim yang goyah.

Maka seharusnya calon jamaah haji tidak mengizinkan dananya dipakai rezim. Juga berhak menuntut tetap diberangkatkan kalau Arab Saudi menyelenggarakan ibadah haji tahun ini. Reaksi negatif ummat terkait penggunaan dana haji yang dilakukan seenaknya oleh rezim akan menambah ketidakpercayaan publik terhadap rezim yang legitimasinya memang sudah rendah.