Oleh : Dahlan Iskan
Pak, berita tentang Santo Purnama itu hoaks atau bukan?
Banyak sekali pertanyaan seperti itu masuk ke DI’s Way. Kok hebat sekali putra Indonesia itu? Kok bisa menemukan alat test Covid-19 yang unggulnya bukan main? Akurasinya bisa mencapai 92 persen. Prosesnya begitu cepat –hasilnya sudah diketahui hanya dalam 10 menit.
Harganya begitu murah –dibanding test swap yang di atas Rp 1 juta.
Saya pun berpikir: mengapa ada pertanyaan hoaks atau bukan?
Oh… Ternyata berita-berita tersebut tidak ada yang bersumber langsung dari Santo Purnama.
Juga karena tidak banyak diceritakan siapa Santo Purnomo. Paling hanya disebut ia orang Indonesia. Pernah sekolah di Purdue University dan Stanford University.
Orang pun penasaran: siapa ia? Dari kota mana ia? Benarkah ia penemunya?
Untung lagi lockdown. Kalau tidak saya pun tidak akan bisa menemukan siapa Santo Purnama. Diperlukan jalan berliku untuk menemukannya.
Ketemu!
Santo tinggal di Silicon Valley, California.
Tapi ini sudah hampir jam 12.00 malam –waktu California. Saya pun mikir-mikir: saya hubungi sekarang atau besok saja.
Harus sekarang –siapa tahu besok sudah telat. Begitulah doktrin lama saya.
Bagaimana kalau ia sudah tidur? Tidakkah mengganggu tidurnya? Tidakkah ia sebel menerima telepon selarut malam seperti itu?
Saya pun ingat waktu menjadi pemimpin redaksi dulu. Saya sering minta wartawan mendatangi sumber berita saat jam sudah pukul 23.00 lebih.
Si wartawan tentu enggan. Kok harus wawancara dengan orang yang sama lagi. Kan malu.
Saya tahu, si wartawan juga segan –sudah tengah malam. Bisa dianggap mengganggu orang tidur.
Tapi si wartawan juga tahu watak saya. Kalau ia tidak mau berangkat, saya akan berangkat sendiri.
Saya merasa tanpa tambahan wawancara berita tersebut terasa ada yang ‘bolong’. Pembaca akan kecewa kalau ‘lubang’ itu tidak ditutup.
Si wartawan pun berangkat. Tentu hatinya berat. Tapi ya begitulah jadi wartawan.
Ia berhasil. Saat kembali ke kantor saya tepuki pundaknya. Saya berteriak keras di ruang redaksi itu. “Teman kita berhasil,” –agar yang lain ikut bangga padanya.
“Saya harus mengetuk pintu rumahnya lama sekali,” katanya sambil senyum penuh kebanggaan.
Kemarin, saat saya mau mewawancari Santo itu, saya ingat kembali wartawan itu. Saya ingat ekspresi wajahnya. Dan body language-nya. Terutama saat dengan berat ia toh berangkat juga. Dan berhasil.
Belum ada ponsel saat itu.
Sekarang sudah enak. Kalau pun saya berhasil mewawancari Santo, tetap kalah dengan wartawan itu. Saya kan tidak perlu naik motor ke California. Saya juga tidak perlu mengetok-ngetok pintu rumah Santo Purnama.
Saya tinggal kirim WA untuk memperkenalkan diri. Disertai satu pertanyaan pembuka.
“Hi Pak Dahlan. Salam kenal,” jawab Santo Purnama seketika itu juga.
Lega.
Saya tidak akan ditertawakan mantan wartawan saya.
Ada tekniknya: pertanyaan pertama wartawan harus seperti apa. Agar sumber berita mau merespons.
Teknik itu saya rahasiakan di sini –tapi Najwa Shihab tahu itu. Senior saya di TEMPO, Karni Ilyas, juga tahu itu.
Maka Santo pun menjawab WA saya itu.
Ia membenarkan semua berita yang sudah beredar itu. Berarti bukan hoaks. Ia benar-benar orang Indonesia. Benar pula ia mampu memproduksi alat test Covid-19 yang unggul itu. Yang akuratnya sampai 92 persen itu. Yang hasilnya diketahui cepat itu. Yang harganya hanya USD 10 (sekitar Rp 160.000) itu.
“Tahun berapa Anda menemukan itu,” tanya saya.
“Saya bukan menemukan. Lol…it’s not an invention,” jawabnya.
Oh, kelihatannya ia lebih suka kalau dalam bahasa Inggris. Maka saya ikuti mood pikirannya.
“So…..?“ tulis saya.
Belum lagi terkirim pertanyaan itu sudah muncul lagi susulan WA-nya.
“No one person invented this. It’s like, say, ban roda,” katanya.
Oh iya. Siapa ya yang menciptakan roda? Atau ban roda?
Maksud Santo jelas: alat tes seperti itu merupakan karya berkelanjutan. Yang kian tahun kian bisa disempurnakan oleh siapa saja.
“Orang-orang dulu membuat roda untuk 30.000 mil – 40.000 mil. Saya membuat ban itu untuk 92.000 mil,” guraunya.
Santo juga menjelaskan bahwa ia bukan orang yang menciptakan alat tes itu. Kunci kehebatan sistem tes ini bukan pada alat. Tapi pada enzimnya.
Sedang alatnya bukan hal yang perlu dibicarakan.
“Anda kan electrical engineer. Sedang enzim itu kan soal kimia,” tukas saya.
Waktu mengajukan pertanyaan itu saya ingat satu bacaan bahwa Santo adalah alumni Purdue University bidang studi electrical engineering. Rupanya bacaan saya itu salah.
Ia pun merasa harus meluruskan.
“I’m computer guy lol,” katanya. Setengah protes.
Santo lulus Purdue University pada 1995. Berarti umurnya sekarang sekitar 45 tahun. Kebetulan beberapa kali saya pernah lewat dekat Purdue University di negara bagian Indiana itu. Beberapa teman saya juga alumni Purdue.
Dari Purdue itu Santo meneruskan kuliah ke Stanford University. Yakni universitas level utama yang ada di California.
Di Stanford, Santo seangkatan dengan pendiri Google dan startup lainnya – -yang memang lagi mewabah saat itu.
Orang tua Santo hanya membiayai sebagian ongkos kuliahnya itu. Santo sendiri yang harus mencari tambahannya. Ia punya otak bisnis –seperti yang diakui teman-temannya.
Keluarga Santo memang pebisnis. Kakaknya punya bisnis nikel, batubara, dan banyak lagi.
Meski punya darah Tionghoa, Santo sudah generasi keempat di Indonesia. Kakeknya pun sudah kelahiran Aceh. Lalu bapaknya pindah ke Medan.
Di Medan-lah Santo lahir. Tapi ketika masih kecil ia sudah diajak pindah ke Jakarta. Karena itu sekolahnya pun di Jakarta.
Santo adalah lulusan SMA Bunda Hati Kudus di Jakarta –dekat Grogol itu.
Selama ini Santo sudah berbisnis di bidang alat kesehatan. Di Amerika sana. Misalnya alat tes diabetes dan urine. Ia berada dalam satu tim dengan temannya yang keturunan India: Shripal Gandhi. Yakni alumni Mumbai University di bidang kimia.
Ketika Covid-19 merajalela Santo dan Gandhi memproduksi alat tes untuk itu.
Nama produknya itu: ‘Sensing Self’.
Nama itu mengandung makna bahwa Anda tidak perlu dulu ke dokter. Tidak perlu dulu ke lab. Cukup melakukan tes sendiri di rumah masing-masing.
Kapan alat tes Covid-19 ‘Sensing Self’ itu masuk Indonesia? Agar semakin banyak orang Indonesia yang melakukan tes –sebagai cara terbaik menghadang meluasnya Covid-19?
“Kami sudah punya distributor lokal di Indonesia. Tentu masih harus memperoleh izin edar dari pemerintah Indonesia,” ujar Santo.
Untuk Eropa ‘Sensing Self’ sudah mendapat persetujuan. Demikian juga India.
India adalah pasar terbesar ‘Sensing Self’. Dengan harga USD 10 negara berpenduduk besar seperti Indonesia dan India sangat terbantu.
“Our mission is to democratize the health lab tests so it’s easily and affordably accessible to all,” ujar Santo.
Jadi yang akan diproduksi ‘Sensing Self’ itu adalah kertas berenzim. Sedikit darah disentuhkan ke kertas itu. Sepuluh menit kemudian sudah tahu: positif atau negatif.
Kertas berenzim itu dibungkus plastik –agar aman. Lalu ada packaging-nya. Semua itu akan dikerjakan di Tiongkok.
Akhirnya saya minta maaf. Sudah terlalu malam di California saat itu.
“Good night,” tulis saya.
“Would love to chat more with you,” tulisnya. (*)
[pojoksatu .id]