Dituding Sesat, Santri Ustadz Abdul Somad Lc, MA Berikan Jawaban Telak (2)

Moehammed Hidayatulloh dan Ustadz Abdul Somad Lc, MA (IST)

Berikut ini lanjutan tulisan artikel dari santri Ustadz Abdul Somad Lc, MA, Moehammed Hidayatulloh.

Wahabi atau Ust. Abdul Somad yang sesat? (2)

Ini melanjutkan jawaban saya kemarin, mengingat ada respon balik dari kalangan Wahabi. Saya mencoba mencermati respon-respon itu, baik yang secara langsung berkomentar di kolom komentar postingan maupun yang men-sharenya di tempat lain. Untuk kali ini saya ambil poin yang paling utama dari jawaban-jawaban mereka; yaitu akidah dan manhaj.

Akidah dan Manhaj

Saudara-saudara kita dari kalangan Wahabi menganjurkan kita untuk kembali belajar akidah dan manhaj. Mereka merasa umat Islam selain kelompok mereka memiliki masalah dalam hal akidah/manhaj, sehingga layak divonis sesat, musyrik atau kafir. Ini memang merupakan tema utama yang digaungkan oleh pencetus aliran ini, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab, sebagaimana dapat dibaca di dalam kutaib (kitab kecil) karyanya seperti Kitāb at-Tauhīd, Kasyf al-Syubhāt dan sejenisnya.

Pada dasarnya, prinsip untuk terus memperkokoh akidah/tauhid/manhaj merupakan sebuah keharusan bagi setiap individu muslim. Karena untuk tujuan inilah manusia dan jin diciptakan. Hanya saja, sikap ghuluw (berlebihan) Wahabi dalam hal ini membuat mereka terjatuh ke dalam lubang yang bahkan mereka akan kesulitan lagi untuk keluar darinya. Sikap ghuluw inilah yang membuat mereka tidak segan-segan memvonis sesat kelompok-kelompok Islam lainnya. Bahkan pada akhirnya, sikap ini pula yang memantik perpecahan internal di kalangan mereka, sehingga saling lempar tuduhan sesat pun menjadi pertunjukan harian. Dan inilah sumber dari perpecahan umat Islam saat ini. Dalam sejarah Islam, sikap ghuluw semacam ini juga pernah dialami oleh kelompok Islam lainnya; Khawarij. Yaitu berlebihan atau bahkan kesalahan dalam mendeskripsikan sebuah tauhid yang seharusnya dihadap-hadapkan antara muslim vs musyrik/kafir, namun justru oleh mereka dihadap-hadapkan antara muslim vs muslim. Akhirnya, ayat-ayat Al-Quran yang seharusnya dipahami dan ditujukan kepada kaum musyrikin, oleh kalangan Wahabi justru disematkan kepada umat Islam. Akhirnya ideologi Wahabi ini jatuh ke dalam sejumlah kerancuan.

Untuk lebih memahami hal di atas, saya akan berikan sedikit contoh, sekali lagi sedikit dari sekian banyak contoh, karena keterbatasan waktu.

Persoalan tabaruk misalnya. Bagi Wahabi, bertabaruk dengan atsār (jejak/bekas) orang-orang saleh adalah salah satu bentuk dari kesyirikan. Mereka begitu getol mengkampayekan hal ini. Jika ada sebuah keteladan/contoh dari salaf saleh terkait hal ini, maka mereka akan berusaha sekuat tenaga untuk menolaknya dengan mengatakan riwayat tersebut daif atau bahkan palsu dan tidak dapat dijadikan hujah/sandaran. Misalnya terkait kisah Imam Syafii yang bertabaruk dengan jubah Imam Ahmad, sebagaimana diceritakan oleh al-Hafidz Ibnu Asakir di dalam Tarikh Dimasy. Atau kisah yang diceritakan oleh al-Hafidz al-Dzahabi di dalam Siyarnya bahwa penduduk Samarqandi mengalami paceklik dan sudah berkali-kali menunaikan shalat istisqā` (shalat meminta hujan), namun tak kunjung membuahkan hasil. Singkat cerita akhirnya ada seseorang yang bermimpi dan mendapatkan petunjuk agar penduduk Samarqandi berdoa di makam Imam al-Bukhari. Akhirnya ia menceritakan mimpinya ini kepada al-Qadhi (hakim). Dan tanpa berpikir panjang al-Qadhi dan penduduk Samarqandi lainnya pergi untuk menziarahi makam Imam al-Bukhari. Sesampai di sana mereka shalat istisqā’ dan berdoa dengan bertawasul dan bertabaruk dengan Imam al-Bukhari. Dan tidak lama kemudian hujan pun turun dengan sangat deras, bahkan membuat mereka tidak dapat kembali ke rumah masing-masing selama tujuh hari. Jarak antara makam Imam al-Bukhari dengan Samarqandi sekitar tiga mil.

Kedua ulama besar ilmu hadis di atas, al-Hafidz Ibnu Asakir dan al-Hafidz al-Dzahabi tidak memberikan komentar negatif kepada kisah-kisah tabaruk dan tawasul di atas. Apalagi sampai berani menuduh hal itu sebagai perbuatan syirik dan menyelisihi akidah Islam. Berbeda dengan Wahabi dimana hal-hal semacam ini sudah menjadi doktrin wajib, bahwa itu sesat dan bertentangan dengan akidah Islam.

Namun jika kita cermati, di dalam doktrin Wahabi sebenarnya ada sesuatu yang aneh binti ajaib. Di satu sisi mereka mengimani betul bahwa tabaruk dengan atsār orang-orang saleh itu salah satu bentuk kesyirikan. Di sisi lain mereka tidak dapat menolak bahwa ada banyak riwayat shahih di dalam Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim yang menceritakan tentang tabaruk para sahabat kepada Rasulullah SAW.. Seperti riwayat tentang para sahabat yang berebut sisa air wudhu Rasulullah SAW., atau darah sisa hijamah beliau dan lain-lain. Terkait hal ini mereka mengatakan bahwa itu merupakan pengecualian bagi Rasulullah SAW., atau khushūshiyah (kekhususan) bagi Nabi SAW..

Di sini kerancuan itu terjadi. Kesalahan itu ada sejak di dalam pikiran. Sebuah persepsi yang salah akan melahirkan sebuah keputusan hukum yang salah pula. Terma syirik itu sangat erat kaitannya dengan ibadah. Dengan kata lain, syirik adalah beribadah kepada selain Allah. Jadi, dalam terma syirik tidak ada pengecualian sama sekali bagi siapa pun, termasuk bagi Rasulullah SAW.. Untuk lebih jelasnya, coba perhatikan formula logika di bawah ini:

-> Tabaruk adalah syirik…………….->Tabaruk dengan Rasulullah adalah boleh (pengecualian)

Hasilnya: Syirik kepada Rasulullah adalah boleh (pengecualian)

Ini tentu saja sangat bertentangan dengan prinsip akidah Islam. Belum pernah ada kelompok Islam mana pun yang memiliki paradigma demikian sepanjang sejarah Islam, selain Wahabi. Dan anda boleh cek di kitab sejarah Islam manapun.

Dengan konsep ideologi yang demikian rancu, maka tidak heran jika kalangan Wahabi tidak segan menyematkan vonis sesat terhadap para syurrāh kutub sunnah (para pensyarah kitab-kitab hadis) yang mereka anggap bertentangan dengan kredo akidah yang mereka yakini dengan konsep triloginya; rububiyah, uluhiyah dan asma’ wa sifat. Sebagaimana yang diungkapkan oleh seorang tokoh wahabi Abdullah bin Muhammad al-Duwaisy dan Abdullah bin Sa’di al-Ghamidi al-‘Abdali dalam kitab kecil yang diberi judul akhthā` fath al-bāri fi al-‘aqidah. Kitab ini mengupas tentang kesalahan-kesalahan al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalani dalam kitab Fath al-Bari terkait perkara akidah. Bahkan di halaman awal diberi titik tekan bahwa kesalahan itu adalah pada aqidah ulūhiyah.

Perlu dicatat bahwa dalam kredo akidah Wahabi seseorang yang mengklaim muslim namun cacat dalam akidah ulūhiyah, maka ia tidak ada bedanya dengan kalangan kafir Quraisy. Karena menurut Wahabi, kalangan kafir Quraisy juga bertauhid, tapi hanya sebatas tauhid rubūbiyah minus ulūhiyah dan asmā wa sifāt.

Terakhir, dalam ulasan singkat di seri kedua ini saya ingin mengatakan: jika sikap al-Hafidz Ibnu Asakir dan al-Hafidz al-Dzahabi tidak dapat mereka jadikan patokan. Lantas al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalani sebagai pensyarah terbaik Shahih al-Bukhari mereka tuduh sesat dan disejajarkan dengan kalangan kafir Quraisy dalam masalah akidah. Padahal ulama-ulama ini sudah bergelar al-Hafidz yang artinya bahwa mereka sudah mencapai derajat sangat tinggi dalam ilmu hadis. Jika demikian, maka kita tidak perlu berharap banyak bahwa perkataan kita akan diterima dengan lapang dada oleh saudara-saudara kita dari kalangan Wahabi. Semoga kita semua senantiasa mendapatkan hidayah dan taufik dari Allah SWT.. Wallāhua’lam bish shawāb.

M. Hidayatulloh