Benarkah Ammar Zoni Terjerat Jaringan “Rezim Cadong” di Balik Rutan?

Bagian 1 dari Seri Liputan Khusus
Oleh: Tim Penulis

Kasus terbaru yang menjerat artis Ammar Zoni kembali mengguncang publik. Namun di balik dugaan perannya sebagai “Apotek”—istilah untuk loket penjualan narkoba di dalam Rutan—tersimpan kisah yang jauh lebih gelap. Temuan-temuan lapangan mengindikasikan bahwa kasus ini bukan sekadar perilaku kriminal individual, melainkan bagian dari pola kejahatan terorganisasi yang menggurita di dalam lembaga pemasyarakatan. Sebuah pola yang oleh para narasumber kami disebut sebagai “Tirani Rezim Cadong”: rezim kekuasaan absolut yang beroperasi dalam remang-remang, di balik tembok Rutan dan Lapas.

Reportase investigasi ini mengulas bagaimana praktik pemiskinan rakyat melalui penjebakan (entrapment), pemerasan, hingga perdagangan narkoba dilakukan secara sistematis—melibatkan oknum aparat, calo, dan pihak di dalam lembaga pemasyarakatan.

Modus Penjebakan: Dari Jalanan Menuju Jerat Hukum

Sebelum seseorang bahkan masuk penjara, sebagian kasus penangkapan di jalanan seringkali memperlihatkan pola yang mengarah pada penjebakan sistematis.

Seorang mantan trainer ojek daring membeberkan pengalaman yang hampir menjerat muridnya:
Seorang pengemudi ojek online menerima pesanan paket mencurigakan. Si pemesan menyarankan agar sang pengemudi offline—modus yang belakangan diketahui menjadi indikator penjebakan. Beruntung, sang driver tetap memakai aplikasi. Saat ia tiba di lokasi tujuan, petugas sudah menunggu. Bukti order via aplikasi menyelamatkannya dari tuduhan sebagai kurir.

Namun, tidak semua seberuntung itu.

“Teman sekamar saya di Salemba cerita, ada kawan ojek disuruh ambil obat kuat buat ke apartemen. Pas sampai, langsung disergap. Dia offline. Keluarga akhirnya keluar Rp50 juta baru bisa bebas,” ungkap seorang mantan tahanan kepada redaksi.

Baca juga:  Anggota BNN Tangkap Ahok, Ada Apa Nih?

Kisah serupa dialami sepupu penulis. Dititipi tas kecil oleh teman tongkrongan, tak lama kemudian petugas menggerebek dan menuduhnya sebagai pemilik ganja. Tanpa uang untuk “86”—kode kompromi penyelesaian kasus—ia ditahan.

Pola-pola seperti ini membentuk gambaran mengejutkan: warga biasa, terutama ojek online dan pemuda pengangguran, menjadi incaran empuk mekanisme pemiskinan yang dikelola oleh aktor-aktor gelap.

Rezim Cadong: Bisnis Gelap yang Beroperasi dari Balik Tembok

Di balik tembok Rutan dan Lapas, narkoba justru menemukan pasar terbesarnya. Para narasumber menyebut ini bukan sekadar kelalaian pengawasan—melainkan perdagangan terstruktur.

1. “Apotek” dan Restu Oknum Petugas

Istilah “Apotek” merujuk pada titik distribusi narkoba per blok. Ammar Zoni, menurut berbagai narasumber, hanyalah salah satu dari banyak “pemain kecil”. Barang haram itu jelas tak muncul dari udara.

Narasumber lain mengungkap fenomena yang disebut warga binaan sebagai “Mati Lampu”—kode keras bahwa ada “barang masuk”.

“Kalau mati lampu malam-malam dan lama, itu tanda ada kiriman. Semua penghuni tahu,” ujar seorang eks-napi Salemba.

Dengan mesin pemindai, CCTV, dan pagar berlapis, mustahil barang lolos tanpa restu oknum.

2. Intimidasi & Pemerasan Terstruktur

Modus ini bukan sekadar jual beli narkoba. Beberapa napi didorong, bahkan dipaksa, menjadi operator Apotek.

“Ammar itu mau bebas. Biasanya ada tekanan bayar supaya PB atau CB lancar. Uang setorannya harian. Belum lagi alasan sumbangan Maulid atau apapun, itu pemerasan,” ungkap sumber internal.

Rumor pemerasan mencapai Rp300 juta untuk kasus tertentu ikut beredar di kalangan penghuni Rutan.

3. Lingkaran Setan Narkoba: Dari Tangkap → Salur → Jual

Baca juga:  Lagi Asyik Ngamar dengan 6 Temannya, Vitalia Sesha ditangkap

Dugaan besar lain yang diungkap narasumber: sebagian narkoba yang dijual di Lapas diduga berasal dari tangkapan yang disalurkan kembali.

Di penjara, demand sangat tinggi. Pasar terkunci. Harga melonjak. Keuntungan maksimal.

“Ammar nggak mungkin berani buka. Ketahuan buka mulut, bisa digulung. Atau masuk Sel Tikus. Itu lebih horor dari yang orang bayangkan.”

Ammar Zoni: Pintu Masuk Membongkar Kartel Gelap?

Kriminolog Reza Indragiri Amriel menilai kasus Ammar memiliki kemiripan dengan posisi Richard Eliezer: seseorang di level bawah yang sebenarnya memegang potensi menjadi whistleblower untuk kasus yang lebih besar.

Di dalam Lapas, transaksi dilakukan oleh Tamping dan uang dialirkan ke Bankers (tahanan yang mengelola rekening). Petugas, menurut narasumber, mengambil bagian pada akhirnya.

Jika Ammar mau bersuara, ia akan menjadi tahanan berisiko tinggi.

Komnas HAM dan LPSK didesak turun tangan jika negara benar-benar ingin mengungkap jejaring peredaran gelap yang telah menjadi rahasia umum ini.

Kesimpulan Sementara

Kasus Ammar Zoni bukan hanya tentang seorang artis yang kembali terjerat narkoba. Ia membuka jendela gelap menuju “Tirani Rezim Cadong”—rezim yang memanfaatkan kekuasaan, kekerasan, dan pemerasan untuk memperkaya pihak-pihak tertentu, dari jalanan hingga balik sel.

Tidak mungkin narkoba tumbuh dari tanah penjara atau jatuh dari langit.
Jika barang bisa masuk, maka ada yang membuka pintu.

Bagian 1 ini adalah awal dari rangkaian liputan khusus yang akan membongkar:

-bagaimana sistem pemasyarakatan memproduksi kejahatan baru,

-siapa saja aktor yang mengeruk keuntungan,

-dan bagaimana rakyat kecil menjadi korban dari rantai pemiskinan yang tidak pernah berhenti.

Simak berita dan artikel lainnya di Google News