Mengapa Rakyat Bisa Marah Pada Penguasa

Firman Tendry Masengi, SH, Advokat / Aktivis 98

Dalam dunia yang penuh absurditas dan ketidakpastian, kemarahan rakyat pada penguasa bukanlah kebetulan belaka, melainkan sebuah manifestasi fundamental dari keputusasaan yang sudah lama tertindas dan dibungkam. Penguasa sering menjadi simbol penindasan, ketidakadilan, dan kebisuan terhadap penderitaan rakyat. Mereka membangun kerajaan di atas penderitaan manusia, mengorbankan keadilan demi kuasa dan keuntungan pribadi. Rakyat marah bukan tanpa sebab; mereka marah karena martabatnya diinjak, kebebasannya dicabut, dan suara nuraninya ditutup oleh tirani dan kemunafikan.

Rakyat marah karena kekuasaan kehilangan legitimasi moralnya. Penguasa yang menyalahgunakan kekuatan, menindas rakyat demi memperkaya diri, adalah penguasa yang kehilangan hak untuk memerintah. Ketika hukum menjadi alat untuk memperkuat ketidaksetaraan dan keadilan menjadi ilusi belaka, maka rakyat tidak lagi percaya. Mereka bangkit bukan untuk menghancurkan, tetapi untuk menuntut keadilan yang selama ini direnggut dan dipermainkan. Keadilan bukan sebuah kemewahan, tetapi kebutuhan mendasar untuk hidup bermartabat.

Rakyat marah karena realitas hidup mereka absurd dan tanpa makna. Hidup yang absurd adalah hidup tanpa tujuan yang jernih, penuh penderitaan tidak beralasan dan sikap acuh tak acuh penguasa terhadap penderitaan ini menjadi pemicu kemarahan. Penguasa yang membiarkan rakyat hidup dalam ketidakberdayaan dan keterasingan menegaskan absurditas eksistensi mereka.

Kemarahan rakyat adalah teriakan dari dalam kesunyian absurditas yang menuntut pengakuan dan perubahan.

Rakyat marah karena kebebasan mereka direnggut. Kebebasan bukanlah kemewahan, melainkan hak manusia untuk menentukan nasibnya sendiri. Penguasa yang mengekang kebebasan berbicara, berkumpul, dan berkreasi telah merusak inti eksistensi manusia. Ketika kebebasan terkekang, kemarahan muncul sebagai reaksi alami dan sah yang menolak tirani yang merenggut jiwa.

Namun, kami menolak kemarahan yang menjadi “kekerasan buta” yang melahap martabat manusia itu sendiri. Pemberontakan haruslah sadar—sadar akan nilai kemanusiaan, sadar akan batas moral, dan sadar bahwa pengulangan tirani hanya akan menambah penderitaan. Pemberontakan yang benar adalah pemberontakan yang membebaskan, bukan yang menghancurkan tanpa arah, yang membangun harapan bukan kehancuran.

Kami menuntut dari penguasa dan dari tiap orang yang menikmati kuasa:
“Dengarkan kemarahan rakyat!”
Jangan biarkan keheningan anda menjadi api yang membakar dunia lebih habis lagi. Kekuasaan sejati bukan tirani, tetapi pelayanan bagi keadilan, kebebasan, dan penghormatan pada martabat manusia.

Kemarahan rakyat adalah panggilan eksistensial, teriakan dari jurang ketidakadilan dan penindasan yang harus dijawab dengan keberanian dan integritas. Jika tidak, penguasa bukan hanya kehilangan tahta, tetapi juga kemanusiaannya.

Cita-cita kesejahteraan dan keadilan rakyat mengajak kita semua untuk melihat kemarahan ini dengan mata penuh pengertian dan hati yang berani. Kemarahan rakyat jadikan harapan.
Mari kita buka jalan masa depan yang penuh makna, keadilan, dan kebebasan sejati.

Kemarahan rakyat adalah suara kebenaran yang tak bisa dibungkam. Dengarkan. Bertindaklah. Karena di sinilah letak nasib kemanusiaan kita.

Simak berita dan artikel lainnya di Google News


Baca Juga