Oleh: Firman Tendry, SH, Advokat / Aktivis
Bila sejarah adalah guru yang jujur, maka batu diorite milik Hammurabi harusnya menjadi cermin bagi republik yang menua dalam kepalsuan. Sebab dari batu itu, dunia belajar bahwa keadilan, betapapun kejamnya, membutuhkan bentuk yang pasti. Sementara di Indonesia modern, hukum menjelma seperti kabut: samar, lentur, dan selalu menyesuaikan arah angin kekuasaan.
Mungkin terdengar absurd membandingkan Babilonia kuno dengan Republik Indonesia abad ke-21. Namun absurditas itu justru membuka pertanyaan paling dalam sila kedua Pancasila kita. “Kemanusiaan Indonesia”: Apakah kita benar-benar lebih beradab daripada bangsa yang hidup empat milenium silam?
Hammurabi dan Batu yang Tak Pernah Bohong
Sekitar 1750 tahun sebelum Masehi, Raja Hammurabi menegakkan 282 pasal hukum di atas batu diorite -Jokowi 316 UU & ribuan pasal- yang keras dan hitam yang dikenal sebagai Codex Hamurabi (Code of Hamurabi). Sebuah prasasti monumental yang menyatukan kekuasaan dan keadilan dalam bentuk yang tegas dan terbuka. Tidak ada notulensi rahasia, tidak ada pasal tersembunyi, tidak ada “penjelasan lanjutan” yang mengaburkan maksud.
Di sanalah Lex Talionis — “Mata ganti mata” — bukan sekadar semboyan balas dendam, tetapi simbol kepastian moral yang tak tergoyahkan. Michel Foucault (1975) pernah menulis dalam Surveiller et Punir, bahwa kekuasaan tanpa bentuk hukum yang jelas hanya akan melahirkan rasa takut, bukan rasa adil. Hammurabi memahami itu berabad-abad sebelum teori Foucault lahir.
Hukum di Babilonia tidak mengenal eufemisme. Ia kejam, tapi jujur. Ketika seorang bangsawan mencongkel mata orang lain, ia tahu bahwa matanya akan hilang pula. Ketika seorang budak melawan tuannya, ia tahu hukuman menantinya tanpa negosiasi. Brutal, iya. Tapi dalam kebrutalan itu ada kejujuran sistemik yang kini langka di negeri yang mengaku rechstaat demokratische.
Transparansi di Babilonia bukan hasil konferensi pers, melainkan prasasti yang bisa dibaca setiap warga. Diskriminasi diakui apa adanya — bukan disembunyikan dalam bahasa hukum yang manis tapi menipu. “Keadilan,” kata Plato, “adalah menempatkan segala sesuatu pada tempatnya.” Dan di Babilonia, tempat itu ditentukan oleh hukum, bukan oleh kepentingan.
Indonesia dan Keadilan yang Mengalir di Lumpur
Lompatan 3.800 tahun membawa kita pada Republik Indonesia di bawah Presiden Joko Widodo. Di era yang katanya reformis dan berlandaskan Nawacita, hukum justru kehilangan bentuknya. Ia bukan lagi batu yang menegaskan kebenaran, melainkan lumpur yang bisa diaduk oleh siapa pun yang memiliki cangkul kekuasaan. 10 tahun kekuasaan pemerintahan Jokowi, tak kurang lahir 316 UU, 8000 regulasi/peraturan di level Peraturan Presiden (Perpres), Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan Menteri (Permen) dengan puluhan ribuan pasal.
Reformasi hukum dijanjikan, tapi yang tumbuh adalah semak belukar regulasi: ribuan undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan presiden, dan turunannya yang tumpang tindih. Kita bukan lagi negara hukum, melainkan negara “peraturan”—di mana setiap niat baik dikubur oleh tumpukan teks hukum yang saling membatalkan.
Tidak ada lagi “Lex Talionis”, kini yang berlaku adalah Lex Flexibilis — _hukum yang lentur untuk yang berkuasa, dan kaku untuk yang lemah._ Seorang koruptor bisa tersenyum di balik sel yang mewah, sementara seorang buruh bisa membusuk di penjara karena menuntut upah layak. Ini bukan keadilan; ini ironi yang dipoles menjadi prosedur.
Kita hidup dalam sistem yang seolah-olah egaliter, tapi sebenarnya oligarkis. Lord Acton pernah menegaskan, “Kekuasaan cenderung korup, dan kekuasaan absolut korup secara absolut.” Tapi di republik ini, bahkan korupsi pun kini tampak seperti prestasi — selama ia dilakukan dengan dalih pembangunan.
Dan ketika lembaga seperti KPK, simbol harapan rakyat, justru dikebiri melalui revisi undang-undang, maka jelas bahwa negara ini tak lagi takut pada dosa hukum. Ia hanya takut pada kehilangan kontrol. Negara hadir bukan untuk melindungi, tapi untuk mengatur siapa yang boleh diproses dan siapa yang harus dibiarkan, Achille Mbembe dalam Necropolitics.
Paradoks Zaman: Dari Kepastian yang Kejam ke Ketidakpastian yang Suci
Ada paradoks yang menyakitkan di antara dua zaman ini. Hammurabi menegakkan hukum yang keras, tapi pasti. Jokowi menegakkan hukum yang lembut, tapi palsu.
Babilonia mengakui diskriminasi secara jujur, Indonesia menyembunyikannya dalam retorika kesetaraan.
Keadilan versi Hammurabi mungkin bisa mematahkan tulang, tapi tidak mempermainkan nurani. Keadilan versi republik modern tidak lagi menumpahkan darah — tapi meneteskan penghinaan, setiap hari. Ia menampar bukan dengan tangan, tapi dengan prosedur.
Di Babilonia, rakyat tahu kapan mereka salah dan kapan mereka dihukum. Di Indonesia, rakyat sering tak tahu apa kesalahannya, bahkan ketika sudah dihukum. Itulah mengapa sistem hukum kita bukan saja tak berkeadilan, tapi kejam dan brutal secara simbolik: ia membuat yang lemah kehilangan harapan, dan yang kuat kehilangan rasa malu.
Jean-Jacques Rousseau pernah memperingatkan, _“Manusia dilahirkan bebas, tetapi di mana-mana ia dirantai.”_ Di negeri ini, rantai itu bernama pasal karet, peraturan abu-abu, dan tafsir politik. Kita tidak sedang hidup dalam negara hukum, tapi dalam negara tafsir — di mana yang benar adalah apa yang disetujui oleh penguasa.
Batu dan File PDF
Batu Hammurabi masih tegak berdiri di Louvre, menantang waktu. Tapi hukum-hukum kita, meski tersimpan dalam server canggih, justru lebih rapuh dari pasir. Dokumen bisa diubah, tafsir bisa digeser, dan kepastian bisa ditunda hingga mati.
Batu itu diam, tapi jujur. Sedangkan hukum kita ribut, tapi menipu. Ia bicara dalam seminar, tapi bisu di pengadilan. Ia hidup di podium pejabat, tapi mati di meja rakyat. Bahkan cita-cita Nawacita kini terdengar seperti lelucon linguistik — sebuah janji moral yang terurai menjadi jargon kampanye.
Kita tak kekurangan pasal, tapi kehilangan etika. Tak kekurangan pengadilan, tapi kehilangan rasa keadilan. Sebab hukum bukan hanya soal norma, tapi keberanian moral untuk menegakkannya. Gustav Radbruch, filsuf hukum Jerman, menyebut tiga nilai utama hukum: keadilan, kepastian, dan kemanfaatan. Di Indonesia, ketiganya telah ditukar dengan kepentingan, kompromi, dan ketakutan.
Batu Bicara, Republik Diam
Hammurabi menulis hukum di batu agar generasi berikutnya tak bisa menghapusnya. Kita menulis hukum di kertas agar mudah diganti ketika kekuasaan berubah. Dan dalam setiap revisi undang-undang, yang direvisi bukan hanya teksnya — tapi nurani bangsa.
Kita boleh bangga pada demokrasi, tetapi tanpa keberanian moral, demokrasi hanyalah upacara legal dari kebohongan yang disetujui bersama. Hukum tidak akan pernah tegak jika hanya digunakan untuk menegur rakyat, tapi berlutut di hadapan oligarki.
Batu diorite milik Hammurabi tetap berdiri di museum, menjadi saksi bahwa peradaban dimulai ketika hukum berhenti menjadi alat kekuasaan. Mungkin sudah waktunya kita belajar dari batu: diam, keras, jujur, dan tak bisa dinegosiasikan.
Karena di negeri ini, keadilan sudah terlalu sering bicara, terlalu banyak diseminarkan, tapi terlalu jarang ditegakkan.
Dan mungkin, hanya batu yang kini masih tahu arti keadilan.