(Digubah dari puisi Sapardi Djoko Damono).
“1 Juni, hari ini aku membaca ulang pidatomu dengan sajak-sajak yang tak pernah selesai
aku mengingat namamu berulang-ulang
di pasar, di ruang kelas, di mimbar”
Sebuah Cerpen yang berkisah tentang tokoh fiksi bernama Prabowo—seorang lelaki tua mantan aktivis yang menyaksikan kehancuran Pancasila di tengah kekuasaan yang penuh simbol dan pengkhianatan.
—
“Pancasila Mati Di Bulan Juni”
Pagi belum benar-benar terang ketika Prabowo keluar dari rumah kayunya yang lapuk di tepi gang. Di tangannya, segelas kopi hitam mengepul. Ia duduk di bangku panjang warung kecil milik Bu Titik, menghadap ke pagar Sekolah Dasar Inpres yang berdiri sejak zaman Orde Baru.
Dari balik pagar itu, suara anak-anak kecil menggemakan lima sila Pancasila.
“Satu! Ketuhanan Yang Maha Esa!”
“Dua! Kemanusiaan yang adil dan beradab!”
Prabowo tersenyum kecil. Suara itu—lantang, hafal, dan tulus—mengingatkannya pada masa mudanya. Dulu, ia juga pernah seperti mereka: percaya penuh pada setiap kata dalam Pancasila. Ia pernah turun ke jalan, memimpin demonstrasi, membacakan manifesto Trisakti, dan berdiri di depan gas air mata demi “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”
Kini, puluhan tahun kemudian, ia hanya bisa duduk dan mendengarkan dari kejauhan. Ia tak lagi berorasi. Ia tak lagi berbaris. Yang tersisa darinya hanyalah ingatan—dan segelas kopi yang mulai dingin.
Sore itu, televisi di warung menayangkan pidato seorang pejabat tinggi. Latar merah putih, jas hitam, dan suara berat yang dilatih retorikanya. Prabowo menonton dalam diam. Di layar, sang pejabat bicara tentang pentingnya keadilan, gotong royong, dan nilai-nilai Pancasila.
Prabowo menyesap kopinya, lalu bergumam, “Pancasila… sekarang adalah dekorasi sering dipajang daripada dijalankan.”
Ia masih ingat betul bagaimana Bung Karno menyebut Pancasila sebagai philosophische grondslag, dasar filsafat bangsa. Ia juga mengingat istilah leitstar dinamis—bintang penuntun yang hidup. Tapi di zaman sekarang, pikirnya, Pancasila telah berubah bentuk: bukan lagi arah, melainkan alat.
Dulu, kata “adil” membuatnya bergetar. Kini, kata itu hanya muncul di baliho, di spanduk, di amplop bantuan, di pidato-pidato yang lupa rakyat.
Ia pernah percaya bahwa “kemanusiaan yang adil dan beradab” dan “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” bisa menjadi nyata. Tapi kini ia melihat:
Buruh dipecat demi efisiensi,
Petani digusur demi investasi,
Mahasiswa dibungkam demi stabilitas,
Dan hukum—seperti pisau—tajam ke rakyat, tumpul ke penguasa.
Seseorang di warung bertanya, “Masih percaya sama Pancasila, Wo?”
Prabowo tersenyum. “Percaya. Tapi bukan versi yang mereka umbar di televisi.”
“Maksudnya?”
“Versi yang hidup. Yang berpihak. Yang tidak berhenti di pidato. Versi yang membela si kecil, bukan menindasnya dengan kata-kata indah.”
Ia menatap ke luar warung. Langit sore menggantung merah muram.
Beberapa hari kemudian, di sekolah yang sama, anak-anak kembali melafalkan Pancasila. Tapi kali ini Prabowo berdiri lebih dekat ke pagar, memperhatikan wajah-wajah kecil yang berteriak lantang.
“Lima! Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia!”
Ia tersenyum—bukan karena bangga, tapi karena sedih. Ia tahu, suara itu akan tumbuh dalam sistem yang tak memedulikan makna. Akan ada anak yang menghafal Pancasila, lalu hidup dalam kemiskinan. Akan ada yang belajar tentang keadilan, tapi disuruh diam saat ketidakadilan datang.
Dan akan ada pejabat yang mengutip sila kelima… sambil menandatangani kontrak yang menggusur ribuan rumah rakyat.
Prabowo membatin, “Pancasila bukan untuk dihafal, tapi diperjuangkan. Adil bukan untuk dikutip, tapi dibela.”
Ia tahu, suatu hari nanti anak-anak itu akan bertanya:
“Mengapa kami diajarkan keadilan, tapi hidup dalam ketimpangan?”
Dan ketika hari itu tiba, Prabowo berharap masih ada satu-dua orang tua yang mau berkata jujur:
“Karena yang mengkhianati Pancasila bukan penjajah,
Tapi mereka yang paling sering mengucapkannya”
Firman Tendry Masengi.
Alumni GMNI