Advokat sekaligus Aktivis 98, Firman Tendry Masengi, menyoroti tajam kondisi penegakan hukum di era digital yang dinilainya berubah menjadi panggung sandiwara. Dalam tulisannya berjudul “Cyber Masquerade: Hikayat Fufufafa dan Bjorka”, Firman menggambarkan bagaimana aparat penegak hukum kini seperti kehilangan arah dalam menghadapi dunia maya yang kian kompleks.
“Kepolisian yang sejatinya benteng hukum terlihat seperti kehilangan kompas di tengah cyber masquerade—panggung di mana para aktor dunia maya menari dengan topeng-topeng anonim, sementara aparat sibuk menebak siapa di balik bayangan,” tulis Firman, Rabu (8/10/2025).
Menurut Firman, nama “Fufufafa” kini menjadi simbol dari kegagapan hukum digital. Entitas ini disebut tak terungkap, tak tersentuh, namun bergema di ruang publik layaknya “hantu dalam mesin” (ghost in the machine).
Sementara itu, aparat justru dengan bangga mengumumkan keberhasilan menangkap Bjorka, peretas yang konon membocorkan data rahasia negara. Padahal, kata Firman, penangkapan itu hanya menjadi teater kebanggaan palsu yang dirancang untuk menenangkan publik.
“Bjorka hanyalah satu dari banyak nama sandi yang dijadikan mitos penegakan digital. Ia hanyalah figuran yang dikorbankan demi menciptakan efek psikologis: techno-anxiety,” ujarnya.
Firman menyebut kondisi ini sebagai bentuk post-truth policing — di mana penegakan hukum tidak lagi berbasis pada rasionalitas dan due process of law, melainkan menjadi pertunjukan politik-psikologis untuk menjaga citra negara.
“Polisi lebih seperti narrative enforcer ketimbang law enforcer. Mereka menjaga ilusi keamanan, bukan substansi keadilan,” tegasnya.
Ia juga menyoroti kegagalan ideologis negara dalam ruang data, bukan sekadar kegagalan teknis. Fufufafa, menurutnya, adalah cermin dari lemahnya kedaulatan digital Indonesia—negara hanya berdaulat dalam narasi, bukan pada infrastruktur data yang seharusnya dijaga.
“Negara tangkas menghadapi yang menantang sistem keamanan, tapi diam terhadap yang menghinakan kemanusiaan dan punya jejaring kuasa,” kata Firman.
Dalam penutup tulisannya yang bernada satiris, Firman menyindir aparat yang lebih sibuk memainkan peran dalam drama digital ketimbang mengurai kebenaran.
“Negara mencari pelaku, tapi lupa mencari dirinya sendiri. Dalam teater besar penegakan hukum digital ini, polisi bukan lagi penyelidik—mereka hanyalah sutradara yang takut pada naskah yang mereka tulis sendiri.”
Firman bahkan menyebut, hal paling menyedihkan bagi kepolisian hari ini adalah kenyataan bahwa Bjorka merupakan korban salah tangkap.