Pembentukan Tim Transformasi Reformasi Polri oleh Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo menuai sorotan tajam. Tim yang dibentuk untuk mempercepat reformasi internal dan pemulihan kepercayaan publik ini justru dianggap sebagai langkah yang kontradiktif.
Menurut pengamat politik dan sosial Farid Idris, komposisi tim yang mayoritas diisi perwira aktif menimbulkan kesan “jeruk makan jeruk”. “Reformasi mestinya diawasi oleh pihak yang benar-benar independen, bukan orang-orang yang masih menjadi bagian dari institusi yang hendak direformasi,” tegas Farid, Rabu (24/9/2025)
Farid menilai, reformasi yang dikelola internal berpotensi menimbulkan konflik kepentingan. Mereka yang seharusnya dievaluasi justru ikut menentukan arah perubahan, sehingga akuntabilitas dan objektivitas bisa tergerus. “Publik akan sulit percaya bila yang mengoreksi adalah orang-orang yang akan dikoreksi,” ujarnya.
Kritik semakin menguat ketika publik mengetahui ada salah satu anggota tim yang pernah memiliki keterkaitan dengan kasus Ferdy Sambo, skandal besar yang sempat mengguncang Polri pada 2022. Bagi sebagian masyarakat, kehadiran figur yang masih menyisakan tanda tanya soal integritas menjadi sinyal buruk.
“Jika orang yang pernah disorot dalam kasus besar justru masuk tim reformasi, bagaimana publik bisa yakin bahwa ini bukan sekadar formalitas?” kata Farid. Ia menekankan pentingnya rekam jejak bersih bagi siapa pun yang duduk di tim tersebut agar proses reformasi benar-benar dipercaya.
Farid mendorong agar elemen masyarakat sipil, akademisi, dan pakar HAM dilibatkan secara signifikan. Keterlibatan sipil dinilai bukan hanya simbolis, tetapi menjadi kunci mengembalikan legitimasi. “Harus ada mata dan telinga publik di dalam tim. Tanpa itu, rekomendasi apa pun akan dipandang hanya sebagai perbaikan kosmetik,” tambahnya.
Menurutnya, tim reformasi yang kredibel setidaknya memiliki:
-Transparansi anggota dan mekanisme kerja.
-Mandat jelas dengan target waktu dan indikator keberhasilan.
-Pengawasan independen dari luar Polri.
Selain soal komposisi tim, gelombang desakan pergantian Kapolri Jenderal Listyo Sigit juga menguat. Beberapa kalangan menilai Listyo sudah terlalu lama menjabat dan dikaitkan dengan isu “geng Solo”, julukan bagi lingkaran kekuasaan yang dekat dengan mantan Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Farid menilai wajar jika publik menginginkan penyegaran. “Kapolri memegang peran strategis. Terlalu lama berkuasa tanpa reformasi nyata akan menimbulkan kelesuan dan ketidakpercayaan. Pergantian bisa menjadi momentum untuk menghadirkan pemimpin yang lebih independen,” jelasnya.
“Reformasi Polri tidak cukup hanya merombak struktur, tetapi juga membenahi kultur. Tanpa keberanian membuka diri pada pengawasan publik, reformasi bisa berhenti di atas kertas,” tegas Farid.