DPR Sepakat Bentuk Pansus Penyelesaian Konflik Agraria, PPJNA 98: Dasco Bela Tanah Rakyat yang Diserobot

Langkah penting diambil Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) setelah Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad menyatakan kesepakatan pembentukan Panitia Khusus (Pansus) Penyelesaian Konflik Agraria. Kesepakatan ini muncul setelah serangkaian dialog dengan kelompok tani, organisasi masyarakat sipil, dan kementerian terkait. Pansus direncanakan disahkan pada Sidang Paripurna 2 Oktober 2025, menandai titik baru dalam penanganan kasus sengketa lahan yang selama ini berlarut-larut.

“Ini bukan sekadar rapat atau rekomendasi biasa. Pansus akan menelusuri akar masalah, memanggil pihak-pihak yang terlibat, dan mendorong solusi permanen,” ujar Dasco dalam keterangannya.

Indonesia mencatat ribuan kasus sengketa lahan, mulai dari klaim tanah adat, penggusuran warga untuk pembangunan, hingga dugaan penguasaan lahan secara ilegal oleh korporasi dan oknum pemerintah. Ketidakjelasan status kepemilikan, tumpang tindih perizinan, dan lambannya proses administrasi menjadi pemicu utama.

Data Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menunjukkan, sepanjang 2024 saja, terdapat lebih dari 600 konflik agraria yang melibatkan lebih dari 100 ribu keluarga petani. Banyak dari mereka hidup dalam ketidakpastian, menghadapi intimidasi, dan kehilangan mata pencaharian.

Ketua Umum Perhimpunan Pergerakan Jejaring Nasional Aktivis 98 (PPJNA 98), Anto Kusumayuda, menilai langkah DPR—khususnya sikap Sufmi Dasco—sebagai wujud nyata pembelaan terhadap hak-hak masyarakat kecil.

“Kesepakatan pembentukan pansus ini menunjukkan keberpihakan pada rakyat. Tanah rakyat yang diserobot harus dikembalikan. Kami mengapresiasi keberanian Dasco dan DPR,” kata Anto. Menurutnya, pansus menjadi harapan baru bagi petani dan masyarakat adat yang selama ini berjuang melawan praktik perampasan lahan.

Baca juga:  Punya Semangat Sriwijaya dan Majapahit, PPJNA 98: Prabowo Layak Menjadi Presiden Indonesia

Pansus diharapkan tak hanya berhenti pada tahap investigasi, tetapi juga menghasilkan kebijakan strategis. Beberapa agenda utama yang sudah disusun antara lain:

Menghimpun laporan masyarakat, peta kepemilikan, hingga dokumen sengketa dari seluruh provinsi. Program One Map Policy akan menjadi rujukan utama agar data tidak tumpang tindih.

Pemanggilan dan Pemeriksaan Pihak Terkait
Mulai dari Kementerian ATR/BPN, pemerintah daerah, aparat keamanan, hingga perusahaan swasta dan bank yang diduga terlibat pelelangan tanah.

Rekomendasi Kebijakan Reforma Agraria
Menyusun peta jalan pembentukan Badan Pelaksana Reforma Agraria yang selama ini didesak banyak kelompok tani.

Pemulihan Hak Korban
Mendorong pengembalian tanah kepada pemilik sah atau pemberian ganti rugi yang adil.

Tantangan yang Menanti

Meski mendapat dukungan luas, pansus menghadapi rintangan besar:

Kepentingan Ekonomi dan Politik – Banyak kasus melibatkan perusahaan besar dengan kekuatan finansial dan jaringan politik yang kuat.

Data yang Tumpang Tindih – Sertifikat ganda dan peta yang tidak sinkron berpotensi mempersulit proses.

Penegakan Hukum Lemah – Rekomendasi pansus tak akan berarti tanpa tindakan hukum tegas.

Baca juga:  Aktivis Gerakan Mahasiswa Yogyakarta 98: Penghakiman Sepihak Tempo terhadap Dasco Rusak Kredibilitas Pers

Risiko Politisasi – Ada kekhawatiran pansus dimanfaatkan sebagai panggung politik menjelang pemilu.

Bagi masyarakat korban, pansus ini adalah sinar di ujung terowongan. Mereka menginginkan:

Kepastian Hukum dan Perlindungan – Sertifikat kepemilikan yang sah serta jaminan bebas intimidasi.

Restitusi yang Adil – Pengembalian tanah atau kompensasi setimpal.

Perbaikan Sistem Jangka Panjang – Integrasi kebijakan pusat-daerah agar konflik serupa tidak terulang.

Anto menekankan bahwa pansus hanyalah awal dari proses panjang. Dibutuhkan komitmen lintas kementerian, integrasi kebijakan satu peta, serta pembentukan lembaga pelaksana reforma agraria dengan kewenangan kuat.

“Pansus harus menjadi katalisator. Jika hanya berhenti pada rekomendasi tanpa tindak lanjut, harapan rakyat akan kembali pupus,” ujarnya.

Pembentukan Pansus Penyelesaian Konflik Agraria menandai momentum penting dalam sejarah politik agraria Indonesia. Dukungan PPJNA 98 terhadap langkah Sufmi Dasco Ahmad menjadi sinyal kuat bahwa publik menginginkan keadilan bagi rakyat kecil yang tanahnya dirampas.

Keberhasilan pansus akan diukur bukan dari banyaknya rapat, melainkan dari pengembalian hak tanah rakyat dan kebijakan konkret yang lahir dari proses ini. Kini, masyarakat menunggu: apakah DPR benar-benar akan menuntaskan janji besar ini, atau hanya menambah daftar panjang wacana yang tak pernah tuntas.

Simak berita dan artikel lainnya di Google News