Nikel di Raja Ampat: Antara Surga Bahari dan Tambang Masa Depan

Oleh: Rokhmat Widodo, pengamat politik

Raja Ampat selama ini dikenal sebagai permata Indonesia—gugusan pulau di Papua Barat yang memesona dunia dengan keindahan lautnya. Air sebening kaca, pulau-pulau karst yang menjulang, dan terumbu karang yang menjadi rumah ribuan spesies menjadikannya laboratorium alam tak tertandingi. Penelitian mencatat Raja Ampat sebagai pusat segitiga karang dunia, kawasan dengan keanekaragaman hayati laut tertinggi di planet ini. Namun di balik keelokan itu, muncul isu yang menimbulkan dilema besar: potensi tambang nikel di tanah Papua, termasuk di sekitar wilayah Raja Ampat.

Nikel, logam yang dulu hanya dikenal sebagai bahan campuran baja, kini menjadi primadona di era transisi energi. Dunia yang tengah mengejar target net zero emission menaruh harapan besar pada kendaraan listrik, dan baterai kendaraan itu membutuhkan nikel dalam jumlah besar. Indonesia memiliki cadangan nikel terbesar di dunia—sekitar 21 juta ton atau sepertiga cadangan global. Selama ini Sulawesi dan Maluku menjadi lumbung utama, namun Papua mulai disebut sebagai wilayah dengan cadangan besar yang belum tergarap.

Paradoks muncul ketika kepentingan global itu bersinggungan dengan Raja Ampat. Wilayah ini sudah membuktikan bahwa ekowisata dapat menjadi sumber ekonomi nyata. Data Dinas Pariwisata Papua Barat menunjukkan sebelum pandemi, jumlah wisatawan ke Raja Ampat menembus 30 ribu orang per tahun dan menghasilkan pendapatan daerah sekitar Rp100 miliar. Angka itu belum termasuk perputaran uang dari homestay, jasa transportasi, pemandu wisata, hingga kerajinan yang langsung dinikmati masyarakat lokal. Kajian WWF bahkan menyebut nilai ekonomi jangka panjang dari konservasi laut Raja Ampat jauh lebih tinggi dibandingkan jika wilayah itu dibuka untuk tambang.

Baca juga:  Tambang Nikel Purnawirawan Jenderal Polisi & Pejabat Sultra di Kabaena: Warga Tersisih, Pulau Hancur dan Negara Diam

Di sisi lain, industri nikel memang menggoda. Ekspor nikel Indonesia pada 2022 tercatat lebih dari US$33 miliar, melonjak drastis sejak pemerintah melarang ekspor mentah dan mendorong hilirisasi. Namun keuntungan besar itu lebih sering terkonsentrasi pada perusahaan dan pemerintah pusat, sementara masyarakat sekitar tambang kerap hanya menanggung kerusakan lingkungan. Pengalaman Morowali, Konawe, dan Halmahera menjadi cermin: industrialisasi berbasis tambang nikel meninggalkan jejak polusi, konflik agraria, dan masalah sosial yang kompleks.

Bagi masyarakat adat Raja Ampat, laut dan hutan bukan semata ruang ekonomi, melainkan warisan leluhur yang harus dijaga. Konsep tanah ulayat menjadikan alam bagian dari identitas, bukan sekadar komoditas. Karena itu, suara penolakan mereka terhadap rencana tambang kerap terdengar lantang. “Kami bukan menolak pembangunan, tapi jangan rusak laut kami. Laut adalah dapur hidup dan warisan leluhur kami,” ungkap seorang tokoh adat dalam sebuah forum masyarakat. Bagi mereka, kehilangan laut berarti kehilangan kehidupan; kehilangan tanah berarti kehilangan masa depan.

Di sisi lain, jargon pembangunan terus digaungkan. Investor asing datang membawa janji lapangan kerja dan industrialisasi, sementara pemerintah pusat kerap memandang eksploitasi sumber daya alam sebagai jalan cepat pertumbuhan. Namun sejarah panjang Indonesia memberi pelajaran pahit: dari Freeport di Timika hingga tambang batubara di Kalimantan, keuntungan yang dijanjikan sering tak sebanding dengan kerusakan yang ditinggalkan. Raja Ampat kini berada di persimpangan yang sama.

Baca juga:  Tabir Asap Raja Ampat, Hendrajit Ingatkan Publik tak Terjebak Tudingan Asing tanpa Lihat Historis secara Utuh

Ironinya, dunia yang berbicara tentang energi hijau justru berpotensi merusak ekosistem hijau paling murni. Mobil listrik di Eropa mungkin tampak ramah lingkungan, tetapi bahan bakunya bisa berasal dari tanah yang porak-poranda. Inilah paradoks transisi energi: demi menciptakan teknologi hijau, lingkungan di negara produsen justru dikorbankan. Raja Ampat berisiko menjadi korban paling tragis dari paradoks itu.

Jalan tengah sebenarnya mungkin ditempuh, meski tidak mudah. Kawasan konservasi Raja Ampat harus diberi perlindungan hukum permanen sebagai zona larangan tambang. Pemerintah dapat memperkuat ekonomi masyarakat melalui pariwisata, riset kelautan, dan industri kreatif berkelanjutan. Hilirisasi nikel tetap dapat dilanjutkan di wilayah lain yang secara ekologis tidak terlalu rentan, namun Raja Ampat harus dikecualikan. Yang tak kalah penting, masyarakat adat wajib dilibatkan penuh dalam setiap keputusan. Tanpa persetujuan mereka, pembangunan hanya akan memicu konflik dan penolakan.

Raja Ampat adalah simbol bahwa Indonesia masih memiliki surga yang murni. Nilainya jauh melampaui cadangan logam di perut bumi. Di tempat ini, manusia belajar bahwa bumi bukan hanya untuk dieksploitasi, melainkan untuk dijaga. Jika surga ini dikorbankan demi keuntungan sesaat, sejarah akan mencatat bangsa ini menjual permatanya sendiri. Nikel memang logam masa depan, tetapi Raja Ampat adalah masa depan umat manusia. Menjaga Raja Ampat berarti menjaga kehidupan—bukan hanya bagi Papua, tetapi juga bagi dunia yang sedang mencari harapan di tengah krisis lingkungan.

Simak berita dan artikel lainnya di Google News