Oleh: M Yunus Hanis Syam, Pengamat politik dan sosial
Di panggung politik, kadang yang lebih menghibur dari sandiwara teatrikal adalah permainan kucing-kucingan — yang satu pura-pura mengejar, yang lain pura-pura lari, dan penonton? Penonton diminta tepuk tangan sambil menebak siapa yang benar-benar kejar dan siapa yang sengaja mengulur waktu supaya tak perlu menyerahkan ikan. Rencana RUU Perampasan Aset yang kini ‘bersarang’ di meja DPR persis seperti itu: pertunjukan panjang yang lucu sekaligus menyakitkan, di mana logika hukum dan rasa keadilan sering kali jadi properti dekorasi panggung.
Rakyat diberi tontonan. Di atas kertas, RUU Perampasan Aset tampak sederhana: aset yang diperoleh tanpa jelas asalnya — yang tidak halal bagi wakil rakyat atau penyelenggara negara — berhak disita dan dikembalikan untuk publik. Pada praktiknya, ide itu seharusnya membuat perut tak enak bagi siapa pun yang menumpuk harta dari ambang abu-abu kekuasaan. Namun tontonannya bukan tentang menegakkan prinsip, melainkan tentang bagaimana elite menata agar alat penjinak tetap berada di laci yang terkunci.
Bagaimana cara mengakali undang-undang yang nampak populer ini? Pertama, kelamaan membaca — bukan karena butuh ilmu, melainkan karena waktu adalah pelicin paling manjur. Perpanjangan masa pembahasan, rujukan ke pansus yang tak kunjung laporan, argumentasi prosedural yang seperti labirin: semua itu adalah wangi dupa birokrasi yang menenangkan hati mereka yang ingin menunda. Dalam bahasa sehari-hari: buat agar rakyat lelah menunggu, lalu lupa marah.
Kedua, mengaburkan ukuran: definisi “tidak halal” mengandung jurang yang bisa diisi oleh juragan hukum. Saat definisi dibiarkan samar, maka ruang bagi negosiasi, kompromi, dan—lebih penting lagi—penukaran bunga politik menjadi sangat luas. Ketika hukum tak tegas, moral jadi barang dagangan tawar-menawar.
Kucing yang berpura-pura kaget: teatrikal protes dan klaim kepedulian
Tak kalah menarik: ada adegan protes berlabel. Beberapa politisi berteriak soal “keadilan” demi menarik lampu sorot publik; di luar kamera, mereka berbisik pada rekan koalisi tentang “perlu kompromi supaya stabilitas terjaga.” Nada protes kadang dipentaskan layaknya musik latar, sementara naskah aslinya sudah diketik ulang di ruang lobi.
Ini bukan hanya soal pengkhianatan terhadap teks RUU—ini soal pengkhianatan terhadap ritme politik yang sehat. Kalau setiap kali publik menuntut tindakan tegas, responsnya adalah orkestra prosedural yang mengalun tembak, maka kita punya sebuah sistem yang lebih mahir memainkan drama daripada menegakkan hukum.
Simulasi: dialog imajiner di ruang rapat
Anggaplah sebuah ruang rapat di DPR. Seorang ketua fraksi menumpuk berkas sambil tersenyum:
— “Kita tidak menolak RUU, hanya ingin memastikan semua pihak disentuh,” katanya.
— “Sentuh sampai apa? Sampai hati rakyat atau sampai kantong kita aman?” tanyanya, disambut tawa kecil.
— “Yang penting kesepakatan nasional, jangan gegabah,” jawabnya.
— “Kesepakatan nasional itu kadang berarti membiarkan beberapa aset ‘mengendap’ sampai pemilu lewat,” bisik yang lain.
Dialog ini — sengaja hiperbolik — menampilkan mekanik syahwat politik: memastikan setiap kemungkinan kebocoran disalurkan ke pintu yang bisa dikunci kembali.
Keterlambatan pengesahan RUU bukan soal administratif semata. Ia mengirim pesan struktural ke masyarakat: tindakan yang merampas harta hasil praktik abu-abu bukan prioritas. Efeknya dua arah: publik yang lelah menjadi apatis; aktor jahat jadi lebih berani karena memperkirakan risiko kecil. Jangka panjangnya, normalisasi kebiasaan meraup aset tanpa akuntabilitas mengikis kepercayaan terhadap lembaga.
Taktik kambuhan: ambivalensi legislasi
Ada juga strategi yang halus: menempatkan klausul-klausul yang seolah memperkuat RUU tetapi dalam praktik menguranginya. Misalnya, memasukkan syarat pembuktian yang berat, atau mempersempit subjek yang dapat diaudit. Ini membuat RUU tampak heroik di judul berita, tetapi lemah saat eksekusi. Akhirnya RUU ada—untuk dipuji tetapi tak membuat takut.
Secara politik, siapa yang menikmati permainan ini jelas: mereka yang ingin menjaga aset tetap personal. Juga, para perencana karier politik yang mengutamakan stabilitas jangka pendek—artinya, kompromi demi koalisi, demi posisi, demi peluang pilkada, dan seterusnya. Di sisi lain, kelompok aktivis antikorupsi, pengawas publik, dan warga yang berharap negara punya gigi hukum yang tajam adalah pihak kehilangan ruang.
Siasat oposisi? Oposisi kadang ikut bermain juga — menunda dengan retorika setengah-hati atau memanfaatkan isu untuk kepentingan kampanye, bukan reformasi substantif. Jadilah politik lebih mirip pertunjukan teater penuh bidak yang bergerak sesuai naskah yang tertulis di balik tirai.
Bayangkan sebuah negara di mana undang-undang anti-korupsi disusun seperti tata krama: indah di atas kertas, tak berdaya ketika diuji amoralitas. Bayangkan para wakil yang khawatir dipaksa menyerahkan properti bermakna bagi mereka, lalu memilih strategi yang lebih halus daripada menentang: mereka memilih untuk mengulur, mengaburkan, dan menampakkan kepedulian. Itu komedi gelap: kita disuguhi sandiwara, sementara tanggung jawab dibawa pulang.
Rekomendasi praktis untuk publik yang tak ingin jadi penonton pasif
Jika RUU ini ingin lebih dari sekadar judul sensasional, publik harus melakukan tiga hal nyata:
-Menjaga perhatian publik: Jangan biarkan isu hangat padam karena drama baru. Tekan media dan aktor politik untuk menuntaskan pembahasan secara transparan.
-Mendesak klausul implementasi: RUU harus menyertakan prosedur penyitaan yang jelas, mekanisme pembuktian yang feasible (bukan beban mustahil), dan lembaga pengawasan independen.
-Menuntut akuntabilitas politik: Wakil rakyat yang menunda karena konflik kepentingan harus diberi sorotan—karena masalahnya bukan sekadar hukum, tetapi moral publik.
Permainan kucing-kucingan ini menyisakan aroma yang familiar: ketika peluang reformasi legal muncul, selalu ada arsitek-arsitek penunda yang menata ulang panggung agar cerita tetap nyaman bagi mereka. Rakyat yang cerdik tak perlu berteriak lebih keras; cukup berpikir, bertanya, dan menuntut agar hukum tidak lagi menjadi properti yang bisa disimpan di lemari es sampai pilkada lewat.
Jika kita menghendaki republik yang sehat, kita tidak perlu lagi menjadi penonton yang terhibur oleh drama yang sama. Kita perlu menjadi penilai yang mencatat setiap adegan penundaan, dan menuntut agar hukum diakhiri bukan dengan tepuk tangan, melainkan dengan tindakan: pengesahan yang tegas, implementasi yang jelas, dan akuntabilitas tanpa kompromi.
Karena dalam negeri yang adil, main kucing-kucingan seharusnya hanya berlaku untuk anak kecil di taman — bukan untuk undang-undang yang mengatur harta rakyat.