Oleh: M Yunus Hanis Syam, Pemerhati Politik dan Sosial
Di negeri bernama Negara Sandiwara, demokrasi tak lagi sebuah janji suci, melainkan sinetron panjang dengan rating tinggi. Para elite politik tampil bak aktor kawakan: wajah penuh ekspresi, pidato penuh drama, dan air mata buatan yang mengalir seolah-olah lahir dari kepedihan bangsa. Mereka begitu piawai, penonton sering lupa bahwa yang mereka tonton hanyalah panggung hiburan berbiaya APBN.
Musim pemilu adalah babak favorit para penulis naskah. Dari spanduk hingga baliho, semua menampilkan tokoh pahlawan rakyat dengan slogan-slogan futuristis: “Kemakmuran untuk Semua,” “Transformasi Besar Bangsa,” “Digitalisasi Desa 5.0.” Namun, begitu kursi empuk diduduki, janji tinggal kenangan. Rakyat hanya mendapat potongan adegan flashback saat debat kandidat. Adegan janji yang kini jadi bahan meme.
Di belakang panggung, ada kru yang jarang terlihat: para konsultan dan broker kebijakan. Mereka bukan pemeran utama, tapi mereka menentukan alur cerita. Mereka menulis dialog, menyiapkan skandal, bahkan menentukan kapan sang tokoh perlu meneteskan air mata. Ini adalah seni peran kelas tinggi yang tak dipelajari di sekolah teater mana pun.
Tak lengkap drama tanpa konflik. Di parlemen, pertengkaran jadi menu harian. Saling tuduh, banting meja, teriak-teriakan; semua dilakukan demi rating. Kamera menyorot wajah marah penuh urat leher. Namun, begitu lampu mati, mereka bersulang kopi di lounge eksklusif, merundingkan proyek yang sama-sama menguntungkan. Pertengkaran hanyalah gimmick agar rakyat percaya masih ada “perbedaan ideologi”.
Rakyat pun terhanyut, memilih kubu masing-masing seperti suporter sepak bola. Media sosial mendidih, debat warung kopi panas. Padahal, di atas, para aktor menikmati keuntungan dari perpecahan itu: lebih mudah mengendalikan penonton yang sibuk saling caci.
Setiap skandal adalah episode spesial. Dari korupsi bantuan sosial hingga permainan proyek infrastruktur, publik disuguhi cliffhanger: “Apakah sang pejabat akan ditangkap KPK? Apakah ada aktor tambahan yang terlibat?” Berita investigasi bak trailer film blockbuster. Namun akhir ceritanya bisa ditebak: hukuman ringan, drama permintaan maaf, lalu kembali ke panggung dengan kostum baru.
Lucunya, rakyat masih menunggu sekuel. Trending topic setiap minggu jadi hiburan massal, seolah-olah kita menonton reality show internasional. Kita marah, kita tertawa, kita share—dan rating terus naik.
Semua ini tak akan terjadi tanpa penonton yang loyal. Rakyat membeli tiket dengan pajak, listrik, dan harga kebutuhan pokok. Tak ada tombol “skip intro,” tak ada cara mematikan saluran. Kita ikut marah di media sosial, tetapi jarang mengubah kanal.
Diam-diam, kita menikmatinya. Kita menunggu adegan plot twist: siapa berkhianat, siapa bersandiwara, siapa tiba-tiba rehat dengan alasan keluarga. Kita memaki, namun tak beranjak dari kursi. Kita bahkan hafal dialog klise para pejabat: “Akan kami kaji,” “Demi kepentingan bangsa,” atau “Ini hanyalah kesalahpahaman administratif.”
Bila rakyat terus jadi penonton pasif, panggung akan tetap dikuasai aktor lama dengan alur cerita yang sama: janji—bising—lupa. Kita harus belajar jadi penulis naskah sendiri.
Bagaimana caranya?
Berani Bersikap: Gunakan hak suara bukan hanya di bilik pemilu, tetapi dalam diskusi publik, forum warga, dan aksi kolektif.
Negara yang sehat bukanlah panggung drama, melainkan ruang kerja bersama. Selama kita rela membeli tiket, para aktor akan terus bertepuk tangan. Pertanyaannya, mau sampai kapan kita menjadi penonton setia dari serial Negara Sandiwara?