Consortium Fraudis: Ketika Negara Ikut Menyembunyikan Kebenaran

Oleh: Firman Tendry Masengi

Kasus dugaan ijazah palsu Presiden Joko Widodo tidak lagi bisa dipandang sebagai isu personal, hoaks politik, atau sekadar kekeliruan administratif. Ketika aparat hukum, lembaga pendidikan, dan institusi negara serempak diam, menolak transparansi, bahkan membalikkan arah hukum untuk membungkam warga masyarakat—yang kita saksikan bukan sekadar kegagalan hukum, melainkan bekerjanya Consortium Fraudis: kongsi kebohongan yang terstruktur, sistematis, dan masif.

Dalam istilah klasik hukum Latin, Consortium Fraudis mengacu pada kolusi kolektif untuk menyusun dan mempertahankan kebohongan demi kepentingan bersama. Ia adalah wujud dari kebusukan negara yang terorganisir.

Lembaga-lembaga seperti KPU, Kemendikbud, dan perguruan tinggi bersikeras mengakui dokumen yang tak pernah dibuka ke publik. Sementara itu, kepolisian justru lebih aktif memproses “rakyat” yang bertanya ketimbang menyelidiki kebenaran laporan. Media arus utama ikut mengunci narasi, menjadikan kritik atas dokumen publik sebagai tindak kriminal. Semua ini mengindikasikan satu hal: ada konsorsium kekuasaan yang sedang melindungi narasi besar, meski harus mengorbankan integritas hukum.

Kebenaran Yang Dikeroyok

Kasus ini mencerminkan apa yang pernah diperingatkan Hannah Arendt: “Kebohongan politik bukan sekadar menyesatkan; ia membunuh orientasi manusia terhadap kenyataan.” Dalam konteks ini, ijazah bukan sekadar selembar kertas; ia adalah penentu sah atau tidaknya seseorang menjadi presiden. Maka ketika keabsahannya diragukan, jawaban seharusnya adalah verifikasi terbuka, bukan represi terhadap rakyat yang bertanya.

Sayangnya, yang terjadi justru sebaliknya. Pertanyaan dibalas kriminalisasi. Klarifikasi digantikan pengalihan isu. Transparansi ditolak mentah-mentah dengan alasan prosedural. Inilah logika simulacrum yang diuraikan Jean Baudrillard: “Yang palsu menjadi lebih sahih daripada yang nyata.”

Negara Hukum atau Negara Kepalsuan?

Pertanyaan utama hari ini: Apakah Indonesia masih negara hukum jika rakyat yang mempertanyakan keabsahan dokumen pejabat justru dikriminalisasi? Atau apakah kita sudah menjelma menjadi negara kepalsuan yang menjadikan hukum hanya sebagai topeng dari kehendak kekuasaan?

Gustav Radbruch, filsuf hukum Jerman, mengingatkan bahwa hukum yang bertentangan dengan keadilan bukanlah hukum. Maka jika negara memilih melindungi kebohongan daripada membuka fakta, maka seluruh legitimasi hukum itu pun gugur. Dalam logika itulah, pertanyaan publik atas ijazah Jokowi bukan delik. Justru sebaliknya, menjadi hak dan kewajiban warga dalam demokrasi.

Simulasi Demokrasi, Realitas Otoritarianisme

Apa yang kita saksikan hari ini adalah negara yang dengan sengaja mempertahankan kebohongan melalui wajah legalitas. Plato pernah menyatakan, “Ketika penguasa tidak lagi tunduk pada kebenaran, maka hukum hanyalah alat tirani.” Demokrasi & Hukum Indonesia hari ini sedang berada di tepi jurang itu.

Dan ketika kebohongan menjadi bagian dari sistem, maka setiap orang yang membela kebenaran akan dianggap ancaman.

Rakyat Tidak Boleh Diam

Kita tidak bisa berharap negara akan memperbaiki dirinya sendiri. Consortium Fraudis hanya bisa dihentikan melalui keberanian publik. Melalui tekanan akademik, media independen, gugatan hukum warga negara, dan solidaritas sipil yang melampaui rasa takut.

Sebagaimana Noam Chomsky tegaskan: “Jika kebebasan berbicara hanya berlaku bagi yang kita sukai, maka itu bukan kebebasan.” Maka setiap kriminalisasi terhadap suara publik adalah penghinaan terhadap konstitusi itu sendiri.

Jika negara enggan membuka kebenaran, maka sejarah akan mencatat bahwa yang merusak republik ini bukan sekadar pejabat yang memalsukan ijazahnya, melainkan semua institusi yang memilih diam dan ikut menutupi kebohongan.

Dan dalam republik yang sehat, bertanya bukanlah kejahatan.

=====
Tentang Penulis:
Firman Tendry Masengi adalah Advokqt/aktivis/pengamat hukum, aktif menulis tentang hukum, demokrasi, dan perlawanan sipil.

Simak berita dan artikel lainnya di Google News