Memasuki usia 80 tahun kemerdekaan Republik Indonesia, para pengelola zakat dari berbagai lembaga nasional berkumpul dalam sebuah diskusi penting untuk merefleksikan arah dan masa depan gerakan zakat di Tanah Air. Diskusi yang diinisiasi oleh Inisiatif Zakat Indonesia (IZI) dan Akademizi ini juga Didukung sejumlah pihak seperti, Direktorat Pemberdayaan Zakat dan Wakaf Kementrian Agama RI, Baznas RI, Forum Zakat (FOZ), POROZ, Syarikat Amil Indonesia (Syamil) serta Ahli Filantropi dan Guru Besar Sejarah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Diskusi ini juga menghadirkan tokoh-tokoh strategis dari lembaga zakat, asosiasi pengelola zakat, asosiasi amil zakat, Kementerian Agama, Baznas hingga akademisi.
Direktur IZI, Wildhan Dewayana, membuka diskusi dengan menegaskan bahwa zakat bukan sekadar kewajiban ritual, melainkan salah satu rukun Islam yang memiliki dimensi sosial dan ekonomi yang kuat. Dalam praktiknya, zakat melibatkan dua pilar penting: kompetensi dan integritas para amil (pengelola zakat).
“Zakat mengelola instrumen syariat. Maka para amil tidak hanya dituntut cerdas secara manajerial, tetapi juga berakhlak mulia. Ini bukan hanya soal tata kelola, tetapi juga keteladanan,” ujar Wildhan dalam Forum Literasi Filantropi Vol. 31 bertemakan “Quo Vadis 80 Tahun Merdeka: Mau Dibawa Kemana Gerakan Zakat Indonesia?” yang diselenggarakan Akademizi, Kamis (24/7/2025).
Namun, tantangan lainnya adalah kesejahteraan amil. “Mereka bekerja penuh waktu. Maka sudah seharusnya negara menjamin kesejahteraan mereka secara layak. Jika tidak, sektor zakat takkan mampu menarik talenta terbaik bangsa,” tegasnya.
Data menunjukkan ada lebih dari 700 lembaga pengelola zakat di Indonesia. Sayangnya, penyebarannya tidak merata, mayoritas terpusat di Pulau Jawa. Tantangannya bukan hanya pemerataan kelembagaan, tetapi juga bagaimana menjadikan jaringan tersebut sebagai kekuatan kolektif nasional.
Direktur Akademizi, Nana Sudiana mengatakan, zakat harus menjadi solusi konkret pengentasan kemiskinan dan dibutuhkan yang inovatif, kolaboratif serta adaptif terhadap teknologi. Tak kalah penting, dibutuhkan harmonisasi regulasi zakat nasional agar tidak terjadi tumpang tindih dan disorientasi.
“Ada judicial review terhadap UU Zakat. Itu mencerminkan adanya perbedaan cara pandang mendasar dalam pengelolaan zakat. Kita butuh narasi besar yang menyatukan semua pihak bahwa zakat adalah titipan ilahi untuk kesejahteraan umat,” tegas Nana.
Direktur Pemberdayaan Zakat dan Wakaf Kementerian Agama, Prof. Waryono Abdul Ghofur, mengulas bagaimana zakat hadir sejak awal kemerdekaan. Tahun 1951, Departemen Agama sudah mengeluarkan edaran tentang zakat fitrah. Lalu 1960-an muncul wacana pembentukan UU Zakat, meski baru bisa disahkan puluhan tahun kemudian.
“Bahkan pada 1968, DKI Jakarta telah memiliki Bazis yang menjadi prototipe pengelolaan zakat daerah. Ini perjuangan panjang. Dan saat ini, kita berada di titik krusial untuk menentukan arah baru gerakan zakat nasional,” ujar Prof Waryono.
Ia menekankan, zakat telah masuk dalam Asta Cita Presiden Prabowo, khususnya pada poin penguatan dana syariah. Namun tantangannya bukan hanya soal regulasi, tapi juga kepercayaan publik. “Jika masyarakat tidak percaya pada lembaga zakat, maka dana zakat tidak akan pernah maksimal. Maka, membangun integritas dan akuntabilitas menjadi sangat penting,” tegasnya.
Sementara itu, Direktur Kajian dan Pengembangan ZIS-DSKL BAZNAS RI Hasbi Zainal mengenalkan konsep “Zakatnomic” yang berpijak pada empat pilar: keimanan, produktivitas, ekonomi halal, serta pengelolaan zakat-infak-sedekah-wakaf. “Zakat bukan hanya ibadah, tetapi instrumen pembangunan yang harus menjadi bagian dari kebijakan nasional,” ujarnya.
Wakil Ketua FOZ, Dwi Iqbal Noviawan, mengingatkan bahwa zakat harus merespons dinamika global. “Visi 2030 Arab Saudi, krisis Palestina, Ukraina, perubahan geopolitik — semuanya berdampak pada arah peradaban dunia. Indonesia tidak boleh pasif. Gerakan zakat harus menjadi bagian dari solusi global,” ujarnya.
Ia juga menyinggung lahirnya generasi baru yang instan dan menuntut efisiensi tinggi. Maka, cara-cara konvensional dalam penghimpunan zakat harus dievaluasi. “Market tidak lagi merespons booth zakat di pinggir jalan. Kita butuh pendekatan digital, berbasis data, dan user-centric,” katanya.
Ketua Bidang Advokasi Syarikat Amil Zakat Indonesia (Syami), Sunarto Zulkifli, menyoroti pentingnya pengakuan formal terhadap profesi amil zakat. “Harus masuk dalam Klasifikasi Baku Jabatan Indonesia (KBJI),” tegasnya.
Menurutnya, amil zakat saat ini bekerja tanpa jaminan sosial memadai, distribusinya tidak merata (terkonsentrasi di Jawa), dan belum punya karier yang jelas. Ia juga menekankan perlunya pelatihan, sertifikasi, serta sistem layanan publik yang prima berbasis service quality.
“Jika amil tidak disiapkan dengan baik, maka lembaga zakat akan sulit berkembang. Apalagi jika ingin masuk dalam program pembangunan seperti SDGs, kita butuh amil yang kompeten lintas disiplin,” ujar Sunarto.
Menutup diskusi, Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof. Amelia Fauzia, menggarisbawahi pentingnya ekosistem filantropi Islam sebagai mitra negara. “Gerakan zakat adalah bagian dari masyarakat sipil. Maka perlu inovasi, literasi, dan kesadaran bahwa zakat bukan sekadar pengumpulan dana, tapi juga gerakan sosial,” katanya.
Ia menyoroti peran pemimpin perempuan, sektor pendidikan zakat, hingga tantangan transformasi pascareformasi. Menurutnya, zakat harus menyatu dalam denyut pembangunan nasional dan menjadi indikator keseimbangan ekonomi Islam.