Dalam diskusi terbatas bertajuk “Konflik Israel-Iran terhadap Indonesia: Tantangan, Peluang dan Strategi Menghadapi Dinamika Global”, yang digelar Kamis, 10 Juli 2025 di Parle, Senayan, pengamat geopolitik sekaligus Direktur Eksekutif Global Future Institute, Hendrajit, menguraikan analisis tajam terkait peta geopolitik dunia dan dampaknya terhadap posisi Indonesia.
Menurut Hendrajit, dalam pandangan Amerika Serikat (AS), Inggris, dan Uni Eropa, Iran kini menjadi salah satu mata rantai penting dalam jaringan kekuatan global baru yang bangkit bersama China dan Rusia, serta negara-negara berkembang yang tergabung dalam gerakan Global South. “Pembentukan Shanghai Cooperation Organization (SCO) pada 2001, BRICS pada 2005, hingga Forum Kerja Sama Ekonomi Eropa-Asia pada 2015, menandai lahirnya era multipolar—sebuah pergeseran dari tatanan unipolar yang dikuasai AS pasca Perang Dunia II,” tegas Hendrajit.
Ia menjelaskan bahwa kegelisahan Barat, terutama AS dan Inggris, bukan sekadar karena kekuatan militer atau ekonomi Iran, melainkan karena negara-negara yang sebelumnya saling bermusuhan seperti Arab Saudi dan Iran, atau India dan Pakistan, kini mulai duduk bersama dalam kerja sama multilateral.
“Ini yang membuat Barat, termasuk Israel sebagai ujung tombak kolonisasi modern di Timur Tengah, memandang Iran sebagai ancaman. Apalagi Iran memiliki ketahanan budaya yang menyatu dengan ketahanan nasional. Itulah yang oleh pakar hubungan internasional Dina Sulaeman disebut sebagai Independensi Iran,” kata Hendrajit.
Ia menambahkan, bagi AS, kebangkitan China sebagai adidaya baru dianggap sebagai disrupsi besar terhadap tatanan dunia pasca Perang Dunia II dan Perang Dingin. Yang membuat lebih gelisah, kata Hendrajit, adalah bahwa poros China-Rusia-Iran ini sama sekali tidak tunduk pada skema neoliberalisme dan kapitalisme korporasi ala Barat.
“Serangan Israel ke situs nuklir Iran di Fordo, Natanz, dan Isfahan awalnya dimaksudkan untuk menciptakan efek bola salju yang menggoyang dalam negeri Iran. Tapi justru yang terjadi sebaliknya: rakyat Iran makin solid. Sedangkan serangan balik Iran menimbulkan kepanikan di kalangan warga sipil Israel yang sebagian besar berasal dari diaspora Yahudi, dan tidak memiliki keterikatan budaya dengan kawasan tersebut,” jelasnya.
Dalam situasi geopolitik global seperti ini, Hendrajit menekankan pentingnya Indonesia kembali menghidupkan semangat Konferensi Asia Afrika (KAA) Bandung 1955 dan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Gerakan Non-Blok Beograd 1961.
“Politik luar negeri Bebas Aktif kita sejak 1948 berakar dari Alinea Pertama dan Alinea Keempat Pembukaan UUD 1945, yakni semangat anti-kolonialisme dan komitmen terhadap perdamaian dunia yang berkeadilan sosial. Ini saatnya para pemimpin dan elite bangsa merevitalisasi semangat itu secara imajinatif dan konkret,” tegas Hendrajit.
Ia pun menutup dengan pertanyaan reflektif, “Kalau para pendiri bangsa kita mampu memprakarsai KAA 1955 dan Gerakan Non-Blok 1961, mengapa kita sekarang tidak bisa mengambil peran serupa dalam konstelasi dunia yang berubah ini?”