Oleh: Rokhmat Widodo, Pengamat Timur Tengah
Konflik terbuka antara Iran dan Israel yang selama puluhan tahun berlangsung dalam bayang-bayang perang proksi dan saling serang melalui agen-agen regional, kini memasuki babak baru yang lebih terang dan dramatis. Iran, negeri para Mullah yang selama bertahun-tahun berada di bawah tekanan ekonomi dan militer dari negara-negara Barat, kini secara mengejutkan menunjukkan taringnya. Tidak hanya melalui proksi seperti Hizbullah dan Houthi, tetapi dengan kekuatan militernya sendiri, Iran membombardir beberapa titik strategis di wilayah Israel dengan rudal-rudal canggih, termasuk rudal supersonik.
Serangan ini bukan hanya mengguncang Tel Aviv, tetapi juga mengejutkan banyak analis militer dunia yang selama ini meragukan kemampuan Iran untuk melakukan serangan langsung terhadap Israel. Apa yang sebenarnya menjadi strategi kemenangan Iran? Dan bagaimana negara yang selama puluhan tahun berada dalam embargo militer dan ekonomi bisa menjadi kekuatan militer yang diperhitungkan? Inilah yang perlu kita cermati secara mendalam.
Selama beberapa dekade, Iran dikenal vokal dalam retorika anti-Zionis, namun terkesan berhati-hati untuk berkonfrontasi langsung dengan Israel. Namun dalam konstelasi regional dan global yang berubah – termasuk melemahnya pengaruh Amerika Serikat di kawasan, keterlibatan Rusia di Suriah, serta kemajuan teknologi militer domestik Iran – Teheran merasa waktunya telah tiba untuk menunjukkan kekuatan secara terbuka.
Tepat pada titik ini, Iran tidak lagi mengandalkan narasi ideologis belaka, tetapi telah memindahkan medan perang ke ranah teknologi dan strategi militer modern.
Meskipun diembargo sejak Revolusi 1979, Iran justru menjadikan keterbatasan sebagai pendorong untuk membangun industri pertahanan dalam negeri. Mulai dari rudal balistik jarak menengah, drone serang berpresisi tinggi, hingga rudal hipersonik yang mampu menembus sistem pertahanan canggih seperti Iron Dome dan David’s Sling milik Israel, semuanya kini menjadi bagian dari arsenal Iran.
Iran menggunakan pendekatan asimetris dalam membangun kekuatannya:
-
Produksi Lokal: Iran berinvestasi besar dalam litbang (R&D) militer, termasuk melalui reverse engineering dari senjata-senjata yang didapatkan di medan perang.
-
Drone dan Rudal Cerdas: Iran memproduksi drone tempur seperti Shahed-136 dan rudal seperti Fattah-1 yang diyakini mampu melesat dengan kecepatan hipersonik dan daya manuver tinggi.
-
Sistem Komando Terdesentralisasi: Iran menyebarkan kekuatan militernya secara tersebar, sehingga sulit dilumpuhkan sekaligus.
Kemenangan Iran bukan hanya dalam bentuk serangan langsung, tetapi juga dari kemampuannya memobilisasi sekutu dan proksi regional:
-
Hizbullah di Lebanon dengan lebih dari 150.000 roket.
-
Houthi di Yaman yang mampu menyerang Israel dari arah selatan.
-
Milisi Syiah di Irak dan Suriah yang menjadi ujung tombak dalam perang darat dan logistik.
-
Kekuatan Siber yang mampu melumpuhkan infrastruktur digital Israel.
Perang jaringan ini adalah bentuk modern dari strategi “soft belligerency”, di mana satu negara mampu mengepung musuh melalui simpul-simpul perlawanan non-negara (non-state actors).
Serangan rudal Iran ke pusat-pusat militer dan teknologi Israel memperlihatkan dua kelemahan mendasar dari negeri Zionis:
-
Ketergantungan pada Sistem Pertahanan Udara: Sistem seperti Iron Dome bekerja optimal terhadap roket jarak pendek, namun tidak selalu efektif terhadap rudal supersonik atau serangan simultan dari berbagai arah.
-
Keterkejutan Strategis: Israel terbiasa melakukan serangan pre-emptive. Ketika Iran melakukan langkah pertama secara frontal, posisi ofensif Israel menjadi defensif dan reaktif.
Hal ini membuktikan bahwa dominasi udara dan keunggulan teknologi tidak lagi menjadi jaminan keamanan absolut bagi Israel.
Strategi Iran tidak hanya ditujukan untuk menghukum Israel secara taktis, tetapi juga untuk membentuk perimbangan baru kekuatan di kawasan. Pesan strategisnya jelas: Iran kini menjadi kekuatan regional yang tidak bisa diabaikan dan mampu berdiri sejajar dengan kekuatan militer terbesar sekalipun.
Konflik ini juga mengubah pola aliansi:
-
Rusia dan Cina cenderung melihat Iran sebagai mitra strategis dalam menghadapi hegemoni Barat.
-
Negara Teluk yang sebelumnya menjalin hubungan normalisasi dengan Israel kini bersikap lebih hati-hati.
-
Opini publik dunia Islam sebagian besar bersimpati pada Iran, melihatnya sebagai penantang dominasi Israel yang telah lama menindas Palestina.
Serangan Iran ke Israel menunjukkan bahwa doktrin militer berbasis pengembangan dalam negeri, perang proksi, dan perang teknologi kini menjadi kombinasi ampuh dalam geopolitik modern. Iran telah menunjukkan bahwa meskipun diembargo dan ditekan, negara tersebut mampu menantang musuh bebuyutannya secara langsung dan strategis.
Pertanyaannya kini bukan lagi apakah Iran bisa mengalahkan Israel, tetapi seberapa jauh kedua negara ini akan mendorong batas konflik tanpa memicu perang global yang lebih luas. Yang jelas, dalam peta kekuatan Timur Tengah hari ini, Iran telah menegaskan dirinya sebagai pemain utama yang tidak bisa dipandang sebelah mata.
Simak berita dan artikel lainnya di Google News