Pemprov DKI Didesak Mahasiswa, Selesaikan Kasus yang Rugikan Penghuni Rusunami Gading Nias Residence

Forum Mahasiswa Jakarta Peduli Perumahan Rakyat (FMJP2R) mendesak Pemerintah Provinsi Daerah Khusus Jakarta untuk segera turun tangan menyelesaikan konflik berkepanjangan yang merugikan sebagian warga penghuni Rumah Susun Sederhana Milik (Rusunami) Gading Nias Residence, Kelapa Gading, Jakarta Utara.

Ketua FMJP2R, Totok, mengungkapkan kepada wartawan bahwa pihaknya menerima berbagai aduan dari warga Rusunami Gading Nias mengenai perlakuan yang dianggap diskriminatif dan tidak adil oleh pengurus Perhimpunan Pemilik dan Penghuni Satuan Rumah Susun (PPPSRS). Salah satunya adalah soal kenaikan tarif Iuran Pemeliharaan Lingkungan (IPL) dan Sinking Fund (SF) yang diputuskan dalam Rapat Umum Tahunan Anggota (RUTA) pada 25 September 2024.

“Keputusan itu hanya dihadiri oleh sebagian kecil dari total pemilik unit. Dari 94 orang yang hadir, 14 di antaranya menolak, dan mayoritas warga lainnya bahkan tidak tahu menahu,” ujar Totok dalam pernyataannya, Rabu, 9 Juli 2025.

Totok menyebut bahwa warga menolak hasil RUTA karena dianggap menyalahi prosedur sesuai AD/ART dan peraturan perundang-undangan. Beberapa poin keberatan mencakup: proses undangan rapat yang tidak sesuai aturan, pembatasan partisipasi warga non-pemilik, kurangnya transparansi laporan keuangan, hingga pemberlakuan tarif baru di tengah tahun buku berjalan.

“Tarif IPL+SF yang dikenakan kini bahkan menyamai apartemen komersil, padahal Rusunami Gading Nias ini ditujukan bagi masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah,” tegasnya.

Baca juga:  Dulu Protes & Sekarang Jadi SC Formula E, Aktivis Politik: Politikus PDIP Asal Benci Anies

Warga telah mengirimkan aduan kepada berbagai pihak, termasuk Kepala Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman (PRKP) Provinsi DK Jakarta, Walikota Jakarta Utara, Sudin PRKP, hingga ke lembaga seperti BPKN dan Ombudsman. Namun, menurut Totok, respon konkret dari pemerintah sejauh ini masih minim.

Mediasi Gagal, Pemerintah Dinilai Ambigu

Sudin PRKP Jakarta Utara sempat memfasilitasi dua kali mediasi, masing-masing pada 10 Desember 2024 dan 12 Februari 2025, dengan kehadiran anggota DPRD dari PDIP. Namun mediasi berakhir buntu. “Pengelola merasa kenaikan IPL sah karena melalui RUTA, sementara warga berpendapat prosesnya cacat hukum,” tutur Totok.

Ironisnya, meskipun dalam mediasi disepakati bahwa warga boleh membayar tarif lama selama sengketa berlangsung—mengacu pada Peraturan Gubernur No. 70 Tahun 2021—warga tetap kesulitan karena tagihan IPL disatukan dengan listrik dan air. “Warga yang ingin patuh membayar IPL lama terpaksa membayar tarif baru demi bisa tetap mendapat akses air dan listrik,” tambahnya.

Akses Warga Diblokir, Tindak Lanjut Nihil

Perlawanan warga terhadap tarif baru justru dibalas dengan tindakan intimidatif. “Beberapa warga yang vokal mengalami pemblokiran kartu akses lift oleh pengelola. Mereka tidak bisa naik ke unitnya,” jelas Totok.

Laporan telah disampaikan ke Wakil Ketua DPRD DKJ dan Kemenkumham. Dalam audiensi dengan Komisi D DPRD pada 20 Maret dan Kemenkumham pada 21 Mei 2025, kedua institusi menilai pemblokiran melanggar hak warga. Namun sayangnya, tidak ada tindakan tegas di lapangan.

Baca juga:  Tim Salawat IPQAH DKI Memukau

“Pasca audiensi, warga justru mendapat somasi dari kuasa hukum pengurus PPPSRS. Somasi dikirim pada 24 Juni 2025, sehari setelah RUTA pertama gagal kuorum. Mereka diminta membayar selisih tarif IPL lama dan baru. Ini bertentangan dengan hasil mediasi sebelumnya,” ucap Totok.

RUTA kedua digelar pada 4 Juli 2025 di GOR Judo Kelapa Gading. Totok menyayangkan suasana yang tidak kondusif. Warga yang mengkritisi laporan keuangan diteriaki, bahkan diframing seolah tidak membayar IPL. “Padahal mereka hanya belum membayar selisih antara tarif lama dan baru,” katanya.

Totok juga menyoroti peran aparatur pemerintahan yang hadir. “Mereka hanya menyaksikan tanpa intervensi berarti, padahal mereka mewakili negara yang seharusnya melindungi hak masyarakat,” tukasnya.

Atas dasar semua temuan dan laporan warga, FMJP2R mendesak Pemprov DKJ tidak menutup mata terhadap persoalan ini. “Kekerasan tidak selalu fisik. Verbal, pengabaian, dan intimidasi administratif juga bentuk kekerasan, apalagi dilakukan oleh pengelola kepada warga yang mencari keadilan,” tegas Totok.

Menurutnya, kasus ini adalah ujian nyata keberpihakan pemerintah terhadap masyarakat kecil. “Jakarta sebagai barometer Indonesia seharusnya bisa memberi contoh penegakan keadilan di level hunian rakyat. Kami, mahasiswa, akan terus mendampingi perjuangan warga Gading Nias Residence,” pungkas Totok.

Simak berita dan artikel lainnya di Google News