Peristiwa tak mengenakkan terjadi di Desa Mantup, Kecamatan Mantup, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur, pada Kamis, 26 Juni 2025. Sejumlah wartawan dari berbagai media, termasuk dari Suara Nasional, mendapat perlakuan tidak menyenangkan dari oknum pegawai desa saat hendak meliput jalannya pemilihan Kepala Dusun (Kasun), Kepala Urusan Kesejahteraan Rakyat (Kaur Kesra), dan Kepala Urusan Pelayanan (Kaur Pelayanan).
Wartawan datang dengan niat melakukan peliputan jurnalistik sebagai bagian dari fungsi kontrol sosial media terhadap jalannya pemerintahan desa. Namun, bukannya mendapat keterbukaan informasi sebagaimana amanat Undang-Undang, justru mereka dihalangi oleh petugas desa yang melontarkan kalimat bernada keras, meminta mereka untuk pergi, bahkan melarang pengambilan gambar di sekitar balai desa tempat berlangsungnya proses pemilihan.
Peliputan tersebut sebenarnya dilatarbelakangi oleh kekhawatiran sejumlah warga atas dugaan terjadinya praktik politik uang dalam proses pemilihan perangkat desa. Informasi yang diterima oleh awak media menyebutkan bahwa terdapat indikasi pemberian sejumlah uang oleh calon tertentu kepada pemilih demi memenangkan kontestasi.
“Kami datang bukan untuk mengacaukan jalannya pemilihan, tetapi justru untuk memastikan proses ini berjalan demokratis dan bebas dari praktik suap,” ujar salah satu wartawan yang enggan disebut namanya karena alasan keamanan.
Namun niat tersebut malah direspons negatif oleh oknum petugas desa. “Kami tidak tahu apa yang ditutupi. Tapi perilaku menghalangi kerja jurnalis jelas mencurigakan dan mencederai prinsip transparansi publik,” tambahnya.
Wartawan telah mencoba mengonfirmasi peristiwa ini kepada Sekretaris Desa, Kepala Desa, hingga Camat Mantup, namun hingga berita ini diturunkan, ketiganya belum memberikan tanggapan.
Apa yang dilakukan oleh pegawai desa ini dinilai melanggar Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, khususnya Pasal 18 ayat (1) yang menyebutkan bahwa:
“Setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan kerja jurnalistik dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).”
Peristiwa ini memperlihatkan masih lemahnya pemahaman sebagian aparat desa terhadap peran pers sebagai pilar keempat demokrasi. Padahal, dalam era keterbukaan informasi seperti saat ini, kehadiran media justru menjadi mitra strategis bagi pemerintah dalam menjaga akuntabilitas dan meningkatkan kepercayaan publik.
Warga Mantup dan komunitas jurnalis lokal kini mendesak agar pemerintah kecamatan hingga kabupaten turun tangan untuk mengusut peristiwa ini. Mereka juga berharap ada evaluasi terhadap panitia pemilihan perangkat desa yang dianggap tidak netral dan cenderung tertutup.
“Kami tidak ingin desa kami tercoreng hanya karena ulah segelintir orang yang bermain kotor. Kalau pemilihan saja sudah ditutup-tutupi, bagaimana nanti pelayanan masyarakat ke depan?” ujar seorang warga yang enggan disebutkan namanya.
Peristiwa ini menjadi catatan penting bahwa demokrasi dan transparansi harus dijaga bersama, dan media harus dilindungi agar dapat menjalankan fungsinya secara maksimal. (Hadi Hoy)