Kill the Messenger: Hukum Besi Kekuasaan, Penghancuran Suara Kritis

Oleh: Firman Tendry Masengi, SH. Praktisi Hukum/Aktivis Prodem.

Siapa yang Dibunuh?

Dalam mitologi kekuasaan, “Kill the Messenger” bukan sekadar pepatah kuno—melainkan taktik abadi. Ia menggambarkan kecenderungan penguasa untuk membungkam kabar buruk dengan membunuh si pembawa pesan alih-alih menghadapi isi pesannya. Sepuluh tahun kekuasaan Joko Widodo (Jokowi) membuktikan bahwa adagium ini hidup dan menjelma dalam bentuk baru: kriminalisasi kritik, delegitimasi aktivisme, dan penghancuran ruang publik rasional.

Jika kekuasaan adalah cermin dari watak etis suatu bangsa, maka pemerintahan Jokowi menjadi babak suram dalam sejarah republik: di mana kritik dianggap ancaman, kebenaran disaring algoritma, dan pembawa kabar buruk dibungkam dengan pasal karet.

Genealogi Kekuasaan Jokowi: Dari Harapan ke Represi

Ketika Jokowi naik ke tampuk kekuasaan pada 2014, ia dijual sebagai antitesis Orde Baru: anak tukang kayu, bukan bangsawan politik, dan sosok merakyat tanpa pretensi elitis. Namun, realitas dua periode pemerintahannya justru membuktikan transformasi sebaliknya—Jokowi bukan penantang oligarki, melainkan fasilitatornya. Di balik pencitraan populis, negara diarahkan menjadi mesin birokratik tanpa jiwa yang tunduk pada kalkulasi kuasa dan modal.

Roy Suryo, Rismon Sianipar & Tifa.
Mekanisme “Kill the Messenger”:

1.Kriminalisasi dan Demonisasi Aktivis

Kasus-kasus seperti Veronica Koman, Haris Azhar, Fatia Maulidiyanti, Ravio Patra, dan bahkan akademisi kritis seperti Rocky Gerung, Roy Suryo, Rismon Sianipar, Tifa, et cetera menunjukkan bagaimana negara memobilisasi instrumen hukum untuk menjerat narasi yang mengganggu citra kekuasaan. Pasal-pasal karet UU ITE dan KUHP menjadi belati yang menusuk kebebasan berpikir.

2.Stigmatisasi Lembaga dan Media Independen

ICW, YLBHI, hingga media seperti Tempo atau Narasi TV kerap dijadikan target delegitimasi. Alih-alih melawan korupsi atau memfasilitasi transparansi, pemerintah justru mengembangkan pola pikir korporatis dan menyingkirkan siapa pun yang menyuarakan kebenaran tak nyaman.

3.Pembusukan Ruang Akademik dan Pendidikan

Alih-alih mendorong kampus sebagai pusat dialektika progresif, rezim ini justru mereduksi universitas menjadi perpanjangan tangan kekuasaan. Wacana Kampus Merdeka tak lebih dari karpet merah menuju deideologisasi pendidikan.

Membunuh Makna melalui Citra

Dalam logika Jean Baudrillard, kita hidup dalam dunia simulakra—di mana citra menggantikan kenyataan. Jokowi adalah produk paling sempurna dari era ini. Pembangunan infrastruktur disulap menjadi simbol kemajuan, meski tak menjawab akar ketimpangan struktural. Narasi digital menggantikan perdebatan substansial, dan buzzer menjadi institusi politik baru yang memproduksi loyalitas semu.

Kekuasaan bukan hanya menindas fisik, tapi membajak nalar. Dalam rezim ini, kritik disebut hoaks, investigasi disebut fitnah, dan perlawanan disebut pengkhianatan.

Laporan Dibungkam, Rakyat Ditikam

Data yang Layak Disimak:

Indonesia merosot dalam Indeks Kebebasan Pers Reporters Without Borders dari posisi 113 (2014) ke posisi 117 (2024).

Amnesty International mencatat peningkatan kriminalisasi terhadap pembela HAM dan aktivis sejak 2019.

Transparency International menempatkan Indonesia pada skor CPI 34 (2023), stagnan sejak 2019.

Narasi pembangunan dijalankan di atas tubuh-tubuh pembawa pesan yang dibunuh secara simbolik—ditangkapi, dibungkam, dikucilkan, atau dihancurkan reputasinya.

Politik Tanpa Etika: Negara sebagai Pemburu Warga

Etika kekuasaan, sebagaimana ditulis Hannah Arendt, runtuh ketika negara menjadi penganiaya warganya sendiri. Rezim Jokowi menjelma dalam logika necropolitics—menentukan siapa yang boleh hidup dalam demokrasi dan siapa yang boleh dikorbankan demi stabilitas. Bahkan kritik yang sah dianggap ancaman keamanan nasional.

Alih-alih menjadi pendengar aspirasi, negara menjadi predator narasi. Warga yang bersuara tidak lagi diundang berdialog, tetapi diawasi, dimata-matai, dan direpresi.

Rezim Anti Kritik Tanda Kerapuhan

Rezim yang membunuh pesan dan pembawanya adalah rezim yang lemah. Ia tidak sanggup menatap cermin realitas, lalu memilih memecahkannya. Pembungkaman justru membuka tabir bahwa negara telah gagal mewakili rakyatnya. Jokowi, yang pernah dielu-elukan sebagai harapan rakyat, kini berdiri sebagai simbol ironi: dari man of the people menjadi enemy of dissent.

Apa yang Tersisa?
Luka, Trauma, dan Perlawanan yang Akan Kembali

Setiap suara yang dibungkam akan tumbuh dalam kesadaran kolektif sebagai benih perlawanan. Dalam puing-puing demokrasi yang dikorupsi, akan muncul generasi baru yang lebih sadar, lebih keras, dan lebih kritis. Jika Jokowi gagal membunuh pesan kebenaran, itu karena kebenaran tak bisa ditikam oleh hoaks kekuasaan.

Membunuh Utusan Tak Akan Membunuh Kebenaran

Dalam sejarah, kekuasaan yang membunuh utusan tak pernah bertahan lama. Mereka mungkin menguasai tubuh, tapi tidak akan pernah menang melawan nalar dan nurani. Sepuluh tahun Jokowi adalah pelajaran pahit bahwa demokrasi tanpa kritik hanyalah tirani dalam pakaian baru.

Sejarah akan mengingat siapa yang berkata benar, bahkan saat suara itu nyaris tak terdengar.

“Truth is not only violated by falsehood; it may be equally outraged by silence.” — Henri-Frederic Amiel.

Kill the messenger? Terlambat. Pesan itu sudah sampai. Dan rakyat sedang membacanya.

Simak berita dan artikel lainnya di Google News