Oleh: Abdul Rahmat Saleh, Direktur Lembaga Analisis Studi dan Kajian Publik (Lanskip)
Pemilihan Sekretaris Daerah (Sekda) Kota Bogor bukan sekadar proses administratif untuk mengisi jabatan tinggi pratama. Ia adalah momentum penting yang akan menentukan warna dan arah kebijakan birokrasi Kota Bogor dalam lima tahun ke depan. Seorang Sekda bukan hanya pemimpin birokrasi, melainkan juga aktor strategis yang menghubungkan visi politik kepala daerah dengan eksekusi kebijakan di lapangan.
Kini, setelah dilakukan seleksi terbuka, terdapat tiga nama calon kuat yang muncul ke permukaan: Denny Mulyadi (Kepala Badan Keuangan dan Aset Daerah), Eko Prabowo (Asisten Pemerintahan dan Kesejahteraan Rakyat), dan Sri Nowo Retno (Kepala Dinas Kesehatan). Ketiganya adalah birokrat senior yang telah lama berkiprah di pemerintahan Kota Bogor. Namun, siapa pun yang terpilih, ia akan mewarisi setumpuk pekerjaan rumah yang tidak ringan.
Dalam sistem pemerintahan daerah, Sekda memiliki peran yang sangat sentral. Ia adalah motor penggerak mesin birokrasi sekaligus pengawal stabilitas administratif. Dalam praktiknya, Sekda berperan sebagai policy broker yang menjembatani kepala daerah dengan perangkat birokrasi, serta menjadi juru runding antara kepentingan politik, teknokrasi, dan masyarakat sipil.
Konteks ini menjelaskan bahwa seorang Sekda bukan hanya dituntut piawai dalam aspek administratif, tapi juga cakap secara politik, komunikatif, dan mampu membangun sinergi lintas sektor.
Tiga Kandidat, Tiga Karakteristik
1. Denny Mulyadi – Si Pengendali Fiskal dan Aset
Sebagai Kepala Badan Keuangan dan Aset Daerah (BKAD), Denny Mulyadi dikenal sebagai sosok dengan kemampuan teknokratis yang kuat, terutama dalam pengelolaan anggaran dan optimalisasi aset daerah. Ia menguasai seluk-beluk APBD Kota Bogor dan dikenal sebagai birokrat yang rapi, efisien, dan sistematis.
Namun, tantangan ke depan bukan hanya soal merapikan buku anggaran. Kota Bogor sedang menghadapi persoalan fiskal struktural akibat ketergantungan terhadap transfer pusat dan keterbatasan PAD. Di sinilah dibutuhkan kreativitas fiskal dan keberanian untuk melakukan reformasi, termasuk transparansi dan efisiensi dalam pengelolaan aset publik.
Jika Denny naik menjadi Sekda, tantangannya adalah bagaimana membawa pendekatan fiskal yang efisien itu ke dalam semua lini SKPD, bukan hanya di BKAD. Ia juga harus mampu lebih terbuka secara politik dan membangun jaringan lintas dinas yang solid, agar tidak terjebak dalam logika akuntansi belaka.
2. Eko Prabowo – Penghubung Sosial dan Pemerintahan
Sebagai Asisten Pemerintahan dan Kesejahteraan Rakyat, Eko Prabowo selama ini menjadi salah satu figur sentral dalam pengelolaan program sosial, pelayanan publik, dan hubungan antar lembaga. Ia paham dinamika pemerintahan dan relasi politik-birokrasi. Dalam konteks Bogor yang kerap diwarnai ketegangan antara rasionalitas teknokratis dan aspirasi populis, Eko dinilai punya kelenturan yang dibutuhkan.
Jika ia terpilih menjadi Sekda, kekuatan utamanya akan terletak pada kemampuan komunikasi dan kepemimpinan horizontal. Namun, kelemahannya mungkin justru terletak pada kurang kuatnya pengalaman teknokratis dalam hal pengelolaan fiskal dan aset.
Namun begitu, karakter Eko yang akomodatif bisa menjadi jembatan penting dalam meredam potensi konflik antar-SKPD dan membangun loyalitas birokrasi.
3. Sri Nowo Retno – Teknokrat Kesehatan dan Stabilitas Sosial
Sri Nowo Retno adalah satu dari sedikit perempuan yang menduduki jabatan struktural tinggi di Kota Bogor. Ia dikenal luas sebagai pemimpin Dinas Kesehatan yang berprestasi, terutama saat mengawal respons pandemi COVID-19 di Kota Bogor. Kinerjanya dihargai banyak pihak, baik internal pemerintah kota maupun komunitas kesehatan masyarakat.
Jika ia menjadi Sekda, akan menjadi representasi kuat atas afirmasi perempuan dalam jabatan tinggi pemerintahan. Ia juga membawa perspektif humanis dan berbasis pelayanan publik yang kuat.
Namun, tantangan terbesarnya adalah menjangkau sektor-sektor non-kesehatan dan melakukan orkestrasi kebijakan secara lebih luas. Retno harus membuktikan bahwa ia bukan hanya pemimpin sektor, tapi bisa naik kelas menjadi pemimpin seluruh birokrasi kota.
Pekerjaan Rumah Sekda Baru
1. Reformasi Birokrasi dan Digitalisasi Layanan
Kota Bogor tidak bisa terus bekerja dengan pola birokrasi konvensional. Era digital, ditambah tekanan publik terhadap transparansi dan kecepatan pelayanan, menuntut adanya transformasi menyeluruh di lingkup pemkot. Sekda baru harus mempercepat integrasi data, pemangkasan prosedur birokrasi, dan peningkatan kualitas layanan publik berbasis digital.
2. Menjawab Ketimpangan Perkotaan
Bogor adalah kota yang unik: kombinasi antara kawasan heritage, destinasi wisata, kawasan elite, dan kantong-kantong kemiskinan urban. Sekda baru harus memastikan bahwa program-program pembangunan tidak bersifat kosmetik atau elitis, tapi benar-benar menyasar akar masalah ketimpangan sosial dan kualitas hidup warga kelas bawah.
3. Harmonisasi Hubungan Pusat-Daerah
Bogor adalah bagian dari kawasan megapolitan Jabodetabek. Banyak kebijakan lintas sektor yang berasal dari pusat (khususnya Kementerian PUPR dan Kementerian Perhubungan) berdampak langsung pada kehidupan warga Bogor. Sekda baru dituntut punya kapasitas diplomasi dan advokasi kebijakan agar suara Kota Bogor tidak tenggelam dalam dinamika kawasan yang lebih besar.
Tentu saja publik tidak bisa ikut memilih langsung siapa Sekda, karena prosesnya bersifat administratif dan seleksi terbatas. Namun, masyarakat Kota Bogor berhak untuk mengawal proses ini dan menuntut hasil terbaik.
Apakah Kota Bogor butuh sosok pengelola fiskal yang kuat seperti Denny Mulyadi? Atau figur komunikatif dan adaptif seperti Eko Prabowo? Atau justru pemimpin humanis dengan perspektif pelayanan publik seperti Sri Nowo Retno?
Yang jelas, siapa pun yang terpilih nanti, ia akan menghadapi tuntutan publik yang lebih besar dari sekadar administrasi birokrasi. Ia harus hadir sebagai figur yang mampu menjaga roh pelayanan publik, menggerakkan reformasi birokrasi, dan membawa Bogor melangkah lebih cepat, adil, dan maju.