Pengamat Intelijen dan Geopolitik, Amir Hamzah, menilai bahwa beberapa klausul dalam revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) mencerminkan semangat perjuangan Jenderal Sudirman. Prinsip pantang menyerah, kesederhanaan, serta dedikasi mutlak terhadap kedaulatan negara tercermin dalam beberapa aspek perubahan aturan ini.
Jenderal Sudirman bukan hanya seorang panglima perang, tetapi juga simbol perjuangan yang mengedepankan kemandirian dan ketulusan dalam mengabdi kepada bangsa. Saat menghadapi agresi militer Belanda pada 1948, dalam kondisi sakit sekalipun, ia tetap memilih bergerilya bersama pasukannya daripada tunduk pada situasi politik yang tidak menguntungkan.
“Prinsip utama Sudirman adalah kemandirian TNI dalam menjaga kedaulatan tanpa intervensi politik yang merugikan bangsa. Semangat ini yang seharusnya menjadi ruh dalam setiap regulasi yang mengatur institusi pertahanan,” ujar Amir Hamzah kepada www.suaranasional.com, Selasa (18/3/2025).
RUU TNI terbaru memuat beberapa poin utama yang tampak mencerminkan prinsip perjuangan Jenderal Sudirman, antara lain: Pertama, penguatan peran TNI dalam keamanan nasional. Salah satu poin revisi adalah memperjelas peran TNI dalam menghadapi ancaman hibrida, termasuk serangan siber, radikalisme, dan perang asimetris. Ini sejalan dengan filosofi Sudirman bahwa pertahanan negara bukan hanya soal konvensional, tetapi juga memerlukan adaptasi terhadap tantangan zaman.
“Kedua, kemandirian alutsista dan modernisasi militer. Semangat kemandirian yang selalu digaungkan Jenderal Sudirman terlihat dalam dorongan RUU ini untuk mengurangi ketergantungan pada alat utama sistem persenjataan (alutsista) impor. Pemerintah mendorong penguatan industri pertahanan nasional, seperti PT Pindad dan PT Dirgantara Indonesia, agar TNI semakin mandiri dalam persenjataan dan strategi perang modern,” ungkapnya.
Ketiga, kebijakan penguatan kesejahteraan prajurit. RUU ini menegaskan pentingnya kesejahteraan prajurit melalui peningkatan tunjangan, jaminan sosial, dan fasilitas kesehatan yang lebih baik. Ini relevan dengan prinsip Sudirman yang menempatkan moral dan kesejahteraan pasukan sebagai fondasi kekuatan militer.
Meski semangat dalam RUU ini patut diapresiasi, ada beberapa tantangan yang harus diwaspadai dalam implementasinya, kata Amir, risiko kembali ke Dwi Fungsi TNI. Beberapa pasal dalam revisi ini dianggap membuka celah bagi keterlibatan aktif TNI dalam sektor-sektor sipil. Jika tidak dikontrol dengan baik, ada risiko kemunduran ke era Orde Baru di mana TNI terlalu dominan dalam kehidupan politik dan sosial.
“Kemandirian alutsista masih butuh waktu.Walaupun ada dorongan besar untuk kemandirian industri pertahanan, realitasnya Indonesia masih bergantung pada impor teknologi tinggi. Tanpa transfer teknologi yang jelas, visi ini bisa menjadi sekadar wacana,” tegasnya.
Kata Amir, politik anggaran dan prioritas pemerintah.Implementasi aturan terkait kesejahteraan prajurit dan modernisasi alutsista membutuhkan anggaran besar. Dalam kondisi ekonomi yang menantang, ada kemungkinan kebijakan ini akan terganjal keterbatasan fiskal.
RUU TNI memang memiliki semangat yang selaras dengan perjuangan Jenderal Sudirman: kemandirian, profesionalisme, dan dedikasi kepada negara. Namun, tantangan implementasi harus disikapi dengan serius agar tidak menjadi pisau bermata dua.
“Agar revisi ini benar-benar bermanfaat, perlu adanya pengawasan ketat dari parlemen dan masyarakat sipil. Reformasi TNI harus tetap dalam koridor supremasi sipil, sebagaimana cita-cita awal para pendiri bangsa. Hanya dengan demikian, semangat Sudirman tidak hanya sekadar retorika, tetapi benar-benar mewujud dalam bentuk kebijakan yang mengokohkan kedaulatan Indonesia,” pungkas Amir Hamzah.