Firman Tendry: Skandal KCJB Alasan Moral untuk Adili Jokowi secara Politik dan Konstitusi

Advokat sekaligus pendiri RECHT Institute (Research and Education Center for Humanitarian Transparency Law), Firman Tendry, menegaskan bahwa negara hukum akan kehilangan maknanya jika hukum hanya bekerja untuk membela kekuasaan, bukan kebenaran.Jika institusi hukum gagal dan bermain-main dalam penegakan hukum

Pernyataan tersebut disampaikan Firman dalam analisis hukum dan konstitusional atas proyek Kereta Cepat Jakarta–Bandung (KCJB) yang dinilainya sebagai bentuk kegagalan sistemik dan pelanggaran janji politik mantan Presiden Joko Widodo (Jokowi)

Menurut Firman, tanggung jawab Jokowi dalam skandal KCJB bukan sekadar administratif, melainkan juga moral dan konstitusional, karena proyek tersebut sejak awal dibangun berdasarkan keputusan politik yang kini justru menyimpang dari prinsip hukum dan tata kelola pemerintahan yang baik.

“Proyek KCJB bukan sekadar kerja sama bisnis antar-BUMN, tetapi keputusan politik dan kebijakan publik yang bersumber langsung dari Presiden sebagai pemegang kekuasaan eksekutif tertinggi,” ujar Firman, Senin (3/11/2025).

Baca juga:  Mengapa Rakyat Bisa Marah Pada Penguasa

Firman menjelaskan bahwa Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 107 Tahun 2015 pada awalnya menegaskan proyek KCJB dilaksanakan dengan skema Business-to-Business (B2B) tanpa melibatkan APBN maupun jaminan pemerintah. Komitmen tersebut, kata Firman, merupakan janji politik yang diformalkan dalam hukum positif.

Namun, pada tahun 2021, Presiden menerbitkan Perpres Nomor 93 Tahun 2021 yang merevisi aturan sebelumnya dan memperbolehkan penggunaan APBN melalui Penyertaan Modal Negara (PMN) kepada PT KAI.

“Perubahan kebijakan ini bukan sekadar kontradiksi administratif, melainkan pelanggaran moral dan konstitusional. Presiden telah mengalihkan risiko korporasi menjadi risiko negara,” tegas Firman yang juga pakar hukum ini.

Ia menambahkan, tindakan itu jelas melanggar asas akuntabilitas fiskal dan prinsip kehati-hatian sebagaimana diatur dalam Pasal 23 UUD 1945 serta Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.

Firman mengingatkan, bangsa Indonesia telah memiliki preseden historis dan yuridis dalam meminta pertanggungjawaban kepala negara, sebagaimana terjadi pada Presiden Soekarno dan Soeharto. Keduanya pernah diadili dalam kebijakan yang merugikan negara.

“Sejarah membuktikan bahwa tidak ada jabatan yang kebal hukum. Jika hukum hanya menjadi alat kekuasaan, maka negara hukum tinggal nama,” ujar Firman menegaskan.

Baca juga:  Revisi KUHAP Dinilai Tidak Sinkron dengan KUHP 2023, Firman Tendry: Reformasi Bisa Terhenti Total

Menurutnya, perubahan sikap pemerintah terhadap proyek KCJB merupakan bentuk penyimpangan dari prinsip good governance dan pengabaian terhadap janji konstitusional Presiden kepada rakyat.

Firman juga mengutip pandangan Prof. Jimly Asshiddiqie bahwa pertanggungjawaban politik merupakan bagian integral dari pertanggungjawaban konstitusional, karena Presiden bukan hanya pembuat kebijakan, tetapi juga penjaga konstitusi (constitutional guardian).

“Dalam kerangka negara hukum, kewenangan tanpa tanggung jawab adalah bentuk penyalahgunaan kekuasaan. Janji politik yang diabadikan dalam Peraturan Presiden bukanlah retorika administratif, melainkan kontrak moral antara pemimpin dan rakyat,” kata Firman.

Firman menegaskan, pelanggaran terhadap janji tersebut bukan sekadar kesalahan teknis, tetapi hutang konstitusi yang harus dipertanggungjawabkan secara moral dan hukum.

“Presiden Jokowi dapat dan sepatutnya dimintai pertanggungjawaban hukum serta konstitusional atas skandal KCJB. Dalam negara hukum, kekuasaan harus tunduk kepada hukum, bukan sebaliknya,” tutup Firman Tendry.

 

 

Simak berita dan artikel lainnya di Google News