Presiden Joko Widodo (Jokowi) harus segera diadili agar tidak menjadi preseden buruk bagi pemimpin bangsa Indonesia berikutnya. Pengadilan buat Jokowi untuk memberikan efek jera kepada para calon pemimpin bangsa Indonesia agar tidak zalim, nepotisme dan melanggar konstitusi.
“Tuntutan agar Saudara Jokowi diadili, bukan berangkat dari motif dendam. Melainkan, berangkat dari rasa tanggungjawab anak bangsa untuk memperbaiki negeri ini. Agar tidak menjadi preseden buruk bagi pemimpin berikutnya,” kata mantan Danjen Kopassus Mayjen (Purn) Soenarko dalam pernyataan kepada redaksi www.suaranasional.com, Rabu (25/9/2024).
Kata Soenarko, pengganti Jokowi harus menegakkan keadilan dan tidak berbuat zalim terhadap rakyat. “Siapapun pemimpin pengganti Jokowi, tidak boleh melestarikan legacy kebohongan, kejahatan dan kezaliman yang diwariskan Jokowi. Bahkan, kelak pasca Jokowi lengser, pemimpin penggantinya harus aktif menegakkan hukum, mendorong aparat untuk bertindak, memproses hukum dan mengadili Jokowi,” paparnya.
Kata Soenarko, banyaknya kebohongan, kejahatan dan kebijakan zalim sepanjang kekuasaan Jokowi. Walau memang, rasanya sulit untuk mengadili Jokowi saat dirinya masih berkuasa. Sejumlah upaya oleh berbagai pihak telah ditempuh, namun karena kekuasaan Jokowi masih melekat, maka aparat penegak hukum menjadi dibuat tidak berdaya.
“Dalam kasus tragedi KM 50, saya juga terlibat dalam memberikan advokasi. Ternyata, putusan pengadilan pada kasus itu, jauh dari fakta yang sesungguhnya terjadi, sebagaimana telah diabadikan secara rinci dalam dokumen buku putih kejahatan HAM berat KM 50 yang diterbitkan oleh TP3 (Tim Pemantau Peristiwa Pembunuhan),” tegasnya.
Sepanjang era Jokowi memimpin, negara dan bangsa terbelah. Kebijakan pengelolaan negara bobrok, kebohongan saudara Jokowi sudah tidak terhitung lagi. Meminjam ungkapan Advokat Ahmad Khozinudin dalam pelaksanaan agenda, ‘dokumen kejahatan dan kebohongan Jokowi jika ditumpuk, tingginya bisa mencapai bulan’.
“Secara spirit, meski sudah purna tugas dari TNI, namun jiwa Sapta Marga prajurit yang mengalir dalam darah saya, mendorong saya untuk bertindak, menyuarakan kebenaran dan melawan kezaliman. Agar jika ada yang bertanya apa yang dilakukan oleh kalangan tentara, meski saya sudah purnawirawan tetapi sikap kritis yang saya lakukan setidaknya bisa memberikan jawaban. Bahwa, jiwa Sapta Marga Prajurit tidak bisa mendiamkan keadaan ini. Sapta Marga adalah sumpah setia kepada Negara, bukan kepada penguasa. Penguasa bisa datang dan pergi, tetapi kesetiaan Sapta Marga prajurit tetap melekat pada Negara. Bukan untuk penguasa,” tegasnya.
Kesetiaan pada penguasa, hanya diberikan pada batas kekuasaan yang tunduk dan taat pada konstitusi. Namun, manakala kekuasaan keluar dari koridor konstitusi, tugas dari jiwa Sapta Marga adalah melakukan kritik dan kontrol terhadap kekuasaan. “Saya meyakini, banyak kegelisahan yang menggelayuti dada-dada prajurit, baik yang masih aktif maupun yang sudah purna tugas. Bedanya, tidak semua memiliki kesempatan dan kesanggupan untuk menyuarakannya,” pungkasnya.