Menurut Hukum Dissenting Opinion bukan Hukum

Oleh: Dr. H. Abdul Chair Ramadhan, S.H., M.H*

Terbilang baru kali ini Mahkamah Konstitusi memutuskan perkara PHPU-Presiden mengakomodasi pendapat berbeda (dissenting opinion). Ramai pendapat, utamanya yang datang dari para pendukung yang dikalahkan oleh putusan Mahkamah Konstitusi mengapresiasi dissenting opinion tersebut. Terlepas dari itu, satu hal penting yang menjadi pusat perhatian kita adalah menyangkut latar belakang terjadinya perbedaan itu. Pokok perbedaannya adalah didahului dalam hal penilaian terhadap pembuktian dan berbagai hal yang terungkap dipersidangan. Demikian itu sering muncul dalam pengujian undang-undang (judicial reciew), seperti putusan Mahkamah Konstitusi tentang batas usia Presiden dan Wakil Presiden.

Perihal pembuktian demikian sentral dan tentunya menentukan kualitas suatu perkara yang dirumuskan dalam permohonan. Substansi permohonan harus berkorelasi dengan alat bukti sebagaimana dipersyaratkan. Demikian itu menjadi signifikan dan strategis. Dikatakan demikian, oleh karena kewajiban beban pembuktian ada pada pihak pemohon. Beban pembuktian itu menunjuk pada kaidah “siapa yang mendalilkan, maka wajib membuktikan”.

Terlebih lagi dalam perkara a quo yang mengandung dua pendekatan sekaligus, yakni kualitatif dan kuantitatif, maka masing-masingnya harus dibuktikan dengan akurat dan keduanya dipertemukan dengan cermat. Sejatinya, memahami pembuktian perkara TSM harus dengan pendekatan ilmu pidana yang mumpuni. Pada tataran aplikasinya sangatlah sulit dan rumit, melebihi perkara pidana itu sendiri. Kemampuan mengaplikasikan kedua pendekatan itu dapat dilihat dari materi permohonan.

Ketika awal perkara bergulir, penulis sudah memprediksi bahwa permohonan (gugatan) yang dimajukan oleh Paslon Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar dan Paslon Ganjar-Pranowo dan Mahfud MD akan kandas. Tidak memerlukan waktu yang lama menyimpulkan hal itu. Hanya membaca permohonan keduanya, dan mendengarkan para saksi dan ahli yang ditampilkan.

Ketua Tim Hukum Paslon Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, Yusril Ihza Mahenda juga sudah memprediksi bahwa gugatan akan ditolak. Menurutnya berbagai tudingan seperti penyalahgunaan kekuasaan, nepotisme, politisasi bantuan sosial (bansos), pelanggaran Sistem Informasi dan Rekapitulasi (Sirekap), hingga pengerahan penjabat kepala daerah, hanya narasi belaka tanpa didukung alat bukti yang memadai. Bahkan, keterangan empat Menteri Kabinet Indonesia Maju dalam persidangan bertolak belakang dengan dalil yang disampaikan para pemohon.

Selanjutnya, kedudukan alat bukti yang cukup itu harus saling terhubung dan berkorespondensi dengan fakta hukum yang terjadi. Hal ini akan menjadi penilaian bagi hakim konstitusi dalam tahap konstatir, kualifisir, dan konstituir. Kesemuanya itu dijadikan alat ukur dalam rangka menilai pertimbangan hukum suatu putusan. Ketidakmampuan menghadirkan berbagai bukti yang terang tentunya akan berpengaruh pada keyakinan para hakim konstitusi. Terdapat postulat “in criminalibus, probationes bedent esse luce clariores”, artinya bukti itu harus lebih terang dari cahaya atau setidak-tidaknya seterang cahaya.

Kedudukan alat bukti dalam pandangan kaidah fiqh merupakan media (wasilah) guna mencapai tujuan dihukumi wajib. Kaidah itu berbunyi, “bagi setiap wasilah hukumnya adalah sama dengan hukum tujuan. Jadi, ketercukupan alat bukti yang sah wajib dihadirkan dan beban itu ada pada pemohon sebagai pihak yang menggugat. Tidak akan mungkin dapat terwujud keadilan tanpa adanya pembuktian. Putusan harus mewujudkan keadilan dan itu kewajiban. Kewajiban itu tergantung dengan kekuatan pembuktian, dan oleh karena itu pembuktian adalah pula bersifat wajib.

Selama masa persidangan, terlihat jelas alat bukti yang ditampilkan kedua pemohon demikian samar dan lemah. Terdapat kesaksian yang tidak akurat dan masing-masingnya tidak berkorelasi. Pemohon juga menyampaikan informasi/pemberitaan dari media dan hasil riset. Padahal semua itu bukanlah tergolong alat bukti. Begitu juga keterangan ahli yang dihadirkan ternyata pula tidak relevan.

Kondisi lemahnya pembuktian tentu akan berakibat dalam menjatuhkan amar putusan yang merupakan tahap konstituir. Oleh karena itu, hakim konstitusi tidak mampu mengkonstatir peristiwa konkrit yang terjadi untuk kemudian menemukan hubungan hukumnya. Dengan demikian amar putusan yang menyebutkan “permohonan pemohon tidak berlasan menurut hukum untuk seluruhnya” adalah benar.

Ketidakmampuan menghadirkan alat bukti yang terang dan cukup tentunya akan menjadi dasar kesepakatan bagi majelis hakim Mahkamah Konstitusi untuk menolak semua permohonan. Ini sejalan dengan kaidah fiqh, “apa yang disepakati didahulukan daripada yang diikhtilafkan”. Adanya dissenting opinion dari tiga hakim konstitusi hanya sebatas ikhtilaf dan sama sekali tidak memengaruhi atau menggugurkan kesepakatan. Dengan kata lain dissenting opinion tidak memengaruhi putusan Mahkamah Konstitusi. Keberadaan dissenting opinion tidak menjadi hukum, yang menjadi hukum adalah amar putusan Mahkamah Konstitusi itu sendiri.

Pada akhirnya, setiap perselisihan harus ada ujungnya yang mengakhiri suatu perkara. Putusan Mahkamah Konstitusi telah mengakhiri segala perselisihan yang terjadi. Sesuai dengan kaidah fiqh, “hukmul haakim ilzaamun yarfa’u al khilaf,” yang bermakna keputusan hakim adalah suatu yang harus ditaati sebagai pemutus perselisihan.

Tidak dapat dipungkiri, kekecewaan pastinya ada dan itu manusiawi. Namun semua pihak dan termasuk para simpatisan harus menerimanya dengan legowo.  Tinggalkan segala perbedaan yang begitu menyulitkan kita semua. Saat ini, sinergi dan kolaborasi adalah hal terpenting guna menjaga keberlangsungan persatuan bangsa dalam rangka mewujudkan masyarakat yang sejahtera, adil dan makmur.

Jakarta, 23 April 2024.

*Penulis: Akademisi, Ahli Hukum & Ketua Umum Forum Doktor.