Oleh: Tardjono Abu Muas, Pemerhati Masalah Sosial
Bagi pecinta sepak bola dunia khususnya jagad si kulit bundar di kawasan Eropa, tentu sangat mengenal sebuah klub yang berjuluk Si Nyonya Tua Juventus jawara serie A liga Italia.
Pada musim 2004-2005 dan 2005-2006 Juventus menduduki puncak klasemen serie A Italia. Akibat *cawe-cawe* Luciano Moggi yang saat itu selaku Direktur Umum Juventus diduga telah melakukan kecurangan secara Terstruktur, Simtematik dan Masif (TSM) melakukan tindakan tak terpuji dengan sejumlah pejabat sepak bola Italia untuk memengaruhi penunjukkan wasit.
Kasus yang menggemparkan sepak bola dunia ini bergulir usai polisi dan Federasi Sepak Bola Italia (FIGC) mengadakan investigasi atas adanya dugaan kecurangan pada pertandingan yang melibatkan Juventus sebagaimana dilansir Bola.com.
Akibat skandal pengaturan skor ini, FIGC menjatuhkan saksi berat kepada Juventus saksi berupa degradasi ke Serie B sekaligus gelar juara dilucuti dan Moggi dilarang beraktivitas di dunia sepak bola seumur hidup.
Jika Juventus dan cawe-cawe Moggi yang hanya urusan soal si kulit bundar saja mendapatkan sanksi berat dari FIGC berupa degradasi dan larangan seumur hidup beraktivitas di dunia sepak bola, lalu bagaimana dengan dugaan kecurangan TSM yang terjadi dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) untuk urusan nasib rakyat yang berjumlah tidak kurang dari 270 juta?
Memang nyaris sama ujungnya antara kasus kecurangan TSM Juventus dan PHPU berkisar soal utak-atik skor dan angka perolehan suara, yang berbeda mungkin hanya etika dan ketegasan dalam penegakkan hukumnya.
Jika FIGC mengedepankan etika dan ketegasan hukum untuk menjatuhkan sanksi berat degradasi Juventus, lantas Quo Vadis Soal Dugaan Kecurangan TSM PHPU yang diamanahkan kepada para Hakim Mahkamah Konstitusi (MK)?
Adakah amar keputusan degradasi atau diskualifikasi dari MK sebagaimana keputusan tegas dan beretika FIGC kepada Juventus?
Bandung, 15 April 2024.