Jika MK Gunakan Hak Keyakinan Hakim dan Notoire Feiten, Permohonan 01 dan 03 Tentu Dikabulkan

Oleh: Damai Hari Lubis, Pengamat Hukum & Politik Mujahid 212

Menurut Ketentuan-Ketentuan Pemilu Pilpres berdasarkan dan bersumber dari UU. Pemilu, pelanggaran etik yang dilakukan oleh KPU dan Bawaslu dan KPU maka tempat pengaduan dan penyelesaian perkaranya adalah di DKPP.

Oleh karenanya seandainya ada anggota KPU atau Tim Nas dari partisan dan nonpartisan kontestan pasangan capres, atau kontestan capres/cawapres atau pejabat publik dan atau aparatur penyelenggara negara melanggar tata cara, prosedur atau mekanisme administrasi maka tempat pengaduannya dan proses sampai dengan persidangannya melalui Bawaslu.

Andaikan pengaduan atau laporan tidak ditanggapi oleh Bawaslu terhadap adanya pelanggaran, atau sebaliknya andai laporan diterima dan diproses, namun keputusan hasil persidangan Bawaslu pihak atau para pihak pengadu/ pelapor merasa tidak memenuhi rasa keadilan maka para pihak dapat saja dalam batasan yang ditentukan mengajukan gugatan ke PTUN.

Sedangkan terkait gugatan perselisihan sengketa hasil pemilu (SHPU) adalah di Mahkamah Konstitusi/ MK khusus tentang perselisihan angka dan inklud alasan banyaknya kecurangan yang dilakukan oleh KPU dan atau BAWASLU dan atau adanya temuan Pejabat publik atau aparatur negara turut serta dalam kampanye dan melanggar transparansi dan keberpihakan sehingga melanggar independensi serta akuntabilitas dan keterlibatan lainnya yang oleh karena jabatan dan fungsinya terlarang oleh sistim hukum sehingga mempengaruhi pelaksanaan Pemilu yang wajib jujur dan adil dalam penyelenggaraannya.

Adapun deskripsi penting perlengkapan untuk mengajukan Permohonan SHPU ke MK. Bagi para pengaju atau Tim Hukum (01&03) mesti memiliki perlengkapan hukum yang terurai pada posita sebagai dasar petitum (tuntutan):

1. Pemohon memiliki bukti hukum pelaporan pelanggaran yang dilakukan oleh KPU. dan atau oleh Pejabat Publik atau Kontestan Capres – Cawapres dan atau TIM NAS Paslon ke Bawaslu/ Bawaslu Propinsi, Kabupaten/ Kota. Dan berapa banyak laporan. Apakah para/ pihak terlapor/ teradu mendapatkan sanksi dari Bawaslu apakah jenis sanksi tersebut menyebutkan adanya pelanggaran TSM ?

2. Andai ada laporan yang tidak diterima oleh Bawaslu, apakah kemudian diajukan gugatan ke PTUN terhadap Bawaslu dan apa sanksi putusan PTUN bagi Tergugat Bawaslu;

3. Berapa banyak laporan di DKPU terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh KPU dan atau BAWASLU, dan apa putusannya, apakah terbukti terlapor melanggar atau melakukan kecurangan;

4. Berapa banyak formulir C hasil asli salinan di seluruh TPS di tanah air yang angkanya menunjukan adanya rekapitulasi yang realitas beda hasil atau penghitungan curang dari yang dibuat oleh KPU plus hasil rekapitulasi data tps- tps yang pemilunya sempat diulang, lalu berapa banyak perubahan angka semestinya ?

Sebaliknya jika ternyata pasangan Tim hukum 01 dan 03 tidak memiliki bukti-bukti perlengkapan persyaratan hukum dalam bentuk laporan-laporan dan putusan-putusan dari Bawaslu, putusan-putusan dari DKPU serta putusan-putusan dari PTUN. tentu saja Permohonan Pemohon SHPU (01& 02) terhadap Termohon KPU dapat ditolak oleh MK melalui putusannya.

Namun bisa saja putusan berbeda oleh sebab demi keadilan (gerechtigheid) dan manfaat hukum (utility/doelmatigheit), yang wajib dikedepankan oleh para hakim, hal-hal terkait bukti pada angka Formulir C pada angka 4 tersebut diatas, dimiliki oleh Para Pemohon SHPU, sekiranya pun angka selisih yang dapat dibuktikan oleh Tim Hukum 01 dan 03 tidak siginifikan atau jumlah 01 dan 03 tetap berada dibawah jumlah perolehan suara dari kandidat pasangan capres 02 (Prabowo Subianto-Gibran RR) sesuai bukti Formulir a quo 01/03. Atau; jika dalam kalkulasi MK pelanggaran dengan rekapitulasi total dari Termohon KPU hasil perolehan suara 01 dan atau 03 selisihnya tidak dapat melampaui perolehan suara resmi yang didapat oleh Paslon Presiden-Wakil Presiden 02. Maka ;

Berdasarkan asas-asas hukum yang terdapat pada UU. Kekuasaan Kehakiman, tentang keberadaan hak hakim yang mandiri/ independensi dan bebas serta bermartabat semata-mata demi hakekat kebenaran serta berkeadilan dan demi kepastian dan manfaat hukum berhak memutus perkara yang sedang ditanganinya selaras dengan kekuasaan yudikatif (yudicative power), selain oleh karena memiliki bukti dari faktor banyaknya pengaduan publik atau laporan Tim Hukum 01 dan 03 dan ternyata pengaduan/ laporan dimaksud hasilnya hanya beberapa putusan BAWASLU yang membuktikan KPU dan pejabat publik lainnya ada yang dikenakan sanksi hukum termasuk diantaranya KPU dan Bawaslu ada yang terbukti melakukan pelanggaran oleh DKPU atau oleh PTUN dengan alasan putusan hukumnya untuk raihan perolehan kemenangan suara 02, dan walau dalam perhitungan hasil akhir tidak dapat mengalahkan pasangan 02.

Dan oleh sebab hukum yang semata demi keadilan, kepastian, dan manfaat hukum, pertimbangan putusan Majelis Hakim harus mengutamakan objektivitas, berlaku independensi, proporsional, profesional sehingga Pemilu Pilpres harus menghasilkan serta mendapatkan pemimpin yang baik, jujur, cerdas, profesional dan proporsional (benar dan adil) serta sesuai tujuan UUD 1945 dan dasar- dasar UU No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman yakni, mewujudkan penegakan hukum yang bebas, merdeka dan mandiri (independensi) sebagai hakekat yang ingin dicapai dalam kerangka negara hukum dan demokrasi, maka hakim dapat menggunakan teori dan asas conviction intime atau hakim yang halal memutus berdasarkan keyakinan diri atau nurani hakim serta ditambah dengan bukti notoire feiten notorius atau setiap hal yang sudah diketahui secara umum tidak lagi perlu dibuktikan dalam pemeriksaan sidang pengadilan.

Selain notorius feiten Para Hakim MK semestinya menggunakan tiga tahapan penting dalam menghadapi perkara yaitu konstatir dalam makna substantif; melihat, mengakui atau membenarkan telah terjadi peristiwa a quo in casu di hadapan mereka (SPHU), lalu kualifisir (memilah) mana yang benar mana yang buruk sehingga berlaku konstituir (menentukan hukumnya) oleh sebab notoire feiten notorius, dikarenakan nyata eksistensi Para Hakim Majelis MK in casu, kehidupan pribadinya dari para Para Hakim, yang nyata dan fakta sama-sama menyaksikan, mengetahui tentang attitude banyak para pemimpin yang tidak cerminkan role model, salah satu aktor pentingnya adalah pribadi individu Jokowi yang terbukti merupakan pendukung paslon pilpres 02 dengan pola nepotisme terhadap anak kandungnya cawapres Gibran (02) bahkan historis membuktikan Jokowi pernah melakukan pembiaran terhadap pembangkangan konstitusi dasar/ UUD. 45 melalui wacana Jokowi 3 periode, dan Jokowi pernah diberikan gelar satire oleh publik dengan predikat “King of lips service juga mendapat gelar Si Raja Bohong” dikarenakan puluhan janjinya namun tak ditepati ,” dan termasuk bukti notoire feiten, Jokowi selaku pejabat publik eksekutif/ pemerintahan tertinggi, terus terang dan kenyataan dirinya cawe-cawe untuk pasangan O2 dengan pembiaran terhadap perilaku nepotisme Jokowi-Anwar Usman sehingga Gibran RR lolos menjadi cawapres serta diikuti perilaku Prabowo yang memiliki catatan buruk, malah menerima Gibran selaku cawapres, dan menyusul ada putusan MKMK yang menjatuhkan sanksi pemberhentian Anwar Usman dari jabatannya sebagai Ketua MK. Diikuti pelaporan Anwar Usman dan Kroni ke pihak Penyidik Polri oleh para aktivis, serta mengingat dan menimbang masa depan bangsa ini terhadap suksesi (kepemimpinan) nasional yang high risk, dengan signal red bib nepotisme, disertai banyaknya pelanggaran, tentu dapat membahayakan nasib bangsa dan negara di masa depan.

Selanjutnya dan oleh karenanya, Majelis Hakim MK a quo in casu jika pertimbangannya kompleks, akan memutus dan mengabulkan permohonan 01 dan 03 dengan menyatakan batal putusan yang dibuat Termohon KPU berikut akibat hukumnya berupa vonis:

1. Diskualifikasi capres-cawapres 02. Pemilu diulang kembali
2. Pemilu diulang kembali antara 01 dan 03, atau ;
3. Pemilu diulang antara 01, 02 dan 03 namun pasangan capres 02 (eks Cawapres Gubran RR) oleh sebab cacat hukum mesti digantikan oleh sosok lain.

Hal diantara 3 ( tiga ) putusan ini bisa terjadi karena terhadap penyelenggaraan pemilu dan hasilnya mutlak saat ini menjadi kewenangan Majelis Hakim MK dan mengingat kurun waktu sejak proses persidangan SHPU 2014 saat Ketua MK Hamdan Zoelva dan saat SPHU 2019 yang diketuai Anwar Usman memimpin MK bangsa ini tentu umumnya manusiawi merindukan dan berharap agar MK berlaku adil terlebih oleh sebab objektifitas para hakim selaku Wakil Tuhan Di Muka Bumi memang Berkewajiban Berlaku Adil