Oleh : Sholihin MS (Pemerhati Sosial dan Politik)
Ketika para Guru besar, Akademisi, dan Para Jenderal TNI-Polri turun gunung, maka gaung perubahan pasti terjadi. Dan tokoh sentral yang bisa menjadi mercusuar dan pemimpin perlawanan sudah ada, maka perubahan pasti terjadi.
Walaupun perubahan bukan datang dari DPR sebagai lembaga yang berwenang memakzulkan Jokowi, tapi lembaga lain yang akhirnya menjadi pelopor perubahan. Lembaga itu adalah Mahkamah Konstitusi.
Perubahan juga datang dari para pendukung militan Anies yang bergeming tetap setia kepada Anies. Pendukung Paslon 02 itu pendukung siluman dan pendukung bayaran karens guyuran dana bansos dan BLT. Tapi pendukung real Paslon 02 itu tidak ada atau sangat minim.
Bawaslu pun di depan MK mengakui kesalahan, tidak pernah merespon surat dari Paslon 01 dan juga tidak menverifikasi pencawapresan Gobran yang melangga UU Pemilu UU Kehakiman.
Walaupun gugatan paslon 01 dan 01 belum diketuk palu, tapi tanda-tanda MK sudah independen bukan lagi onderbouw dan gugatan Paslon 01 bakal dikabulkan sudah tampak jelas ;
Pertama, Dengan diangkatnya Suhartoyo, salah satu hakim yang menolak pencawapresan Gibran menggantikan Anwar Usman kaki tangan Jokowi.
Dalam ikrar ketika pelantikannya Suhartoyo berjanji akan mengembalikan MK menjadi lembaga yang independen, adil, dan profesional.
Kedua, Pernyataan Suhartoyo yang ingin dikenang sebagai orang baik.
Dikenang sebagai orang baik berarti sikap dan tindakannya harus lurus, jujur, adil, dan tidak tunduk kepada kemauan Penguasa.
Ketiga, MK kabulkan permohonan dimajukannya Pilkada dari November ke September.
Jika Pilkada dilaksanakan September 2024 seperti keinginan Jokowi, cawe-cawe Jokowi tidak bakal berhenti dan politik dinasti bakal makin merajalela. Maka makin hancurlah demokrasi. Akhirnya MK di bawah Suhartoyo berhasil mencium gelagat busuk Jokowi
Keempat, MK di bawah Suhartoyo juga telah membatalkan Pasal karet tentang berita bohong dan hoaks.
MK telah membatalkan pasal penyebaran berita bohong di UU 1/1946 tentang Peraturan Hukum Pidana.
Alasannya, karena pasal 27 ayat 3 UU ITE yang biasa disebut dengan “pasal karet” sebagai undang-undang yang berbahaya. Terlebih lagi jika diterapkan oleh pihak-pihak yang tak paham soal dunia maya. Selain itu, pasal tersebut juga bisa digunakan dengan mudah untuk menjerat orang-orang demi membungkam kritik.
Kelima, Saldi Isra dan Arief Hidayat, dua hakim MK yang menolak pencawapresan Gibran, diadukan atas pelanggaran etik telah diputuskan oleh MKMK tidak bersalah.
Semula Jokowi mau menyingkirkan Saldi Isra dan Arief Hidayat karena integritasnya yang tidak mau tunduk sama Jokowi. Akhirnya Jokowi harus gigit jari.
Keenam, Telah tamatnya karir Anwar Usman setelah diputus melanggar kode etik lagi dan tidak diperbolehkan ikut mengadili sengketa Pilpres.
Tamatnya karir Anwar Usman pertanda berakhirnya hegemoni Jokowi di MK. MK di tangan Suhartoyo akan kembali menjadi Mahkamah Konstitusi yang independen, jujur, adil dan berwibawa tanpa ada cawe-cawe Jokowi lagi.
Mari kita perhatikan saat ini gelombang perubahan akan terus bermunculan yang menandakan berakhirnya era Jokowi. Dunia pun telah mengutuk Jokowi yang telah mematikan demokrasi dan mengintervensi Pemilu sehingga Pemilu 2024 menjadi sangat kacau.
Bersiaplah Jokowi, keluarganya dan antek-anteknya untuk menerima hukuman dari rakyat. Semoga Jokowi tidak kabur ke China.
Bandung, 20 Ramadhan 1445