KPK harus segera menangkap hakim agung MA Yohanes Priyana dan Gazalba Saleh yang diduga terima suap saat mengadili kasus pembunuhan 6 laskar FPI atau KM 50.
“Gazalba Saleh sudah menjadi tersangka, sedangkakan Yohanes Priyana masih dalam pemeriksaan. KPK harus segera menangkaapnya. Ini akan membongkar kejahatan KM 50,” kata aktivis Mujahid 212 Damai Hari Lubis kepada redaksi www.suaranasional.com, Rabu (27/3/2024).
Menurut Damai, ada konspirasi jahat saat menyidangkan KM 50 mulai dari Pengadilan Negeri Jakarta Selatan sampai tingkatan MA. “Kalau saya perlu pula bongkar juga hakim-hakim di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Terlihat tidak adil ketika memutuskan perkara ini,” jelasnya.
Kata Damai, KPK tidak perlu takut untuk membongkar dugaan suap hakim agung MA Yohanes Priyana dan Gazalba Saleh. “KPK harus menunjukkan sebagai lembaga yang berwibawa dan berpihak kepada rakyat Indonesia,” paparnya.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah rampung memeriksa dua hakim agung yaitu Desnayeti dan Yohanes Priyana sebagai saksi dalam kasus dugaan penerimaan gratifikasi dan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) yang menjerat Gazalba Saleh selaku hakim agung nonaktif, Senin (25/3).
Tim penyidik KPK mendalami kedua saksi tersebut perihal putusan perkara KM 50 di mana Gazalba tergabung menjadi anggota majelis hakim yang mengadili.
“Kedua saksi hadir dan didalami pengetahuannya antara lain kaitan adanya musyawarah dalam proses pengambilan putusan dalam perkara KM 50 dengan salah satu komposisi majelis hakimnya saat itu adalah tersangka GS [Gazalba Saleh],” ujar Kepala Bagian Pemberitaan KPK Ali Fikri saat dikonfirmasi, Rabu (27/3).
KM 50 merujuk pada kejadian tewasnya enam anggota dan laskar FPI. Dua terdakwa dalam kasus ini, Briptu Fikri Ramadhan dan Ipda M. Yusmin Ohorella, divonis bebas oleh hakim agung MA pada Rabu, 7 September 2022.
Perkara nomor: 938 K/Pid/2022 dan 939 K/Pid/2022 itu diadili hakim ketua majelis kasasi Desnayeti dengan hakim anggota masing-masing Yohanes Priyana dan Gazalba Saleh.
Pemeriksaan terhadap Desnayeti dan Yohanes Priyana tersebut merupakan penjadwalan ulang. Pada panggilan pertama, Selasa (19/3), kedua saksi tidak memenuhi panggilan penyidik KPK.
Berdasarkan temuan awal KPK, Gazalba Saleh diduga menerima gratifikasi sejumlah sekitar Rp15 miliar dalam kurun waktu 2018-2022.
KPK menyebut terdapat sejumlah perkara yang dikondisikan Gazalba saat mengadili perkara kasasi dan peninjauan kembali (PK). Pengondisian tersebut menguntungkan pihak berperkara, di mana diduga Gazalba menerima gratifikasi.
Salah satu sumber gratifikasi adalah pada saat Gazalba mengurus perkara kasasi mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo.
Mahkamah Agung (MA) menghukum Edhy dengan pidana lima tahun penjara dan pencabutan hak politik selama dua tahun. Vonis tersebut lebih ringan daripada putusan sebelumnya yakni Pengadilan Tinggi DKI Jakarta yang menghukum Edhy dengan sembilan tahun penjara dan pencabutan hak politik selama tiga tahun.
Edhy turut dihukum membayar denda sebesar Rp400 juta subsider enam bulan kurungan dan uang pengganti Rp9.687.447.219 dan US$77.000 dengan memperhitungkan uang yang telah dikembalikan.
Putusan di tingkat kasasi diadili ketua majelis Sofyan Sitompul dengan hakim anggota masing-masing Gazalba Saleh dan Sinintha Yuliansih Sibarani. Putusan diketok pada Senin, 7 Maret 2022.
Selain penerimaan gratifikasi, Gazalba juga disangka melakukan pencucian uang. Gazalba diduga menggunakan uang hasil dari gratifikasi untuk membeli tunai satu unit rumah yang berlokasi di salah satu klaster di Cibubur, Jakarta Timur, dengan harga Rp7,6 miliar.
Serta satu bidang tanah beserta bangunan di Tanjung Barat, Jakarta Selatan, seharga Rp5 miliar. Ditemukan juga penukaran sejumlah uang ke beberapa money changer menggunakan identitas orang lain yang nilainya miliaran rupiah.
Gazalba ditetapkan sebagai tersangka gratifikasi dan TPPU oleh KPK sejak 30 November 2023. Sebagai informasi, ini adalah kali kedua Gazalba berurusan dengan KPK. Sebelumnya, ia sempat diproses hukum atas kasus dugaan suap pengurusan perkara di MA.
Gazalba dituding menerima suap terkait pengondisian putusan perkara pidana Budiman Gandi Suparman selaku Pengurus Koperasi Simpan Pinjam (KSP) Intidana. Namun, tudingan KPK tersebut dinilai tidak terbukti.