Presiden Kampanye dan Memihak Vs Netralitas TNI-Polri

Oleh : Ahmad Khozinudin, Sastrawan Politik

Selama ini, TNI dan Polri diwajibkan netral dalam Pemilu, tidak boleh kampanye, tidak boleh memihak. Meskipun rakyat meragukan, faktanya seluruh pejabat TNI Polri menegaskan akan netral.

Namun, dalam praktik lapangan, aparat biasanya lebih mentaati perintah atasan daripada perintah UU. Misalnya, saat berdebat dengan rakyat, rakyat mengajukan dasar hukum, UU dan argumentasi, aparat di lapangan hanya akan mengatakan ‘ini sudah perintah pimpinan, kami hanya menjalankan perintah pimpinan’.

Hari ini, Presiden Jokowi menegaskan boleh berkampanye dan berpihak. Tentu, hal itu sebenarnya sudah dilakukannnya. Hanya persoalannya, keberpihakan Presiden bukan secara pribadi, namun inklud dengan keberpihakan kekuasaan Presiden.

Dengan kekuasaannya, Presiden bisa perintahkan TNI Polri untuk berpihak. Yang dimaksud berpihak adalah berpihak kepada Prabowo Gibran, bukan kepada Anis Imin atau Ganjar Mahfud. Lalu, masih percaya TNI Polri akan netral ?

Secara fungsi dan hierarki, TNI tidak akan bisa membantah perintah Presiden. Karena Presiden adalah Panglima tertinggi TNI. Kepolisian, juga langsung dibawah Presiden.

Tidak akan ada Panglima TNI atau Kapolri yang berani membantah perintah Presiden untuk berpihak, dengan alasan UU perintahkan TNI Polri netral. Apalagi, pucuk pimpinan TNI Polri adalah oran yang dipilih oleh Presiden.

Akhirnya, TNI Polri akan menjalankan perintah Presiden untuk berpihak. Saat di lapangan berhadapan dengan rakyat, diprotes rakyat agar netral karena UU perintahkan TNI Polri netral, maka aparat TNI Polri hanya akan mengatakan ‘ini sudah perintah pimpinan, kami hanya menjalankan perintah pimpinan’.

Masa depan Indonesia terancam. Proses Pilpres sudah dapat dipastikan di akan curang. Hasil Pilpres pasti tidak legitimate. Akan ada ancaman perpecahan anak bangsa karena kecurangan dan ketidakridaan pada hasil Pilpres.

Para politisi dan partai nyaris tidak peduli. Yang ada dibenak mereka hanya kekuasan, berkuasa dan terus berkuasa. Tak peduli, kekuasaan mereka merobek kain tenun kebangsaan. Tak peduli, masa depan bangsa indonesia terancam bubar.

Entahlah, sampai kapan orang waras akan diam ? Sampai kapan kebenaran akan terus tunduk pada kebatilan? Sampai kapan, kezaliman akan terus menjadi tontonan, tanpa ada upaya untuk menghentikannya?

Jika kita diam pada hari ini, lalu atas dasar apa kita akan berani bicara pada masa yang akan datang? Jika kita tidak menyelamatkan negeri ini saat ini, lalu dengan apa kita akan menjawab dakwaan dari generasi yang akan datang? Apakah, kita sudah siap menjadi terdakwa dan divonis sebagai pengkhianat bangsa dengan sikap diam kita? [].