Polesan Gibran Terlalu Tebal Jadinya Malah Norak

Oleh : Sholihin MS (Pemerhati Sosial dan Politik)

Aksi teatrikal Gibran di debat kedua berbuah malapetaka. Aksi gimmik yang di debat pertama dianggap berhasil dan mampu mengecoh lawan, tapi aksi itu kali ini yang mungkin dimaksudkan untuk meng- kick off lawan dengan cara yang aneh, justru malah telah mempermalukan diri sendiri dan menunjukkan akan kebodohan dan kurang beretika.

Aksi membungkuk sambil clingak-clinguk mencari sesuatu sangat tidak lazim, tidak sopan, dan bodoh.

Debat cawapres malam Senin kemarin membongkar sosok Gibran yang sebenarnya ; narasinya sangat monoton (hampir dipastikan menghafal dulu karena katanya sudah dapat bocorannya dari KPU), tidak menguasai materi, minim ilmu dan wawasan, serta terlalu banyak aksi teatrikal.

Ketika beberapa kali Gibran (yang berkomitmen melanjutkan kebijakan Jokowi) ditanya baik oleh Mahfud MD maupun Cak Imin soal penguasaan tanah yang tidak adil, kebijakan penggundulan hutan, soal keberpihakan kepada petani, soal janji tidak impor tapi terus impor, merajalelanya para mafia, dan juga soal food estate, dll. jawaban Gibran ngeles dan tidak nyambung.

Sebaliknya, untuk kedua kalinya Gibran membuat pertanyaan jebakan dengan singkatan LFD dan Greenflation/green inflation yang dianggap tidak bisa dijawab oleh Cak Imin dan Mahfud MD, ternyata itu bukan pertanyaan substansial tapi seperti pertanyaan tebak-tebakan (tidak layak diajukan di acara debat) karena hanya bersifat teknis dan tidak berkaitan dengan kebijakan tentang lingkungan.

Terbongkar sudah kemampuan Gibran, apakah masih mau coba dipoles-poles lagi ? Gibran bukan seorang yang genuine yang bisa mewakili kaum milenial. Gibran adalah anak muda yang terkungkung oleh kehidupan istana yang serba dimanja, palsu dan penuh kepura-puraan.

Anak muda Indonesia seharusnya memiliki karakter yang : cerdas, mandiri, strong, penuh strugle for life, kreatif dan inovatif, serta memiliki jiwa keberanian menghadapi tantangan*.

Masih mau memaksakan Gibran mengelola negeri ini ? Rakyat yang cerdas tidak akan menyerahkan Indonesia dipimpin oleh cosmetic baby (anak polesan).

Ada beberapa bahaya jika Gibran diserahi mengelola negeri ini :

Pertama, Otoriterianisme akan tetap menjadi ciri kepemimpinannya

Pemimpin tanpa kecerdasan, ilmu yang cukup, sikap wisdom, ikhlas, mengutamakan orang lain (rakyat), dan mengutamakan akhlak dan etika maka yang muncul adalah sikap otoriter.

Kedua, Hutang menjadi jalan mudah melaksanakan pembangunan, sama seperti bapaknya.

Jika seorang pemimpin tidak cerdas, kreatif dan inovatif, maka jalan yang ditempuh untuk membangun infrastruktur adalah dengan mengandalkan hutang yang sebenarnya itu sebuah jeratan mematikan. Baru di era Jokowi berhutang sampai 8000 triliun dan bayar bunganya saja lebih dari 400 miliar/tahun.

Ketiga, Di bawah kepemimpinan Gibran dipastikan rakyat akan tetap menjadi korban keserakahan para oligarki taipan dan pejabat rakus.

Orang-orang di sekeliling Jokowi yang rakus dan khianat akan terus bercokol dan siap menggadaikan negeri ini demi ambisi pribadi dan syahwat jabatan. Orang model Luhut “sang antek China penghisap darah rakyat” jika masih sehat mungkin akan terus mengendalikan berbagai kebijakan yang hanya akan menyengsarakan rakyat.

Keempat, Prabowo yang diprediksi bakal tidak optimal memimpin negeri karena faktor usia dan sakit-sakitan, beban mengelola negara bakal dibebankan kepada Gibran.

Kebayang kan bagaimana Gibran mengelola negara ? Sedangkan dia hanya mengelola kota Solo pun tidak punya prestasi membanggakan, sangat jauh dibandingkan dengan Anies dalam mengelola Ibukota Jakarta. Mau jadi apa Indonesia dibawah kepemimpinan Gibran ?

Kelima, Baik Prabowo maupun Gibran adalah pejabat yang diduga terlibat korupsi, sehingga koruptor tidak mungkin bisa menegakkan pemerintahan yang bersih, jujur, dan adil

Prabowo diduga terlibat korupsi kasus food estate dan alutsista di Kemenhan, Gibran dilaporkan dengan kasus korupsi E-KTP, BTS dll sehingga jika paslon 02 ini diberi kesempatan memimpin negeri ini, korupsi tidak akan mampu diberantas dengan baik.

Selain hal-hal di atas, baik Prabowo maupun Gibran bukanlah orang yang cinta Islam dan memuliakan para ulama, sehingga kehidupan umat islam masih terancam dimarjinalkan.

Semoga rakyat cerdas dalam memilih pemimpin, demi menyongsong masa depan yang gemilang.

Bandung, 10 Rajab 1445