Oleh : Sholihin MS (Pemerhati Sosial dan Politik)
Merasa sedang dibidik KPK melalui Sekdanya, Khofofah pun akhirnya secara tiba-tiba (harus) mendukung Paslon 02. Rezim Jokowi (yang diturunkan ke Paslon 02) memang banyak didukung manusia-manusia hipokrit yang buta terhadap kebenaran, penuh syahwat terhadap dunia dan jabatan, atau karena rasa takut untuk diproses hukum.
Padahal rezim Jokowi sendiri bukan rezim bersih. Hukum hanya digunakan untuk “menghukum” lawan politik atau menyandera pejabat yang berkasus.
Dapat dipahami sebuah keputusan sulit yang dihadapi Khofifah. Sebagai pejabat yang sedamg dibidik KPK dalam masalah korupsi Bansos, Khofifah punya nasib yang sama dengan banyak pejabat lain yang tersandera karena berbagai kasus korupsi, seperti PS, AH, ZH, FH, dll.
Sebagai kader PKB dan Ketua Muslimat NU, Khofifah seharusnya mengikuti jejak Ketum PKB, para Ulama dan Kyai NU yang telah bertekad untuk memenangkan pasangan AMIN. Dan sebagai warga nahdhiyyin, sebenarnya dalam hati kecilnya mungkin Khofifah mendukung paslon 01. Tetapi keterkaitan dengan jabatannya sebagai Gubernur dan khawatir ada kasus yang bisa dibongkar, akhirnya Khofifah memutuskan untuk mendukung Paslon 02.
Memang rezim Jokowi sangat licik, selalu menggunakan kekuasaannya untuk mengancam siapa pun yang tidak tunduk atas kemauannya. Semua lembaga hukum sudah berada dalam kendalinya, dan para penegak hukum berada di bawah ketiaknya. Apa pun bisa dilakukan Jokowi. Bagi Jokowi, hukum bukan untuk menegakkan keadilan, tapi hanya sebagai alat untuk membungkam lawan politiknya.
Siapa pun yang coba-coba mendukung Anies dalam sekejap mata bisa langsung berurusan dengan lembaga hukum. Pernah Airlangga Hartarto baru saja bertemu Anies, langsung dipanggil Kejaksaan. Akhirnya Airlangga harus mendukung Paslon 02, walaupun Golkar secara _grassroot_ termasuk tokoh senior Golkar, Jusuf Kalla telah mendukung Anies.
Apa dampak dukungan Khofifah kepada Paslon 02 terhadap suara paslon 01 ? Ini beberapa analisanya :
Pertama, Posisi Khofifah sebagai Gubernur mungkin diharapkan bisa menekan pejabat di bawahnya, mulai dari bupati/walikota, camat dan lurah untuk mendukung Paslon 02
Bagi para pejabat yang taat aturan, sebenarnya tidak dibenarkan untuk intervensi dengan mendukung salah satu paslon. Tapi pada prakteknya, justru kekuasaan digunakan untuk menekan pejabat di bawahnya dan rakyat yang ingin menerima bantuan untuk mendukung paslon 02.
Tapi rakyat Jawa Timur yang lebih taat kepada ulama dan kiainya belum mengikuti perintah Gubernur.
Kedua, Posisi Khofifah sebagai Ketua Fatayat (Wanita Muslimat) NU diharapkan bisa menggiring anggotanya untuk memilih Paslon 02.
Mungkin Khofifah sedikit banyak punya pengaruh, tapi bagi kaum muslimat yang taat beragama pilihan politik bukan mengikuti pimpinan ormasnya, tapi mengikuti perintah kepala keluarga, apakah ayah atau suami. Rata-rata warga nahdhiyyin sudah menjatuhkan pilihannya kepada Paslon 01, Anies-Muhaimin.
Ketiga, Sebagai kader PKB, pilihan Khofifah kepada Paslon 02 jelas berselisih dengan Ketua Umumnya
Jika saat ini dia kader P3, maka pilihannya juga bukan ke paslon 02 tapi Paslon 03. Dukungan Khofifah kepada Paslon 02 yang menyelisih pilihan para ulama dan kiai serta Ketumnya, dikarenakan ada beban politik (sandera/balas budi?). Sebagai warga nahdhiyyin yakin hati kecil Khofifah pilih paslon 01.
Keempat, Kesediaan Khofifah untuk jadi Juru Kampanye Paslon 02 tidak akan banyak membantu mengalihkan dukungan pemilih 01 kepada Paslon 02
Sebagai juru kampanye fungsinya hanya memberi semangat dan motivasi bagi warga yang hadir di lapangan terbuka, tapi belum tentu mampu mempengaruhi para pemilih paslon 01 dan 03. Dari fakta yang terjadi di lapangan, kampanye terbuka paslon 02 selalu (hampir) tidak ada yang hadir, selain beberapa gelintir orang, kadang-kadang juga banyaknya anak-anak di bawah umur.
Kelima, Jika paslon 02 kalah, maka nama Khofifah bakal tenggelam dan karir politiknya mungkin berakhir.
Paslon 02 sebagai pelanjut Jokowi bukan saja semakin ditinggalkan rakyat, tapi sudah jadi “musuh rakyat” (common enemy). Rakyat sudah muak dengan Jokowi, apalagi setelah Jokowi memaksakan Gibran menjadi cawapres dengan cara diselundupkan melalui “putusan ilegal”. Seluruh elemen masyarakat telah menentang pencawapresan Gibran yang dipaksakan. Tanpa keterlibatan Jokowi yang bermain curang dengan menyalahgunakan kekuasaannya, pasangan Prabowo-Gibran hampir dipastikan tereliminasi di putaran pertama.
Banyak pihak yang menyayangkan keputusan Khofifah “menyalahi” pilihan para ulama, kiai, tokoh agama dan Ketumnya sendiri.
Memang dapat dimaklumi Khofifah sebagai Gubernur sangat terikat dan terkait dengan keputusan istana. Istana pasti akan menggunakan strategi “jerat kasus” untuk membuat tunduk siapa saja yang hendak berseberangan. Hampir semua pejabat eksekutif, legislatif, dan yudikatif tersandera dengan kasus korupsi.
Bagi Jokowi yang sebenarnya juga banyak terlibat korupsi, termasuk keluarganya, tapi sebagai penguasa bisi menghukum atau tidak menghukum siapa saja yang dikehendakinya. Tidak terkecuali Khofifah Indah Parawansa.
Sungguh sebuah politik yang tidak sehat, karena hukum hanya jadi alat kekuasaan. Yang benar jika tidak tunduk penguasa bisa terjerat hukum, sebaliknya bagi orang yang nurut penguasa kasusnya bakal aman.
Walaupun Khofifah gabung dengan Paslon 02, insya Allah suara NU di Jawa Timur tetap solid pilih AMIN. Pengaruh Khofifah tidak bisa mengalahkan pengaruh para ulama, habaib, kiai, tokoh umat, dan Ketum PKB.
Tetap semangat insya Allah pasangan AMIN menang.
Bandung, 2 Rajab 1445